Ilmu Tafsir

Macam-Macam Sumber Penafsiran Al-Quran

×

Macam-Macam Sumber Penafsiran Al-Quran

Share this article
7 Fungsi dan Manfaat Al-Qur’an Dalam Kehidupan Sehari-hari
7 Fungsi dan Manfaat Al-Qur’an Dalam Kehidupan Sehari-hari

Iqipedia.com – Syari’at Islam adalah norma-norma aturan yang datang dari Allah untuk dipedomani manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Norma-norma itu disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad melalui wahyu- Nya yang termaktub dalam Al-Qur’an. Akan tetapi pada kenyataan nya tidak semua ayatAl-Qur’an yang ketentuan hukumnya sudah siap pakai, sebab di dalamnya masih banyak terdapat hal-hal yang global dan perlu penjelasan lebih lanjut.

Karena banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang perlu penjelasan dalam penerapannya, maka Rasulullah diberikan rekomendasi untuk menjelaskan apa yang ada dalam Al-Qur’an lewat perkataan, perbuatan maupun taqrirnya. Pada masa pasca Rasulullah persoalan-persoalan umat menjadi lebih banyak dan komplek, sementara Rasulullah sendiri sebagai sumber utama hadis telah wafat, dengan sendirinya para sahabat mencoba menjawab dan menyelesaikan persoalan yang baru muncul dengan menginvertarisasi pemahaman terhadap kandungan al-Qur’an.

Apa yang dilakukan para sahabat tersebut selanjutnya diikuti oleh generasi berikutnya dari kalangan tabi’in. Dalam memahami Al-Qur’an, para tabi’in berupaya menelusuri penafsiran Rasulullah dan para sahabat yang merupakan guru mereka. Para tabi’in terkadang juga dituntut untuk melakukan ijtihad secara terbatas dalam memahami ayat-ayat tertentu, terutama jika penafsiran sebelumnya tentang hal tersebut tidak ditemukan. 

Hasil penafsiran diatas, yang terdiri atas penafsiran Nabi, Sahabat, dan tabi’in dikenal dengan istilah  tafsir bil ma’tsur. Dikatakan bil ma’tsur karena tafsir jenis ini mendasari dirinya kepada atsar-atsar atau riwayat-riwayat baik dari Nabi, sahabat maupun tabi’in. Tafsir bil ma’tsur berkembang hingga penghujung generasi tabi’in, yaitu sekitar tahun 150 H.

Pada periode kedua tersebut mucul model penafsiran baru terhadap Al-Qur’an yang dikenal dengan istilah tafsir bil ra’yi. Tafsir bil ra’yi dapat dipahami sebagai penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan penalaran dan pemikiran manusia. Sekalipun mendasari diri pada penalaran, tafsir bil ra’yi tidak secara mutlak melepaskan diri dari penafsira-penafsiran sebelumnya. 

Sumber-sumber tafsir mengandung arti adanya faktor-faktor yang dapat dijadikan acuan atau pegangan dalam memahami kandungan ayat-ayat Al-Qur’an acuan ini dapat digunakan sebagai penjelas, perbendaharaan dan perbandingan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dengannya hasil penafsiran itu walaupun tidak mutlak kebenarannya, tetapi setidaknya dapat mendekati kepala maksud yang diinginkan ayat bersangkutan. Sumber-sumber tafsir yang disepakati oleh ulama dan banyak dijadikan sebagai acuan oleh para muffasir ada tiga macam :

1. Wahyu

Tidak ada perselisihan di antara ulama bahwa sumber tafsir pada masa Rasulullah adalah wahyu. Secara bahasa wahyu berarti “isyarat yang tepat”. Dalam bahasa arab jika dikatakan wahaitu ilaihi dan auhaitu maka maksutnya dia berbicara pada seseorang agar tidak diketahui orang yang lain. Sedangkan menurut istilah, wahyu adalah pemberitahuan Tuhan kepada para Nabi-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi meyakinkan kepada Nabi/Rasul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya adalah benar-benar dari Allah.  

