Takhsis, Pengertian, Macam-Macam, dan Contohnya
Takhsis, Pengertian, Macam-Macam, dan Contohnya

Nilai-Nilai Kandungan Al-Quran

Posted on

Iqipedia.com  – Nilai-nilai kandungan Al-Quran adalah nilai-nilai kandungan Al-Quran baik dari aspek hukum, syari’at, akhlak, atau perintah-perintah dan anjuran dari Allah. Menurut Abdullah Saeed terdapat beberapa macam nilai-nilai kandungan Al-Quran yang bersifat universal dan kontekstual.  Nilai-nilai kandungan Al-Quran tersebut yaitu meliputi hal-hal berikut ini:

A. Nilai-Nilai Yang Bersifat Kewajiban

Nilai-nilai kandungan Al-Quran yang pertama adalah nilai-nilai yang bersifat kewajiban. Nilai-nilai yang sifatnya dasar sangat ditekankan dalam Alquran. Nilai-nilai ini membentang baik dalam periode Makkah maupun Madinah dan tidak bergantung kepada budaya. Kebanyakan umat Islam mengakui bagian ini sebagai bagian yang ajran inti dalam Islam. Nilai-nilai ini mencakup:

Pertama, yaitu keyakianan fundamental, mencakupp keyakinan kepada Tuhan, Malaikat, para nabi, kitab-kitab suci, hari akhir hari pembalasan, hari perhitungan dan kehidupan sesudahmati. Kedua, nilai-nilai yang berhubungan dengan praktik ibadah  seperti shalat, puasa, haji dan mengingat Allah. Nilai-nilai iniditegaskan berulangkali dalam Alquran dan tidak berubah mengikuti perubahan kondisi. Ketiga, sesuatu yang halal dan haram yang disebutkan secara tegas dan jelas dalam Alquran, dan didukung oleh peraktik Nabi saw. Al-Quran menggunakan istilah uhilla, uhillat, ahalla Allah dan harrama.

B. Nilai-nilai Fundamental

Nilai-nilai kandungan Al-Quran yang kedua adalah nilai-nilai fundamental. Nilai-nilai fundamental adalah nilai-nilai yang di tegaskan berulang-ulang dalam Alquran yang didukung oleh sejumlah bukti tekstual yang kuat yang mengindikasikan bahwa mereka adalah termasuk dasar-dasar ajaran Alquran .

Dalam sebuah ijtihad ulama’ terhadap Alquran mengindikasikan bahwa nilai-nilai fundamental tertentu diidentifikasi sebagai nilai-nilai kemanusiaanyang dasar, seperti perlindungan agama, jiwa, akal, keeluarga dan harta benda. Ulama awal, terutama dalam tradisi usul, telah sadar akan adanya nilai-nilai ini.

Misalnya, apa yang disebut al-Gazali dengan kulliyat khams (lima nilai universal), maqasid al- Syari’ah oleh al-Syatibi (w. 766/1388), dan maslahah oleh at-Tufi (w. 716/1316). Di kalangan ulama usul, nilai universal ini dianggap sebagai tujuan utama syari’ah sebagaimana dinyatakan oleh asy-Syatibi. Pencapaian nilai-nilai di atas melalui sebuah metode yang diakui sebagai metode induktif sumber-sumber hukum Islam.

Pada masa-kemudian masa kontemporer sejumlah nilai yang bau dikembangkan  dengan metode mencari kesimpulan induktif yang sama dan mempertimbangkan konteksyang baru. Misalnya perlindungan hak-hak asasi manusia sebagai nilai-nilai universal yang dulu sudah di gagas oleh ulama’ klasik, pada saat ini dapat dikembangkan sebagai perlindungan terhadap sesuatu yang dapat merugikan dan perlindung kebebasan beragama serta dapat dianggap sebagai nilai-nilai universal. Dengan mengikuti metode ini dimungkinkn untuk menghadirkan sejumlah nilai-nilai hak asasi manusia yang belum di identifikasi oleh ulama’ masa awal dan dikembangkan berdasarkan kebutuhan masyarakat, isu-isu, dan masaalah yang muncul dalam konteks tertentu.

C. Nilai-Nilai Perlindungan (Hukum)

Nilai-nilai kandungan Al-Quran yang ketiga adalah nilai perlindungan. Nilai perlindungan ini merupakan nilai-nilai yang memberikan dukungan dan legitimasi bagi nilai-nilai fundamental. Fungsinya adalah untuk memelihara keberlangsungan nilai fundamental. Misalnya, salah satu nilai fundamental adalah perlindungan hak milik, maka nilai perlindungannya adalah larangan mencuri dan hukumannya. Nilai fundamental tidak bergantung pada satu teks saja berbeda dengan nilai perlindungan yang digantungkan kepada satu teks saaja.  Hal ini tidak mengurangi urgensi nilai ini dalam Alquran karena kekuatan nilai ini di samping berasal dari bukti teks, juga berasal dari nilai fundamental. Karenanya ia berlaku universal.

