Maslahah
Maslahah

Maslahah : Pengertian, Syarat, Macam-Macam, Dharuriyah, Hajiyah, Tahsiniyah

Posted on
Pengertian Maslahah

Maslahah adalah nilai-nilai yang menjamin terciptanya manfaat dan kepada manusia serta dapat menghindarkan manusia dari kemadarotan dan kerusakan baik di dunia dan akhirat.

Maslahah dalam etimologi berarti pepedulian, keuntungan, Kebaikan, Kesejahteraan, dan maslahah. Terminologi maslahah  merupan derivasi dari lawannya, yaitu al-Mafsadah, yang berarti sesuatu yang banyak mendatangkan kerusakan atau kemudaratan. Hakikat mashlahât adalah segala kenikmatan dan kesenangan baik bersifat jasmani atau ruhani, secara akal maupun jiwa. Sedangkan hakikat mafsadât adalah segala rasa sakit dan siksaan, baik bersifat jasmani maupun ruhani, akal maupun jiwa.

Beberapa pakar ushul fiqh, mendefinisikan maslahah sebagai berikut ini:

Pertama, Abu Hamid Muhamad al-Gazali mendefinisikan maslahah  adalah ungkapan untuk meraih kemanfaatan atau menolak kemudaratan.  Iamm al-Gazali juga mendefinisikan mashalah dengan memelihara maksud-maksud syara’ yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Perlinlindungan tersubut juga tidak hanya sebatas tujuan-tujuan tersebut, melainkan juga segala hal yang dapat menjamin terpeliharanya tujuan syariat tersebut. Pemeliharaan tersebut di sebut maslahah, dan menyia-nyiakannya berarti mafsadah serta menjauhkan segala rintangan untuk terjaminnya pemeliharaan lima perkara tadi, adalah berarti maslahah juga.

Kedua, al-Buthi  mendefinisikan bahwa maslahah  adalah kemanfaatan yang dimaksudkan oleh Syari’ yang Maha bijaksana bagi hamba-hamba-Nya berupa pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka berdasarkan skala prioritas urutan penyebutan, sedangkan manfaat ialah kelezatan, dan media ke arahnya, dan menolak dari penderitaan, atau media ke arahnya.

Ketiga, Imam  Syathibi mengatakan, intinya yang dimaksud dengan mashlahâh adalah segala sesuatu yang terdapat manfaat di dalamnya, baik cara mendatangkan, atau cara menolak dan menjaganya. Hakikat mashlahâh adalah segala kenikmatan baik bersifat jasmani atau ruhani, secara akal maupun jiwa. Sedangkan hakikat mafsadât adalah segala rasa sakit dan siksaan, baik bersifat jasmani maupun ruhani, akal maupun jiwa. Mashlahâh yang dianggap secara syara’ adalah mashlahâh yang murni tanpa bercampur dengan mafsadâh baik sedikit maupun banyak.

Pos Terkait:  Kodifikasi Al-Quran Mulai Masa Rasulullah Hingga Sayyidina Utsman RA.
Syarat-Syarat maslahah

Dalam hal ini, al-Ghazali menyebutkan secara gamblang syarat-syarat muslaha mursalah yang dijadikan hujjah (dalil) dalam penetapan hukum, yaitu;

  1. Maslahat itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syariat dalam penetapan hukum Islam (yang dimaksudkan untuk memelihara agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan/ kehormatan). Inilah persyaratan ini bagi di terimannya maslaha mursalah. Maslahah mulgah (yang bertentangan dengan nas dan ijma’) harus di tolak. Demikian pula maslaha gharibah (yang sama sekali tidak ada dalilnya, baik yang membenarkan maupun yang membatalkan). Bahkan al-Ghazali yang menyatakan maslahat semacam itu hakikatnya tidak ada.
  2. Maslahat itu harus berupa maslahat daruriat atau hajiah yang menempati kedudukan daruriah. Maslahat tahsiniat tidak dapat dijadikan hujjah/pertimbangan penetapan hukum Islam, kecuali ada dalil khusus yang menunjukkannya, yang berarti penetapan hukumnya itu lewat qiyas, bukan atas nama maslahah mursalah.

Lebih tegas lagi, al-Ghazali menyatakan bahwa setiap maslahah yang bertentangan dengan Alquran, sunnah, atau ijma’ adalah batal dan harus ditolak. Adapun kemaslahatan yang sejalan dengan syara’ maka ia diterima untuk di jadikan pertimbangan dalam penetapan hukum Islam. Dengan pernyataan ini, al-Ghazali ingin menegaskan bahwa tak satupun hukum Islam yang kontra dengan kemaslahatan, atau dengan kata lain tak akan ditemukan hukum Islam yang menegaskan dan membuat mudharat umat Islam.

Macam-Macam Maslahah

Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan utama penetapan hukum islam untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia pada dua dimensi, yaitu duniawi dan ukhrawi, maka peranan maslahah dalam hukum Islam adalah sangat dominan dan menentukan dalam meng-istinbat hukum. Oleh sebab itu, Al-Ghazali membagi maslahat menjadi tiga, yaitu:

1. Maslahah mu’tabarah

Maslahah mu’tabarah adalah kemaslahatan yang di benarkan oleh syara’. Misalnya zakat, zakat memberi kemaslahatan kepada fakir Dengan zakat ini fakir miskin dapat makan dan memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

2. Maslahah mulghah

Maslaha mulghah adalah maslahah yang tidak di benarkan oleh syara’ atau malah bertentangan dengan syara’. Atau dapat juga di definisikan sebagai kemaslahatan yang mengandung mafsadah misalnya, mengghasob barang orang lain. Mengghasob barang orang lain ini dapat memberii kemaslahatan kepada orang yang ghasob tetapi ghasob ini juga memberi mafasdah kepada orang yang di ghasob.