Pos Terkait:  Makkiyah dan Madaniyah : Pengertian, Kandungan, Faedah, Cara Mengetahuinya, Ayatnya

 Allah menjelaskan di dalam Al-Qur’an tentang cara menyampaikan apa yang dikehendaki-Nya kepada Nabi-Nya yang mana di antaranya dengan perantaran wahyu, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Syura ayat 51 yang artinya :

“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaran wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan  seizinnya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi Lagi Maha Bijaksana”. 

Hadis kedua menunjukkan bahwa Rasulullah menafsirkan Q.S Yusuf  dengan wahyu yang dibawa jilbril kepadanya berkenaan dengan nama-nama bintang yang ditanyakan orang yahudi itu. Ini artinya Rasulullah telah menafsirkan al-Qur’an dengan wahyu yang hakikatnya secara makna memang dari Allah tetapi memakai bahasa Nabi sendiri. Dari sini sudah dapat dipahami adanya perbedaan antara wahyu dalam arti Al-Qur’an.

Penafsiran yang mengambil sumber dari wahyu (Al-Qur’an dan Hadis) merupakan model tafsir tertinggi yang tidak dapat diperbandingkan dengan sumber lain. Hanya saja terkait dengan yang bersumber dari hadis kiranya kita perlu melakukan verifikasi dan meneliti riwayat-riwayat sebelum riwayat itu dijadikan sebagai sumber penafsiran. 

2. Al-Ra’yu (Logika)

Sumber tafsir yang kedua adalah al-ra’yu (pikiran manusia). Istilah ra’yu dekat maknanya dengan ijtihad (kebebasan penggunaan akal ) yang didasarkan atas prinsip-prinsip yang benar, menggunakan akal sehat dan persyaratan yang ketat. Sandaran yang dipakai adalah bahasa, budaya arab yang terkandung di dalamnya, pengetahuan tentang gaya bahasa sehari-hari dan kesadaran akan pentingnya sains yang amat diperlukan oleh mereka yang ingin menafsirkan Al-Qur’an.

Pos Terkait:  Muhkam dan Mutasyabih, Pengertian, Ciri-Ciri, Macam-Macamnya

Secara realita, setelah Rasulullah wafat pada tahun 11 H (623 M), para sahabat makin giat mempelajari Al-Qur’an dan memahami maknannya dengan jalan riwayat secara lisan dari sahbat yang satu kepada sahabat yang lain, terutama mereka yang banyak mendengarkan hadis dan tafsir dari Nabi. Penafsiran para sahabat pada mulanya didasarkan atas sumber yang mereka terima dari Nabi.

Mereka banyak mendengarkan tafsiran Nabi dan memahaminya dengan baik. Mereka menyaksikan peristiwayang melatarbelakangi turunnya ayat dan menguasai bahasa arab secara baik. Mereka juga mengetahui dan menghayati budaya serta adat istiadat bangsa arab.

Penafsiran sahabat pada umumnya adalah menggunakan riwayat (ma’tsur). Akan tetapi penggunaan ra’yi sebagai sumber tafsir pada kenyataannya juga sudah muncul pada masa-masa sahabat. Menurut Abd. Muin Salim bahwa potensi pengetahuan yang digunakan sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan ra;yu adalah :

  • Penggunaan tentang fenomena sosial yang menjadi latarbelakang dan sebab turunnya ayat
  • Kemampuan dan pengetahuan kebahasaan 
  • Pengertian Kealaman
  • Kemampuan intelegensia 

Berkenaan dengan sumber tafsir dengan ra’yu yang telah diuraikan di atas, tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai kebolehannya untuk dijadikan sumber tafsir. Hanya saja mereka membagi tafsir bi al-ra’yi ini dalam dua kategori :

  1. Tasir yang terpuji ( mahmudah), yakni tafsir al-Qur’an yang didasarkan dari ijtihad yang jauh dari kebodohan dan penyimpangan serta sesuai dengan kaidah bahasa arab. Tafsir bi al-ra’yi yang terpuji ini dibolehkan dan dapat diterima. 
  2. Tafsir yang tercela (mazmumah), yakni tafsir Al-Qur’an tanpa dibarengi dengan pengetahuan yang benar. Artinya, tafsir yang didasarkan hanya kepada keinginan seseorang dengan mengabaikan peraturan dan persyaratan tata bahasa dan kaidah-kaidah hukum islam. Tafsir bi al-ra’yi yang tercela ini tidak dibolehkan da n tidak dapat diterima. 

