Sumber- Sumber Penafsiran dan Macam-Macam Tafsir
Sumber- Sumber Penafsiran dan Macam-Macam Tafsir

Sumber- Sumber Penafsiran dan Macam-Macam Tafsir

Posted on

Iqipedia.com – Pasca kenabian Rasulullah dan diturunkan al-Qur’an kepdanya, tafsir al-Qur’an tidak bisa lepas dari sosoknya. Nabi saat itu menjadi authoritative first speaker dalam memahami ayat serta surat al-Qur’an. Catatan-catatan tafsir Rasulullah itu pun bisa dilihat dari bab hadis dari setiap kitab hadis yang dinamai dengan bâb tafsîr al-Qur’ân. Interpretasi Rasulullah pun tidak terbatas pada aspek qauliyyah saja tetapi juga fi’liyyah dan taqririyyah. Akan tetapi fakta sejarah membuktikan bahwa Rasulullah SAW. tidak menafsirkan ayat itu secara keseluruhan. Dari sinilah timbul beberapa sumber-sumber penafsiran Al-Quran yang di rumuskan ulama’. Sebagaimana penjelasan berikut ini:

A. Tafsir bil Ma’tsur

Tafsîr bil Ma’tsûr adalah  tafsir al-Qur’an yang di tafsirkan dengan ayat al-Quran lainnya,  diriwayatkan dari Rasululah saw, sahabat serta para tabi’in. Sumber penafsiran bil ma’tsur yaitu sebagai berikut:

1. Al-Quran

Sumber penafsiran bil ma’tsur  yang pertama yaitu Al-Quran itu sendiri. “Al-Qur’ân yufassir ba’dluhu ba’dlan”, sebuah konsep yang oleh para ulama dikembangkan menjadi tafsir maudlû‘î dan menemui popularitasnya pada era modern dan kontemporer semisal, Amin al-Khulli, Bint al-Syathi, Abu Hayy al-Farmawi, Hassan Hanafi, dan Fazlu Rahman. Jika ditilik lebih jauh sebenarnya konsep ini berangkat dari asumsi ilmu munasabah (relasi) al-Qur’an. Adabeberapa ayat yang menjadi legitimasi adanya relasi internal, al-Munâsabah al-Dâkhiliyyah, antara surat atau ayat dalam al-Qur’an.

2. Hadis Rasulullah SAW.

Sumber penafsiran bil ma’tsur  berikunya yaitu hadis. Secara normatif dijadikannya hadis sebagai sumber rujukan kedua dalam Islam setelah alQur’an berangkat dari penafsiran surah al-Nahl : 44 dan al-Hasyr : 7.  Inilah mengapa para ulama kemudian merumuskan dan menjadikan fungsi utama dari hadis adalah tabyîn li al-Kitab, ta’kîd, syarh al-Mubham, Tafsîl al-Mujmal dan tausî‘. 

Selain itu sunnah nabi merupakan eksponen faktual daripada nabi yang secara langsung berdialektika dengan al- Qur’an (Rahman, 2003) Akan tetapi perlu diperinci bagian mana saja yang menjadi tabyin li al- Kitab, apakah keseluruhan daripada hadis atau hanya sebagian saja? Setidaknya ada dua sumber, yaitu hadis-hadis yang merupakan komentar Rasulullah, baik secara praksis maupun bayânî, yang terekam dalam bab-bab tafsir kitab hadis, sebagaimana dinyatakan oleh al-Khulli. Sehingga tidak mengherankan jika pada awal periode Islam, karya tafsir al- Qur’an masih bercampur dengan karya hadis dan sîrah nabawi.

Dan kedua hadis yang secara tersirat, yangmenurut para sahabat waktu itu sesuai dengan pemahaman nabi. Akan tetapi menggunkan hadis untuk menjelaskan konteks al-Qur’an bukanlah upaya sederhana. Salah satu tantangan terbesarnya adalah bagaimana mengukur nilai epistemologis semua hadis yang dianggap menyajikan konteks yang dikehendaki. Meskipun mayoritas ulama setuju dengan al-Syafi’i bahwa sunnah nabi penting untuk memahami al-Qur’an tetapi mereka berbeda pendapat ketika menilai beragam hadis yang dianggap shahih.

Pos Terkait:  Takhsis, Pengertian, Macam-Macam, dan Contohnya

3. Riwayat para sahabat

Sumber penafsiran bil ma’tsur  yang selanjutnya yaitu riwayat sahabat. Setelah nabi orang yang paling mengetahui konteks diturunkannya ayat serta kondisi yang menuntut diturunkannya ayatayat itu adalah para sahabat. Hal ini sebagaimana yang terekam dalam peristiwa penafsiran Ibn ‘Abbas yang sebagaian membicarakan diri nabi, seperti firman Allah ta’ala, “Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan”, menunjukkan kesedihan Nabi saw karena waktu wafatnya sudah mendekati. Akan tetapi yang harus digarisbawahi adalah bahwa para sahabat mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu ilmu memiliki ilmu kesusasteraannya yang mendalam, ada juga yang terus menerus menyertai rasul.

