Hakikat dan majaz
Hakikat dan majaz

Hakikat dan Majaz, Pengertian, Macam-Macam dan Contohnya

Posted on

Iqipedia.com – Kata dalam al-Quran mempunyai dua macam makna, yaitu hakikat dan majaz. Hakikat dan majaz ini adalah suatu model makna dalam al-Quran yang di gunakan Allah dalam menyampaikan firman-Nya. Dari kedua model makna ini kiranya seseorang yang hendak memahami al-Quran harus memahami apakah kata dalam al-Quran itu bermakna hakikat atau majaz, serta wajib pula mengetahui teori hakikat dan majaz.

Pengertian Hakikat

Mengutip dari kitab syarah waroqat, hakikat di difinisikan sebagai berikut:

فالحقيقة ما بقي في الاستعمال على موضوعه

            “Hakikat adalah kata yang menggunakan makna asalnya”

Ada pula yang mendefinisikan sebagai berikut:

ما استعمل فيما اصطلح عليه من المخاطبة

“Hakikat adalah kata yang menggunaka makna dalam istilah dari mukhatab”

Kedua definisi ini secara subtansi memiliki arti yang sama, walaupun secara redaksi berbeda. Maksudnya hakikat adalah kata yang menggunakan makna asalnya.  Misalnya kata al-Badr, jika kata ini di maknai rembulan maka maknanya masuk hakikat, namun jika kata ini di maknai kekasih yang kecantikannya bagaikan rembulan maka makna ini bukan makna hakikat, tetapi menggunakan makna majaz.

Macam-Macam Hakikat

Hakikat memiliki empat macam, yaitu lughuwi, syar’i, ‘urf khash dan ‘ruf ‘am. Berikut ini penjelasannya:

1. Hakikat Lughawi

Hakikat lughuwi adalah makna suatu kata yang di buat ahl bahasa. Makna hakikat lughuwi ini  adalah makna asal dari sebuah kata, sebelum makna kata tersebut berkembang. Sederhanaya untuk menggambarkan makna lughuwi, mungkin kita  sering menemukan kalimat  “definisi ini secara bahasa”, nah “definisi ini secara bahasa”, inilah makna hakikat lughuwi. Memang sebuah kata itu berkembang terus menerus, namun makna kata yang berkembang itu tidak bisa di sebut makna lughuwi, yang di maksud dari makna lughuwinya tetap makna asli yang pertamaya. Makanya kita juga sering menemukan “kata ini berasal dari bahasa arab”, maka jika kita ingin mengetahui makna lughuwinya maka harus melacak dari kamus arab.

Untuk contohnya dalam al-Quran, misalnya kata rabbukum dalam ayat di bawah ini:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai manusia, sembahlah Tuhan kalian yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kaian bertakwa” (QS. Al-Baqarah, 2: 21)

Kata rab makna lughuwinya adalah sifat Allah yang berkaitan dengan kepengasuhan. Kemudian makna rab berkembang menjadi bermakna “memiliki”, “memperbaiki”, “mendidik”, dan  “Tuhan”.

2. Hakikat Syar’iyah

Hakikat syar’iyah adalah makna suatu kata yang di buat oleh syari’, yaitu Allah SWT. dan Rasulullah SAW. dalam bahasa lainnya hakikat syar’iyah ini adalah makna yang di kehendaki Allah dan Rasulullah Saw. Msalnya kata al-Shalat dalam ayat di bawah ini:

Pos Terkait:  Kodifikasi Al-Quran Mulai Masa Rasulullah Hingga Sayyidina Utsman RA.

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

“Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, melaksanaka shalat dan menginfakkan sebagain rizqinya” (QS. Al-Baqarah, 2: 3)

Kata al-Shalat dalam ayat di atas di maknai secara hakikat syar’iyahnya, yaitu perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang di awali dengan takbir dan di akhiri dengan salam. Sedangkan makna lughuwinya al-Shalat adalah doa. Makna-makna syar’iyah ini banyak kita temukan dalam kitab-kitab fiqh, misalnya kata al-Shaum, makna syara’nya adalah menjaga diri hal-hal yang membatalkan puasa sedangkan makna lughuwinya adalah menjaga, misalnya lagi kata al-Zakat, makna syara’nya adalam mengeluarkan harta tertentu dengan cara tertentu dan di berikan kepada golongan-golongan tertentu.