D. Nilai-Nilai Implementasi

Nilai-nilai kandungan Al-Quran yang keempat adalah nilai-nilai implementasi. Nilai-nilai ini implementasi merupakan ukuran-ukuran spesifik yang digunakan untuk merealisasikan nilai-nilai perindungan dalam masyarakat. Misalnya larangan mencuri harus ditegakkan dalam masyarakat melalui tindakan-tindakan spesifik sebagai hukuman bagi mereka yang melanggarnya. Dalam Alquran misalnya, disebutkan bahwa hukuman bagi tindak pencurian adalah dipotong tangannya.

Pos Terkait:  Mafhum, Pengertian, Macam-Macam dan Contohnya

وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلا مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيم

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Maidah (5): 38)

Ketika Alquran menetapkan hukuman potong tangan bagi pencuri, ia tampaknya mempertimbangkan budaya pada saat itu. Karena hukuman badan dan bentuk-bentuk hukuman lain dari bentuk hukuman fisik telah diterima masyarakat arab pada abad ke 7 dan ukuran hukuman tersebut sangat efektif pada konteks itu.

Nilai-nilai implementasional yang ada  dalam Alquran tidaklah bersifat universal. Sebagai contoh hukuman memotong tangan berdasarkan sejarah hal tersebut merupakan pilihan yang paling tepat untuk kondisi saat itu.

Ada beberapa fakta yang mendukung pandangan Saeed ini. Pertama, kondisi obyektif Alquran. Banyak redaksi dalam Alquran yang menunjukkan ‘pengecualian’ bagi pemberlakuan nilai implementasi, yakni bagi mereka yang bertaubat. Ayat-ayat implementasi semacam ini sering ditulis dan diakhiri dengan ayat taubat dan ampunan. Beberapa ayat yang mengikuti pola demikian adalah hukuman potong tangan[1], hukuman pembunuhan[2], hukuman cambuk bagi orang menuduh zina[3], dan hukuman rajam bagi pelaku zina[4].

Kondisi obyektif di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya yang menjadi pesan utama dari Alquran bukanlah redaksi literal darinya. Jika demikian yang terjadi, tentu Alquran memberikan alternatif lain seperti bentuk pengecualian di atas. Dengan demikian, yang menjadi tujuan utama Alquran adalah pencegahan dari tindakan yang dilarang.

Kedua, fakta sejarah. Yang dimaksud dengan fakta sejarah di sini adalah pilihan sikap sahabat Nabi atau ulama terdahulu dalam mengamalkan ayat-ayat implementasional di atas. Ketika menghadapi kasus seseorang yang telah mencuri tiga kali, sahabat Nabi, ‘Umar yang saat itu menjadi khalifah mengajukan hukuman potong tangan untuknya. Ali yang saat itu menjadi penasihat Umar memberikan usulan yang berbeda. Menurutnya, hukuman cambuk dan kurungan adalah hukuman yang tepat. ‘Ali menyatakan “saya malu melihat Tuhan jika meninggalkannya tanpa tangan yang darinya dia bisa makan dan bersuci untuk shalat”. ‘Ali, sebagai sahabat yang dikenal memahami Alquran melakukan pilihan yang demikian. Ini menunjukkan bahwa potong tangan bukan nilai yang multak harus diterapkan.

Dalam tradisi fikih, ulama klasik telah menyadari adanya akibat negatif, sebagaimana direnungkan oleh ‘Ali di atas, dari pemberlakuan hukuman yang sifatnya keras. Kesadaran terhadap hal ini menuntut mereka merumuskan syarat-syarat bagi berlakunya nilai implementasi berdasarkan teks Alquran. Sebagaimana dikutip Saeed dari al-Asymawi “Hukuman yang ada dalam Alquran dikelilingi oleh syarat-syarat yang mungkin menjadikannya tidak berlaku. Misalnya untuk kasus pencurian, pencuri tidak sedang dalam kondisi terdesak dan benar-benar membutuhkan sesuatu yang dicuri.