Sebahagian ada yang menyaksikan asbab al-Nuzul dan sebahagian lain tidak menyaksikan. Pun di antara mereka ada yang mengetahui secara sempurna adat istiadat bangsa Arab dalam pemakaian bahasa, ada yang tidak. Ada yang mengetahui dengan baik tindak tanduk bangsa Yahudi, ada yang tidak. Dalam hal ini ‘Abdullah      bin            Mas’ud mengungkapkan,          sebagai bentuk   tahadduts   bin   al- Ni’mah dalam memahami al- Qur’an, “Bertanyalah padaku”, “Tiada Tuhan selain Allah tidaklah diturunkan suatu ayat dari al- Qur’an kecuali saya mengetahui untuk apa diturunkan, di mana diturunkan”.

Di sisi lain pemahaman para sahabat terhadap al-Qur’an pun begitu mendalam, sehingga mereka tidak akan beralih pada suatu ayat sehingga mereka mampu memahami dan mengamalkannya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdurrahman al-Salamî bahwa orang-orang seperti Utsman bin ‘Affan dan Abdullah bin Mas’ud, yang dibacakan kepada mereka ayat al-Qur’an, apabila mereka mempelajari sepuluh ayat dari Nabi saw mereka tidak akan berpindah pada ayat yang lainnya sampai mereka memahami serta mengamalkannya. Sebagaimana terhadap hadis, riwayat dari para sahabat pun harus diperlakukan dengan ketat dalam arti validasi apakah riwayat itu bersumber pada sahabat atau tidak.

4. Riwayat Tabi’in

Tabi’in secara historis adalah murid para shahabah. Merekalah yang secara bertahap merupakan orang yang paling otoritatif dalam menafsirkan al- Qur’an setelah Rasulullah dan para sahabat. Para tabi’in yang populer tiada lain adalah murid-murid Ibn ‘Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubay bin Ka’b. Diantaranya adalah Mujahid serta Sa’id bin Jubair dan Qatadah. Mujahid mengakui bahwa dia bertanya kepada Ibn ‘Abbas perihal tafsir dari surah al-Fatihah sampai akhir surat. Pengakuan Mujahid ini ditekankan oleh riwayat dari Ibn Abi Malikah dan Sufyan al-Tsauri. Sampai-sampai orang terakhir ini mengatakan bahwa apabila seseorang mencari penafsiran yang otoritatif maka cukuplah baginya tafsir dari Mujahid.

Pos Terkait:  Nilai-Nilai Kandungan Al-Quran

Ali al-Khudri dalam kitabnya Tafsîr al-Tâbi’in mencatat bahwa setidaknya ada tiga aliran penafsiran yang menonjol di era tabi’in. Pertama, aliran Makkah, yang dipelopori oleh Sa’id bin Jubair, Ikrimah serta Mujahid ibn Jabar. Mereka berguru langsung kepada Ibn Abbas. Kedua, aliran Madinah yang dipelopori oleh Muhammad bin Ka’b, Zayd bin Aslam al-Qurazhi serta Abu ‘Aliyah. Mereka berguru pada sahabat Ubay bin Ka’b. Ketiga, aliran Irak, diantaranya adalah ‘Alqamah ibn Qiyas, Amir al- Sya’bi Hasan al-Bashri dan Qatadah ibn DI’amah al-Sadusi. Mereka mendaku kepada sahabat Abdullah bin Mas’ud.

Adapun pola penafsiran yang dipakai relatif sama. Hal yang membedakan antara tradisi penafsiran era sahabat dengan era tabi’in barangkali pada persoalan sekteranisme. Pada era sahabat belum muncul sekteranisme aliran-aliran tafsir secara tajam, sementara di era tabi’in sudah mulai muncul aliran-aliran tafsir berdasarkan kawasan. Itu disebabkan karena para mufassir dari kalangan tabi’in yang dahulu berguru kepada para sahabat kemudian menyebar ke beberapa daerah. Satu hal lagi yang penting untuk dicatat bahwa terjadi semacam pergeseran, shift paradigm, dalam konteks rujukan penafsiran. Jika para sahabat tidak tertarik menggunakan riwayat- riwayat israiliyyat dari ahl al-kitab maka tidak demikian halnya dengan para tabi’in yang sudah mulai banyak menggunakan sumber-sumber isra’iliyyat sebagai rujukan penafsiran. Terutama untuk menafsirkan ayat-ayat kisah. Faktor utamanya adalah banyaknya ahli kitab yang masuk Islam dan para tabi’in ingin mencari informasi secara lebih detail kepada mereka tentang kisah-kisah yang masih bersifat global. Di antara para ahli kitab yang kemudian masuk Islam dan menjadi   rujukan dalam menafsirkan ayat-ayat kisah adalah Abdullah bin Salam, Ka’b bin Akhbar, Wahb bin Munabbih, dan Abdul Aziz bin Juraij.

