Studi Al-Quran – Manthuq dan mafhum adalah teori ulumul Quran dan ushul fiqih yang menjelaskan tentang makna yang tersurat dan makna yang tersirat dalam Al-Quran dan hadis. Manthuq dan mafhum ini adalah hal yang signifikan untuk di pelajari untuk mengetahui ragam makna yang tersirat serta untuk mengetahui apa saja makna yang tersirat dari teks-teks Al-Quran dan hadis. Untuk mengetahuinya tulisan ini akan mengulas pengertian manthuq dan mafhum, Macam-Macam dan Dilalahnya.
Pegertian Mantuq
Mantuq adalah isim maf’ul dari kata nuthqu. Secara bahasa Manthuq memiliki arti yang di ucapkan atau di yang dikatakan. Dalam ushul fiqih manthuq adalah bagian teori dalam menetapkan hukum fiqih. Manthuq oleh ulama’ ushul fiqih di definisikan sebagai berikut:
المنطوق معنى اللفظ في محل النطق
Artinya: Manthuq adalah makna/hukum yang di peroleh dari teks-teks (al-Quran dan hadis) yang di ucapkan dalam ucapannya.
Berikut ini adalah contoh manthuq:
- Ayat al-Quran surah Al-Isra’ ayat 23:
فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفّ
Artinya: “Janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”. ( QS. Al-Isra’, 17: 23).
Ayat ini menjelaskan larang berkata “ah” kepada orang tua. Keharaman berkata “ah” ini di tetapkan dari teks al-Quran berikut tersebut.
- Ayat al-Quran surah al-Baqarah ayat 275:
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al-Baqarah/2:275)
Ayat ini menjelaskan tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba. Penetapan kehalalan jual beli dan keharaman riba ini di tetapkan berdasarkan makna ayat al-Quran tersebut.
- Penetapan awal ramadhan dengan ru’yatul hilal. Hal ini di tetapkan berdasarkan teks hadis Rasulllah Saw. berikut ini:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Artinya: “Berpuasalah kalian pada saat kalian telah melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian juga di saat telah melihatnya (hilal bulan Syawal) Dan apabila tertutup mendung bagi kalian maka genapkanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari: 1776 dan Imam Muslim 5/354)
Macam-Macam Manthuq
Ulama’ ushul fiqih membagi membagi manthuq dalam dua kategori, yaitu nash, dhair dan muawal. Berikut ini penjelasannya:
1. Nash
Nash adalah teks-teks al-Quran atau hadis yang hanya mengandung satu makna dan tidak mengandung makna yang lain selain makna tersebut. Misalnya tsalasati ayyamin dalam firman Allah Swt.:
فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ اِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ
Artinya: “Barang siapa yang tidak mendapatkannya, dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (masa) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.” (QS. Al-Baqarah: 196).
Lafadh tsalasati ayyamin dalam ayat tersebut hanya mengandung satu makna, yaitu puasa tiga hari pada saat haji sebagai pengganti dam tamatu’. Begitu juga sab’atin idza raja’tum, kalimat ini juga mengandung satu makna, yaitu puasa tujuh hari ketika kembali ketempat tinggalnya.
2. Dhahir
Lafadh yang menunjukkan dua makna tetapi makna yang di di kehendaki adalah makna yang lebih unggul. Missalnya:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا
Artinya: “Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya. (Al-Ma’idah/5:38)
Aydiyahuma dalam ayat di atas memiliki dua makna, yaitu tangan (makna hakikat) dan kemampuan untuk mencuri (makna majaz). Namun aydiyahuma dalam ayat tersebut makna yang di ambil makna tangan bukan kekuasaan, karena dalam tersebut tidak ada qorinah yang menunjukkan kepada kemapuan.