Ayat yang memerintahkan potong tangan bagi pencuri di ikuti oleh ayat:

فَمَن تَابَ مِنۢ بَعۡدِ ظُلۡمِهِۦ وَأَصۡلَحَ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَتُوبُ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُور رَّحِيم

“Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” ( QS. al-Maidah, 5: 39)

Menurut al-Razi (w.605 H./1209 M.) tobat menghapus hukuman. Pendapat yang sama juga di kemukakan oleh Imam Syafi’i (w. 204 H./820 M.), Ahmad Ibn Hambal (w. 241 H) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H.)

E. Nilai-Nilai Instruksional

Nilai-nilai kandungan Al-Quran yang lima adalah Nilai-nilai  intruksional.  Nilai-nilai  intruksional adalah  sejumlah instruksi, arahan, petunjuk dan nasehat yang bersifat spesifikdalam Alquran yang kaitan dengan berbaga isu, situasi, lingkungan, dan konteks tertentu. Sejumlah besar nilai-nilai Alquran tampaknya bersifat instruksional. Teks-teks instruksional tersebut menggunakan beragam alat kebahasaan, misalnya kalimat amr, nahi, pernyataan berbuat baik, perumpamaan, kisah, dan penyebutan kejadian tertentu. Secara lebih terperinci misalnya instruksi untuk menikahi lebih dari satu perempuan dalam kondisi tertentu, bahwa laki-laki ‘memelihara’ perempuan, perintah untuk berbuat baik kepada orang-orang tertentu misalnya orang tua, untuk tidak menjadikan kaum kafir sebagai teman, dan untuk mengucapkan salam.

Pos Terkait:  Takhsis, Pengertian, Macam-Macam, dan Contohnya

Menurut Saeed dibanding nilai-nilai sebelumnya, nilai intruksional ini adalah yang paling banyak, paling sulit, paling beragam dan berbeda-beda. Karena itu kategorisasi nilai-nlai ini adalah perkara yang sulit, oleh karenanya Saeed lebih memilih menampilkannya begitu saja.

Dalam menyikapi keberadaan nilai-nilai intruksional ini maka harus dieksplorasi dengan hati-hati dan diperiksa apakah ada nilai-nilai tertentu yang bisa di praktikkan secara universal atau ada nilai-nilai tertentu yang hanya bisa dipraktikkan pada kondisi tertentu karena seperti yang diketahui nilai-nilai tersebut sangat erat dengan kondisi saat itu. Menjawab persoalan tersebut, Saeed menawarkan sebuah rumusan untuk mengukur apakah nilai tertentu dapat dipraktikkan secara universal atau hanya pada kondisi tertentu.

Maka untuk mengukur hal tersebut marus memperhatikan perihal berikut ini:

Pertama, frekuensi. Frekuensi berkaitan dengan seberapa sering nilai tertentu disebutkan dalam Alquran melalui penelusuran tema-tema yang terkait dengan nilai tersebut. Misalnya ‘menolong kaum miskin’ disampaikan Alquran melalui beberapa konsep misalnya ‘menolong mereka yang membutuhkan’, memberi makan kepada fakir miskin’, dan ‘merawat anak yatim’. Prinsipnya, semakin sering tema tersebut diulang-ulang dalam Alquran, semakin penting nilai tersebut. Meskipun, kesimpulan dari penelusuran ini harus diakui hanya mampu mencapai derajat perkiraan karena keterbatasan menelusuri keseluruhannya dalam Alquran.

Kedua, penekanan. Ukuran ini mempertanyakan apakah nilai ini betul-betul ditekankan dalam dakwah Nabi. Prinsip yang dipegang adalah, semakin besar penekanan nilai tertentu dalam dakwah Nabi maka nilai tersebut semakin signifikan. Misalnya, nilai yang ditekankan Nabi dalam dakwahnya selama periode Makkah sampai Madinah adalah membantu mereka yang terzalimi. Namun, jika nilai tertentu disebutkan kemudian ditinggalkan, atau jika nilai-nilai yang bertentangan dengannya, maka bisa diasumsikan nilai tersebut tidak lagi memiiki nilai yang signifikan  dalam kerangka Alquran secara keseluruhan. Penelusuran terhadap takaran ini memerlukan pengetahuan sejarah, karakteristik bahasa atau linguistik teks dan konteks pada saat itu. Pengetahuan akan hal di atas tidak bermakna untuk mengetahui waktu dan kondisi persis seperti yang terjadi pada masa itu, tapi lebih digunakan untuk melakukan pendasaran apakah nilai tersebut ditekankan pada periode tertentu.