B. Tafsir bir Ra’yi

Al-Ra’yu secara etimologis merupakan masdar dari ra’a – yara yang bermakna melihat dan menyaksikan, al-Ibshâr wa al- Musyâhadah. Kata ini biasa dipakai dalam berfikir, meneliti dan menelaah. Abû al-Baqâ menyatakan bahwa al-Ra’y merupakan keyakinan seseorang terhadap dua hal yang bertentangan, yang cenderung bernilai al-Dzan. 

Secara istilah tafsir bir ro’yi adalah upaya memahami al-Qur’an berlandaskan ijtihad setelah si mufassir memiliki pengetahuan tentang bahasa Arab, dari aspek lafadz, makna serta keragaman makna, semantik Arab dalam syi’ir Jahili, asbâb alNuzûl, al-Nâsikh wa al-Mansûkh, dan alat yang lainnnya yang dibutuhkan oleh para mufassir. Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat tentang  kebolehan pemakaian tafsir bir ro’yi dalam penafsiran. Dan di antara mereka pula ada yang memperbolehkannya tanpa ada persyaratan tertentu.

Pos Terkait:  Pengertian Dilalah, Macam-Macamnya: Dilalah Muthabaqah, Tadhamun, Iqtidha, Isyarah, Ima’

Menururt al-Dzahabi seseorang yang melakukan penafsiran bil ro’yi harus memenuhi persyaratan berikut ini:

Pertama, kembali kepada al-Qur’an, intertekstualitas, yang dengannya seseorang harus mengumpulkan semua ayat yang mempunyai tema yang sama dan yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya, yang akhirnya akan terjadi dialektika antar teks-teks tersebut, baik mendetailkan yang mujmal atau yang lainnya, yang ini tiada lain adalah tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an.

Kedua, menukil hadis Rasulullah saw dengan selalu berhati-hati memilah dan memilih hadis yang shahih dan tidak.

Ketiga, mengambil riwayat para sahabat.

Keempat, menggunakan kaidah bahasa Arab, karena al-Qur’an diturunkan dan dengan menggunakan bahasa Arab.

C. Tafsîr Isyârî

Tafsir isyari menurut istilah adalah mentakwilkan Al-Qur’an dengan makna yang bukan makna lahiriyahnya karena adanya isyarat samar yang diketahui oleh para penempuh jalan spiritual. Atau hanya diketahui oleh orang yang senantiasa mendekatkan diri pada Allah dan berkepribadian luhur. Atau, tafsir yang didasarkan pada isyarat-isyarat rahasia dengan caara memadukan makna yang dimaksud dengan makna yang tersurat.

Tafsir jenis ini juga disebut sebagai al-Tafsîr al-Ṣûfi. Tafsir dengan corak sufistik ini lahir dari kebiasaan para sufi yang melakukan interaksi dengan Al-Qur’an berdasarkan keyakinan mereka sebagaimana yang terdapat pada ajaran tasawuf, baik melalui pembacaan, ataupun perenungan dalam pengalaman spiritual mereka.

Contoh tafsir isyari:

اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ

Artinya: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan”

Ayat ini oleh kalangan sufisme di tafsri dengan dekatnya meninggalnya Nabi Muhammad.

Para ulama berselisih pendapat dalam menghukumi tafsir isyari, sebagian mereka ada yang memperbolehkan (dengan syarat), dan sebagian
lainnya melarangnya.

Tafsir Isyari harus memenuhi syarat berikut ini:
1. Maknanya lurus, tidak bertentangan dengan hakikat-hakikat keagamaan, tidak juga dengan lafazh ayat.
2. Tidak menyatakan bahwa itulah satusatunya makna untuk ayat yang ditafsirkan.
3. Ada korelasi antara makna yang ditarik itu dengan ayat.

Demikian penjelasan tentang sumber penafsiran, semoga bermanfaat.

Baca juga:

  1. Qasam Al-Quran: Pengertian, Unsur-Unsur, Macam-Macam, Fungsinya
  2. Metode Tafsir Tematik