3. Hakikat Urf Khas

Hakikat ‘urf khas adalah makna yang di buat oleh kalangan tertentu, seperti Ahl nahw, fuqaha’, muhadditsin dan kalangan lainya. Dalam perkemabangannya pada era kontemporer ini, makna ini di susun dan di rumuskan oleh pakar-pakar keilmuan atau lembaga negara. Pakar keilmuan dan lembaga kenegaraan merumuskan makna suatu kata yang di definisikannya sesuai persepektif mereka. Maka dari suatu kata harus di maknai sesuai dengan konteks pembicaranya. Misalnya kata al-Sunnah, dalam kalangan muhadditsin bermkna sabda, perbuatan atau taqrir rasulullah saw. Sedangkan dalam kalangan fuqaha’  kata al-Sunnah bermakna sesuatu yang bila di kerjakan mendapatkan pahala dan bila di tinggalkan tidak mendapatkan siksa. Sedangkan contoh dalam al-Quran yaitu seperti kata al-Shiyam dalam ayat di bawah ini:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-baqarah, 2: 183)

Kata al-Siyam dalam kalang tasawuf (sufi) bermakna 1) puasa orang awam, yaitu menjaga dari hal-hal yang membatalkan puasa; 2) puasa seseorang khas, yaitu menjaga diri selain hal-hal yang membatalkan puasa juga menjaga diri maksiat kepada Allah Swt. 3) puasa khuwasu al-Khash, yaitu selain menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dan maksiat, juga menjaga diri dari agar hatinya selalu ingat kepada Allah dan tidak lupa dari Allah Swt.

4. Hakikat ‘Urf  ‘Am

Hakikat ‘urf ‘am adalah makna suatu kata yang di buat atau berkembang dalam masyarakat. Makna ini berkembang dalam masyarakat alamiah tanpa melalui proses akademik, diskusi, atau rembukan dari masyarakat. Makna ini berkembang secara natural dan menjadi kebiasaan masyarakat dalam memaknai suatu kata tersebut dalam kesehariannya. Walau demikian, tetapi makna ini tetap membawa makna lughuwinya.

Pos Terkait:  Metode Tafsir Tematik Kontekstual

Contoh kata ghaith  dalam ayat al-Quran di bawah ini:

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

“Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau salah satu dari kalian kembali dari tempat buang air besar atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak mendapatkan (tidak ada) air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (bersih); lalu usaplah wajah kalian dan kedua tangan kalian  dengan debu itu”. (Qs. Al Maidah: 6)

Kata ghaith dalam ayat di atas memakai makna hakikat ‘uruf ‘am, yaitu  buang air besar, bukan memakai makna lughuwinya, yaitu  jurang yang di buat tempat buang air besar atau Spiteng.

Pengertian majaz

Kata majaz barasal dari kata al-Jawaz, yang berarti melampai. Menurut Zamakhsyari, majaz adalah kata yang yang tidak menggunakan makna asalnya. Sedangkan menurut Ibn Qudamah, majaz adalah lafadh yang menggunakan makna selain makna asalnya dengan metodde yang sah. Hemat penulis, majaz adalah kata yang tidak menggunakan makna asalnya, penggunaan makna ini harus berdasarkan cara legal dalam kaidah tafsir, serta penggunaan makna majaz ini di lakukan jika makna asalnya tidak relevan atau malah bertentangan dengan akal atau ushuludin, akidah, dan permasalahan  pokok agama. Seperti contoh:

يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ

“Kekuasaan Allah di atas kekuasaan mereka” (QS. Al-Fath : 10)

Kata yadullah di atas bermakna kekuasaan Allah, makna kekuasaan ini adalah makna majaz dari kata yadullah, karena makna hakikatnya yadullah adalah tangan Allah.