3. Muawwal
Muawwal adalah teks-teks al-Quran/hadis yang mengunakan makna majaznya bukan makna hakikatnya. Hal ini di lakukan jika menggunakan makna hakikatnya sudah tidak mungkin lagi atau bertentangan dengan aqidah atau bertentangan dengan kaidah-kaidah yang berlaku universal. Misalnya:
يَدُ اللّٰهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ ۚ
Artinya: “Tangan Allah di atas tangan mereka. (QS. Al-Fath: 10)
Lafadh yadullah dalam ayat tersebut tidak menggunakan makna hakikatnya (tangan), tetapi menggunakan makna majaznya. Dalam hal ini ulama’ ada yeng memaknainya dengan kekuasaan Allah ada juga yang menafsirinya dengan pengawasan Allah.
Macama-Macam Dilalah Manthuq
Dilalah adalah makna/hukum yang di tunjukkan oleh teks ayat atau hadis. Dilalah ini di bagi menjadi dua, yaitu:
A. Dilalah Muthobaqoh
Dilalah muthabaqah adalah lafadh yang menunjukkan kepada makna yang sesuai dengan yang di katakan. Misalnya:
قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ ۙ الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلَاتِهِمْ خٰشِعُوْنَ
Artinya: “Sungguh, beruntunglah orang-orang mukmin. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya”. (Al-Mu’minun/23:1-2)
Kandungan hukum dan makna dalam ayat tersebut sama dengan teks yang termuat dalam teks ayatnya.
B. Dilalah Tadammun
Dilalah tadammun adalah makna/hukum yang tidak di dapat dari teks al-Quran/hadis tetapi hanya di tunjukkan oleh teks. Maksudnya teks al-Quran/hadis tidak hanya dapat mengeluarkan hukan dari itu sendiri tetapi teks juga menunjukkan hukum yang bukan dari teks. Misalnya:
اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ
Artinya: “Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. (Al-Baqarah/2:187)
Ayat ini jika dekati dengan teori dilalah tadammun, tidak hanya sekedar mengeluarkan hukum kebolehan berhubungan suami istri di malam hari bulan ramadhan, tetapi ayat ini juga dapat mengeluarkan hukum bolehnya junub di siang hari. Karena ketika ayat tersebut sudah memperbolehkan berhubungan suami istri di malam hari, maka yang di sebut malam hari adalah mulai tenggelamnya matahari (adzan maghrib) hingga keluarnya fajar (masuknya waktu subuh). Jika demikian, maka seseorang yang berhubungan suami istri hingga masuk waktu subuh baru selesai maka dia akan memasuki siang dalam kedaan junub, kalau demikian maka ia sah berpuasa walaupun ia junub.
Ada pula yang menamai dilalah ini dengan dilalah iltizam. Karena hukum yang di keluarkan harus merukapan ketepan yang di tunjukan teks. Dilalah ini terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Dilalah Iqtidla’
Dilalah iqtidla’ adalah teks yang menuntut kalimat lain yang disimpan, tanpa kalimat lain tersebut maka maksud dari teks tidak akan dapat dipahami. Misalnya:
وَسْـَٔلِ الْقَرْيَةَ الَّتِيْ كُنَّا فِيْهَا وَالْعِيْرَ الَّتِيْٓ اَقْبَلْنَا فِيْهَاۗ وَاِنَّا لَصٰدِقُوْنَ
Artinya: “ Dan tanyalah (penduduk) negeri tempat kami berada, dan kafilah yang datang bersama kami. Dan kami adalah orang yang benar.” (Yusuf/12:82)
Ayat ini mengira-ngirakan kalimat ahla setelah lafadh was ali (menjadi: was ali ahla al-Qaryah). Ayat ini menurut ulama’ mengira-ngirakan kalimat ahla, karena tanpa kalimat ahla makna dari ayat ini tidak dapat di pahami.
Contoh berikutnya:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ
Artinya: “Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah/2:184)
Ayat ini mengira-ngirakan lafadh qada’. Sehingga yat tersebut memiliki arti barang siapa sakit atau bepergian maka harus mengganti puasanya pada hari lain.