Pada masa-masa selanjutnya, tafsir bi al-ra’yi selalu menjadi masalah aktual. Hal tersebut disebabkan adanya pelarangan terhadap tafsir bi al-ra’yi. Pelarangan ini tentu saja mewariskan rasa takut dan menyebabkan penghalang untuk mengkaji isi kandungan Al-Qur’an dan masalah-masalah peradaban yang menjadi salah satu bukti katanya al-Qur’an. 

3. Israiliyat 

Sumber tafsir yang ketiga adalah israiliyat. Ulama mendefinisikan israiliyat sebagai cerita-cerita dan informasi yang berasal dari orang yahudi dan nasrani yang telah menyusup ke dalam masyarakat islah setelah kebanyakan orang-orang yahudi dan nasrani memeluk agama islam. Oleh para sahabat, ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) dianggap memiliki pemahaman yang lebih baik dan lebih luas wawasan terhadap kitab-kitab mereka (Taurat dan Injil). Maka tidaklah mengherankan apabila keterangan-keterangan ahli kitab oleh sebagian sahabat dijadikan sumber untuk menafsirkan Al-Qur’an.

Pos Terkait:  Prinsip-Prinsip Metodologi Tafsir Kontekstual

Kebanyakan informasi yang berasal dari orang yahudi biasa terdapat dalam riwayat yang disampaikan oleh empat orang yaitu Abdullah bin Salam, Ka’ab Al-Ahbar, Wahab bin Munabbih, dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin juraij. Dari pendapat-pendapat di atas tidak ada yang mengisyaratkan adanya larangan atau keharusan dalam mempergunakan keterangan-keterangan Israiliyat sebagai sumber tafsir. Artinya, boleh bila tidak bertentangan dengan al-Qur’an, sunnah, dan ra’yu (logika). 

Israiliyat tidak hanya terbatas pada ayat-ayat tentang kisah umat terdahulu saja, tetapi juga mencakup ayat-ayat yang berkenaan dengan soal-soal gaib. Gejala ini berkembang pada masa-masa selanjutnya karena ke dalam tafsir diikutkan pula masalah-masalah yang tidak rasional dan alamiah. Kenyataan seperti ini dipandang sebagai suatu aib bagi tafsir sehingga timbul ide dan usaha untuk membersihkan Israiliyat dengan analisis kritis. 

KESIMPULAN

Pada saat ini rupanya sulit untuk memahami fenomena-fenomena yang ada tanpa diawali dengan pemahaman yang utuh atas fenomena pada abad-abad permulaan ketika Al-Qur’an diturunkan. Bila direnungkan, wahyu begitu terasa hidup membumi pada waktu Rasulullah dan para sahabat nya masih hidup.

Pada masa itu para sahabat memiliki kemudahan dalam memahami bahasa Al-Qur’an karena sumber-sumber rujukan dapat ditemukan langsung. Hal tersebut tidak lah menjadi penghalang dalam melihat dan menganalisis Al-Qur’an, tentu saja tetap berpijak pada pemahaman yang pertama kali dicontohkan pada abad-abad permulaan dan tidak keluar dari bingkai itu.

Jika tidak dapat dipungkiri adanya kekhawatiran dari sejumlah kalangan yang hanya terpaku pada batasan-batasan yang telah digariskan pada abad-abad permulaan, tanpa ada usaha pengembangan lebih jauh serta membuka cakrawala baru dalam rangka interprestasi. 

Penulis: Puji Isti Zulaikhah

Referensi:

  1. Muhammad Zain : Sumber-Sumber Penafsiran Al-Qur’an
  2. Jurnal Substantia, Vol. 14, No 1, April 2012
  3. Abd. Muin Salim, beberapa aspek metodologi Tafsir al-qur’an, Ujung Pandang : LSKI, 1990