Kata majaz juga sering di gunakan dalam keseharian masyarakat, tujuanya memperindah bahasa/kata, menghindari bahasa yang kotor atau kasar serta di gunakan untuk kata sindiran. Dengan demikian seseorang sangat di anjurkan menggunakan kata majaz jika hal yang ingin di katakan tidak elok atau kurang baik di muka publik. Misalnya hendak buang air besar, maka ia  mengakatan saya mau ke toilet.

Macam-Macam Majaz

Majaz terdapat tiga macam, yaitu majaz naqsh, majaz ziyadah, dan majaz isti’aroh. berikut ini penjelasannya:

1. Majaz Naqsh

Majaz an-Naqshu adalah majaz dengan membuang sebagian kata yang di katakan. Contoh:

وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا وَإِنَّا لَصَادِقُونَ

” Tanyalah kepada penduduk negeri tempat kami berada dan kafila yang datang bersama kami. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar ” (QS. Yusuf: 82)

Kata الْقَرْيَةَ dalam ayat di atas, membuang lafadh اهل,  dengan demikian,  qaryah dalam ayat di atas harus di artikan penduduk negeri. Karena kata الْقَرْيَةَ membuang kata اهل  maka kalimat tersebut di namai majaz naqsh. Ulama’ berargumen mengapa kata qaryah harus di tafsirkan dengan ahla qaryah (penduduk negeri), karena secara logika seseorang tidak mungkin bertanya kepada negeri, hal itu mustahil, karena suatu negeri tidak mungkin dapat di tanyakan sesuatu.

Pos Terkait:  Takhsis, Pengertian, Macam-Macam, dan Contohnya
2. Majaz Ziyadah

Majaz ziyadah adalah kata yang menambahkan lafadh yang tidak memiliki makna. Contoh:

فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“(Allah) pencipta langt dan bumi. Dia yang menjadikan kalian berpasang-pasanan, dan dari hewan berpasang-pasangan.Dia menjadikan kalian berkembang biak di dalamnya.  Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, Dia Maha mendengar lagi Maha melihat” (QS. Asy-Syura: 11)

Kata kaf pada كَمِثْلِهِ  tidak meiliki makna, kaf tersebut di ziyadah (tambahan). Karena kaf  pada كَمِثْلِهِ  hanya sebagai tambahan maka كَمِثْلِهِ  di sebut majaz ziyadah.

3. Majaz Isti’arah

Majaz isti’arah adalah majaz yang meminjam makna kata lain. Contoh:

فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا

“Keduanya (Nabi Hidir As dan Nabi Musa As)  berjalan hingga sampai kepada penduduk suatu negeri yang memberi makanan, kemudian mereka berdua tidak mau di suguhi. Lalu mereka berdua menemukan tembok yang mau roboh, lalu mereka berdua menegakkannya. Nabi Musa berkata kepada Nabi Hidir,  jika engkau mau niscaya engkau mengambil imbalan atas tembok itu” (QS. al-Kahf: 77).

Kata  يَنْقَضَّ, meminjem makna yakadu an yasquthu, (tembok yang mendeekai roboh), karena itu kata يَنْقَضَّ di sebut majaz isti’aroh. Ayat ini mengkisahkan perjalanan Nabi Musa menuntut ilmu kepada Nabi Hidir, namun Nabi Musa gagal mendapatkan ilmunya Nabi Hidir karena tidak dapat memenuhi syarat yang berikan Nabi Hidir. Majaz seperti ini banyak di temukan dalam al-Quran, misalnya yadullah dalam definisi di atas. misalnya lagi kata rofats, yang menggunakan makna berhubungan suami istri padahal makna asalnya adalah kotor. Hal-hal seperti ini di lakukan untuk menghindari perkataan-perkataan tidak elok di muka publik atau bertetangan dengan akidah.

Demikian penjelasan tentang hakikat dan majaz, semoga bermanfaat. amin…

Terimakasih.

Baca juga: ‘Am : Definisi ‘Am dan Lafadh-Lafadh ‘Am

Link jurnal