Contohnya lagi:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَاَنْ تَسْتَقْسِمُوْا بِالْاَزْلَامِۗ ذٰلِكُمْ فِسْقٌ
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. (Al-Ma’idah/5:3)
Ayat ini mengira-ngirakan aklu setelah lafadh hurrimat, yang berarti memakan. Ulama’ berpendapat demikian karena tanpa pengira-ngiraan kata aklu maka ayat tersebut tidak dapat di pahami.
2. Dilalah Isyarah
Dilalah isyarah adalah hukum yang di ambil atas isyarat ayat bukan dari makna ayat yang sedang di perbincangkan. Misalnya:
وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
Artinya: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal. (Ali ‘Imran/3:159)
Teks ayat ini hanya memerintahkan musyawarah, namun dengan teori dilalah isyarah ayat ini juga memberi petunjuk untuk menunjuk seseorang untuk musyawarah karena tanpa adanya segolongan masyarakat yang musyawarah maka musyawarah tidak akan dapat di laksanakan.
3. Dilalah Ima’
Dilalah ima’ adalah teks yang di barengi lafadh tertentu, yang seandainya lafadh tersebut bukan sebab dari ketentuan teks ayat/hadis maka penyebutannya tidak akan bermakna. Hal tersebut mustahil terjadi dlam firman Allah Swt. atau hadis Rasullah Saw. Misalnya:
اِنَّ الْاَبْرَارَ لَفِيْ نَعِيْمٍۙ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan, (Al-Infitar/82:13)
Ayat ini dalam narasi teksnya hanya berbicara tentang seseorang yang berbuat kebajikan akan berada dalam kenikmatan, tetapi hal ini memberi peringatan bagi manusia hal tersebut tidak mungkin terjadi tanpa di dahului amal-amal yang di buat manusia.
Pengertian Mafhum
Mafhum secara bahasa berarti yang di pahami. Kata ini adalah bahasa arab yang bershighat isim maf’ul, kata asalnya adalah fahm, (kepahaman), dan fahama, (memahami).
Menurut Syekh Jalal Syamsyuddin al-Mahalli, mafhum adalah:
المفهوم معنى اللفظ لا في محل النطق
Artinya: Mafhum adalah makna/hukum yang di tetapkan tidak dari yang di katakan. Artinya teks-teks al-Quran/hadis tidak hanya mengeluarkan dari teksnya, tetapi juga dapat mengeluarkan hukum dari kepahaman teks al-Quran/hadis tersebut. Misalnya:
فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفّ
Artinya: “Janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” “. (QS. Al-Isra’, 17: 23).
Ayat ini secara manthuq melarang berkata ah kepada orang tua, selain itu secara mafhum ayat ini juga dapat melarang memukul, mencaci dan menyakiti kepada orang tua.
Macam-Macam Mafhum
Ulama’ membagi mafhum dalam dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah, sebagaimana penjelasan berikut ini:
A. Mafhum Muwafaqah
Hukum-hukum yang di keluarkan dari kepahaman teks-teks Al-Quran/hadis dengan pertimbangan kesamaan illat dari teks al-Quran/hadis begitu juga jika illat lebih tinggi, maka juga dapat mengluarkan hukum. Mafhum muwafaqah ini terbagi menjadi dua, yaitu fakhwal khithab dan lahnal khitab.
1. Fakhwal khithab adalah mafhum yang illat-nya lebih tinggi dari manthuq. Misalnya memukul orang tua. Memukul orang tua di haramkan karena memiliki illat yang lebih tinggi dari berkata “ah” yang di larang atas dasar manthuq ayat di bawah ini:
فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفّ
Artinya: “Janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” “. (QS. Al-Isra’, 17: 23).