Ketiga, relevansi. Relevansi  ini dibagi dua macam; (1) relevansi terhadap budaya tertentu yang dibatasi waktu, tempat dan kondisi, (2) relevansi universal tanpa memperhatikan waktu, tempat dan kondisi. Hal ini mengingat Nabi Muhammad diturunkan dalam masyarakat Hijaz, yang memiliki hubungan penting antara misi Nabi dan budaya masyarakat waktu itu. Seperti diketahui, tidak semua ajaran, nilai, dan praktik dalam masyarakat pra-Islam yang dibuang oleh Nabi. Sehingga rasional jika dikatakan bahwa apa yang dilakukan dan dikatakan Nabi sesuai dengan kondisi saat itu. Karena itu, wawasan akan konteks budaya masa pewahyuan sangat penting untuk menentukan relevansi nilai-nilai instruksional.

Untuk mengetahui apakah nilai-nilai ini berlaku universal atau hanya kondis tertentu maka harus mempertimbangkan hal berikut ini:

  1. Semakin sering nilai-nilai instruksional diulang-ulang dalam al-Quran maka nilai-nilai tersebut dapat diasumsiakan berlakukan secara universal.
  2. Semakin besar ruang lingkup nilai-nilai instruksional maka nilai-nilai tersebut dapat diasumsiakan berlakukan secara universal.
  3. Semakin umum relevansi nilai-nilai instruksional maka nilai-nilai tersebut dapat diasumsiakan berlakukan secara universal.

Dengan demikian jika nilai-nilai instruksional memenuhi tiga kreteria tersebut secara positif maka nilai-nilai tersebut berlaku universal dan jika sebaliknya maka hanya berlaku pada kondisi-kondisi tertentu.

D. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa teks al-Quran memiliki berbagai kandungan penafsiran. Kandungan tersebut dapat di simpulkan menjadi dua, yaitu: Pertama Teks universal. Abdullah Saeed menyebutnya dengan kata ashl ia adalah hal-hal pondasi agama yang bersifat tetap ( Tsawabit ) tidak berubah dalam konteks spesifik apapun hal-hal seperti ini jumlah relatif sedikit. Dengan menggunakan hirarki nilai-nilai Abdullah saeed menjelaskan ashl  adalah nilai-nilai yang wajib -keyakinan-keyakinan fundamental, praktek-praktek ibadah fundamental dan hal-hal yang jelas halal dan haramnya-, nilai-nilai fundamental, nilai-nilai perlindungan dan nilai-nilai instruksional yang sering, yang menonjol dan relevan. (Baca buku : Reading The Quran  bab 6).

Pos Terkait:  ‘Am : Pengertian, Lafadz-Lafadz 'Am dan Contohnya

Kedua Teks non-universal. Ia  ialah hal-hal yang  dapat berubah dalam konteks tertentu karena ia bukan merupakan hal-hal  yang bersifat prinsip dalam agama dalam hirarki nilai-nilai Abdullah Saeed menyebutnya sebagai nilai-nilai implementasi dan nilai-nilai instruksional yang tidak sering, yang tidak menonjol dan tidak relevan. (Baca buku : Reading The Quran  bab 6 ). Hal-hal inilah menjadi perhatian dalam kajian kontekstual.

 

___________________________________________________

[1] QS. Al-Maidah (5): 38-39 :

وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلا مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيم. فَمَن تَابَ مِنۢ بَعۡدِ ظُلۡمِهِۦ وَأَصۡلَحَ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَتُوبُ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُور رَّحِيم

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

[2] QS. Al-Baqarah : 178

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِصَاصُ فِي ٱلۡقَتۡلَىۖ ٱلۡحُرُّ بِٱلۡحُرِّ وَٱلۡعَبۡدُ بِٱلۡعَبۡدِ وَٱلۡأُنثَىٰ بِٱلۡأُنثَىٰۚ فَمَنۡ عُفِيَ لَهُۥ مِنۡ أَخِيهِ شَيۡء فَٱتِّبَاعُۢ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيۡهِ بِإِحۡسَٰنۗ ذَٰلِكَ تَخۡفِيف مِّن رَّبِّكُمۡ وَرَحۡمَةۗ فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيم

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”

[3] Qs. Al-Nur (24): 5 :

وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَة وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَداۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ  إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ مِنۢ بَعۡدِ ذَٰلِكَ وَأَصۡلَحُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُور رَّحِيم

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

[4] QS. Al-Nur (24) : 2-3:

ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِد مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةۖ وَلَا تَأۡخُذۡكُم بِهِمَا رَأۡفَة فِي دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۖ وَلۡيَشۡهَدۡ عَذَابَهُمَا طَآئِفَة مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”

Demikian penjealasan Kandungan Makna Al-Quran. Wallahu A’lam bisshowab.

Penulis: Abd. Muqit