Pos Terkait:  Prinsip-Prinsip Metodologi Tafsir Kontekstual

Imam al-Syathibi mengklasifikasi maslahah ini dalam tiga tingkatan dengan mengukur dari kadar primer dan skundernya. Klasifikasi tersebut yaitu sebagi berikut:

1.  Dharuriyah.

Dharuriyah adalah  sesuatu yang tidak boleh tidak harus ada dalam mewujudkan kemaslahatan agama dan dunia, bila hal tersebut tidak ada maka kemaslahatan dunia tidak berjalan stabil bahkan rusak dan binasa. Sedangkan di akhirat menyebabkan tidak selamat dari murka Allah, kenikmatan, dan kembali kepada Allah dengan kerugian yang nyata.

2.  Hajiyah.

Hajiyah adalah sesuatu yang di butuhkan untuk kelonggaran dan menghilangkan kesempitan yang dapat menyebabkan kesulitan, yang berikut juga akan menyebabkan terabaikannya hal yang dicari. Apabila maqasid itu tidak di jaga umumnya orang mukallaf akan terjebak dalam kesulitan  namun tidak sampai pada tingkat kerusakan normal yag di hindari dalam kemaslahatan umum.

3. Tahsiniyah

Tahsiniyah adalah mengambil teradisi yang baik dan pantas serta menjahui hal-hal yang dapat menodai yang dicela oleh akal sehat.  Pengertian tersebut terangkum dalam bagian akhlak mulia.

Interkoneksi Masalah dalam Kuliyah Khams

Ulama’ klasik menyebutnya dengan Usulul  khams, yaitu perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Namun pada masa klasik ushulul khamsi ini bersifat parsial dan hirarkis, yakni kemaslahatan yang berkaitan dengan agama didahulukan dari pada empat  kemaslahatan yang lain, demikian juga kemaslahatan jiwa didahulukan dari pada kemasalahan akal, keturunan dan harta.

Pendapat tersebut berbeda dengan temuan penelitian Halil Thahir. Menurutnya, lima maslahah tersebut saling terkait dan saling mendukung. Halil, mencontohkannya shalat, perintah melaksanakan shalat lima waktu misalnya, walaupun tujuan utamanya adalah pemeliharaan akan kemaslahatan agama (hifz al-din), tapi juga terkait dengan pemeliharaan kemaslahatan jiwa, akal, keturunan dan harta. Seseorang yang akan melaksanakan shalat disyaratkan harus suci dari hadath dan najis, dan sudunnahkan bersiwak, serta disunnahkan mandi ketika mau melaksanakan shalat jum’at. Aturan shalat ini merupakan pemeliharaan atas kemaslahatan jiwa.

Seseorang yang akan melaksanakan shalat juga harus dalam kondisi sehat akalnya, tidak dalam keadaan mabuk. Dengan demikian, shalat juga berkaitan dengan kemaslahatan akal. Shalat yang dilaksanakan dengan benar dan penuh keikhlasan akan  menjauhkan dari perbuatan keji (fakhsha’), seperti perbuatan zina. Kemaslahatan yang terdapat dalam shalat tersebut adalah termasuk kategori hifz a;-nasl (pemeliharaan keturunan). Shalat juga melatih seseorang disiplin dan tepat waktu, karena shalat dinilai sah ketika dilaksanakan di waktunya. Bahkan Allah memerintahkan seseorang yang selesai melaksanakan shalat Jum’at agar tidak menyia–nyiakan waktu tanpa bermakna, ia diperintahkan agar segera menyebar dimuka bumi, mencari rizki (fadl Allah). Dengan demikian, perintah Allah agar menjadikan shalat sebagai sarana minta pertolongan (isti’anah) dalam menjalani problem kehidupan, termasuk tentang problem menacari nafkah. Dari penjelasan ini, maka shalat juga berkaitan dengan perlindungan harta (hifz al-mal).

Pos Terkait:  Hakikat dan Majaz, Pengertian, Macam-Macam dan Contohnya

Menurut Halil Thahir, keterkaitan masing–masing, lima unsur pokok, seperti dalam contoh shalat tersbut diatas, maka hubungan antar maslahah (interkoneksitas maslahah, ittisaliyat al–Masalih) dalam bingkai unsur pokok (al-Usul al-khamsah; agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) dapat dilihat dalam bagan berikut :

Bagan Interkoneksitas Masalah

Bagan diatas menggambarkan bahwa setiap lima unsur pokok maslahah memiliki sel (wilayah cakupan) tersendiri. Keberadaan sel di masing–masing unsur bukan berarti sama sekali tidak terkait dengan unsur yang lain, tapi justru ada keterkaitan dan saling melengkapi antara satu unsur dengan unsur yang lain. Agama, sebagai kemaslahatan yang harus di prioritaskan dari kemaslahatan lainnya, tidak akan terwujud tanpa keberadaan jiwa, akal, keturunan dan harta. Dengan kata lain, keberlangsungan kemaslahatan agama membutuhkan empat kemaslahatan tersebut. Demikian juga kemaslahatan jiwa butuh pada agama, akal, keturunan, dan harta.

Baca juga: Maqashid Syariah: Definisi dan Macam-Macamnya

Refrensi:

  1. Maimun, “Konsep Supermasi Maslahat al-Thufi  dan Implementasinya Dalam pembaruan Hukum Islam”, Jurnal Asas, Vol. VI, (Januari 2014)
  2. Moh Toriquddin, “Teori Maqashid Syari’ah Perspektif Al-Syatibi”, Jurnal Syariah Dan Hukum, Vol. VI, No. 1 (2014)
  3. Halil Thahir, Ijtihad Maqasid, (Yogyakarta: PT. Lkis Pelangi Aksara,2015)