2. Lahnal khitab adalah mafhum yang illat-nya sama dengan manthuq. Misalnya membakar harta anak yatim. Membakar harta anak yatim hukum haram karena memiliki kesamaan illat dengan memakan harta anak yatim yang di larang berdasarkan manthuq ayat di bawah ini:
اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ الْيَتٰمٰى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا ۗ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
Artinya:“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”. (An-Nisa’/4:10)
B. Mafhum Mukhalafah
Mafhum mukhalafah adalah pemahaman-pemahaman kebalikan dari manthuq (teks al-Quran/hadis yang di ucapkan). Misalnya ayat berikut ini:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً
Artinya: “Orang-orang yang menuduh (berzina terhadap) perempuan yang baik-baik dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (para penuduh itu) delapan puluh kali” (QS. An-Nur/24:4)
Ayat ini menjelaskan orang yang menuduh zina yang tidak mampu mendatangkan empat saksi maka harus di jilid delapan puluh kali. Ayat ini mengeluarkan mafhum mukhalfah, tidak menghukum kurang dan lebih dari delapan puluh jilidan.
Kehujahan mafhum mukhalafah
Pertama menurut ‘Ubaidah dan muird-muridnya, salah satu pakar kebahsaan, mafhum mukhalafah dapat di jadikan sebagai hujjah dalam bahasa, mereka mencontohkan hadis Bukhari berikut ini:
مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ
Artinya: Menunda membayar hutang adalah dhalim. (HR. Bukhari)
Hadis ini secara manthuq menjelaskan tentang kedhaliman seseorang yang menunda membayar hutang ketika sudah mampu membayar. Dari sini dapat memberi mafhum makhalafah bahwa seseorang yang belum mampu membayar hutang, jika ia menunda membayarnya maka ia tidak bisa di katakana dhalim. Hukum ini di ambil mafhum mukhalafah–nya hadis di tersebut.
Kedua dapat di jadikan sebagai hujjah syara’. Hal ini di sampaikan oleh Zarkasyi, misalnya mafhum mukhalafahnya ayat di bawah ini:
اِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً فَلَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَهُمْ ۗذ
Artinya: “Jika engkau memohonkan ampunan bagi mereka tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka”. (QS. At-Taubah/9:80)
Mafhum mukhalafahnya ayat ini adalah beristingfar lebih dari tujuh puluh kali. Mafhum makhalafah seperti ini dapat di jadikan hujjah dalam syara’. Artinya seseorang yang memohonkan ampun kepada orang-orang kafir dan munafiq walaupun lebih dari tujuh puluh kali, Allah tetap tidak akan mengampuni. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.: “Allah telah memilih aku, aku akan menambahkan (istighfar) lebih dari tujuh pluh kali. (HR. Bukhari dan Muslim). Dari kesamaan mafhum mukhalafah ayat ini dengan hadis, ulama’ mengatakan bahwa mafhum mukhalafah dapat di jadikan hujjah.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat di tarik kesimpulan, bahwa manthuq adalah ragam makna yang di kandunng oleh teks Al-Quran.
- Macam-macam mantuq terdapat tiga, yaitu nash, dhahir dan dan muawwal.
- Dilalah mantuq terdapat dua yaitu, dilalah muthobaqoh dan dilalah tadammun.
- Dilalah tadammun terdapat tiga , yaitu Dilalah Iqtidla’ Dilalah Isyarah dan Dilalah Ima’.
Refrensi Manthuq dan Mafhum:
- Jalaluddin Muhammad al-Mahlli, Syarah Jalal Syamsyu Al-Din Muhammad (Bairut Libanon: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah, 1971)
- Jalaludin Muhhamad, Syarah Al-Waraqat, (Kediri: Bait al-Kutub al-Jafari, 2018)
- Jalaluddin Muhammad al-Mahlli, Syarah Jalal Syamsyu Al-Din Muhammad
- M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Jakarta: Lentera Hati, 2013)
- M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Jakarta: Lentera Hati, 2013)
Demikian penjelasan tentang manthuq dan mafhum, semoga bemanfaat. Amin….
Penulis: Abd. Muqit