Islam Edu

Pernikahan Tradisi Adat Jawa dalam Pandangan Islam

×

Pernikahan Tradisi Adat Jawa dalam Pandangan Islam

Share this article
Pernikahan Tradisi Adat Jawa
Pernikahan Tradisi Adat Jawa

Allah SWT menciptakan kebahagiaan dan kesengsaraan, petunjuk dan kesesatan, malam dan siang, langit dan bumi, hitam dan putih, lautan dan daratan, gelap dan terang, hidup dan mati, surga dan neraka, dan sebagainya. Penciptaan tersebut bertujuan agar manusia dapat mengambil pelajaran.

Dijelaskan lebih lanjut, ayat tersebut menunjukkan salah satu kebesaran Allah SWT. Dia tidak membutuhkan pasangan dan yang lainnya. Dialah yang kuasa menjadikan segala sesuatu dan Dialah yang berkuasa untuk memusnahkannya. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia.

Dalam tafsir Jalalain, dijelaskan bahwa kata tadzakkarụuna pada akhir ayat tersebut berasal dari kata tatadzakkaruuna. Lalu, pada salah satu huruf dibuang sehingga terbentuk kata tadzakkarụuna. Kata tersebut menunjukkan supaya manusia berfikir bahwa penciptaan pasangan-pasangan itu adalah Esa.

  1. Hadits

Ada juga hadits yang di dalamnya menganjurkan untuk menikah, karena sama saja  seperti menyempurnakan agama : 

إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفُ الدِّيْنِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ الْبَاقِي

Jika seseorang telah menikah, berarti ia telah menyempurnakan separuh agama. Maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada separuh sisanya. (HR. Baihaqi)

Lalu apa maksudnya, kenapa bisa dikatakan demikian? Kenapa dengan menikah dapat dikatakan telah menyempurnakan separuh agama?

Tentang hal ini, para ulama berpendapat bahwa umumnya yang merusak agama seseorang adalah kemaluan dan perut. Dengan kemaluan, seseorang bisa terjebak dalam lembah zina. Adapun perut dikonotasikan dengan keserakahan, sehingga bisa jadi hak orang lain pun akan dimakan dengan keserakahannnya.

Menikah berarti membentengi diri dari salah satunya, yaitu zina dengan kemaluan. Itu berarti dengan menikah separuh agama seorang pemuda telah terjaga, dan sisanya, ia tinggal menjaga perutnya.

Al Mulla ‘Ali Al Qori  dalam Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih, ketika mensyarahi hadis ini, menjelaskan bahwa sabda Nabi saw bertakwalah pada separuh yang lainnya, maksudnya adalah bertakwalah pada sisa dari perkara agamanya.

Di sini menikah dianggap sebagai separuh agama. Ini menunjukkan dorongan yang sangat kuat untuk menikah agar terbebas dari dosa yang diakibatkan oleh kemaluan.

Hujjatul Islam, Imam Al-Gahzali -sebagaimana dinukil dalam kitab Mirqatul Mafatih– berkata,

“Umumnya yang merusak agama seseorang ada dua hal, yaitu kemaluan dan perutnya. Menikah berarti telah menjaga diri dari salah satunya. Dengan menikah berarti seseorang membentengi diri dari godaan setan, membentengi diri dari syahwat yang bergejolak dan lebih menundukkan pandangan.”

Dalam sebagian keterangan yang lain yang dimaksud dengan separuh sisanya adalah mulut. Tak jarang orang melakukan gibah, berdusta, memfitnah bahkan mengadu domba dengan mulutnya.

Pendapat ini mungkin disandarkan pada sabda Nabi: “Barangsiapa yang menjamin padaku untuk menjaga dua lubang, maka aku jamin ia masuk Surga, yakni lubang antara kedua bibir (mulut) dan lubang antara kedua selangkangan (kemaluan)”

Begitulah penjelasan para ulama. Intinya dengan menikah seseorang telah berhasil menyempurnakan separuh agamanya.

Selain hadis di atas, juga terdapat hadis-hadis lain yang redaksinya berbeda, tapi senada dari segi makna, misalnya hadis-hadis berikut

من رزقه اللَّه امرأة صالحة فقد أعانه على شطر دينه، فليتق اللَّه في الشطر الباقي

Barangsiapa siapa yang dianugerahi istri shalihah oleh Allah, maka Allah telah memberikan pertolongan dalam separuh agamanya. Hendaknya ia bertakwa (menjaga) separuhnya lagi. (HR. Hakim)

من تزوج فقد استكمل نصف الايمان فليتق الله في النصف الثاني

Barangsiapa siapa yang dianugerahi istri shalihah oleh Allah, maka Allah telah memberikan pertolongan dalam separuh separuh pertama imannya. Hendaknya ia bertakwa (menjaga) separuhnya imannya yang kedua. (HR. Thabrani)

Hukum taklifi, antara lain : 

  1. Wajib : bagi orang sudah mampu menikah dan mapan semuanya, sekaligus umur  cukup, diharuskan untuk menikah di takutkan melakukan zina. 
  2. Haram : bagi orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah lahir dan  batin. 
  3. Sunnah : bagi orang yang masih bisa menahan nafsu meskipun nafsunya ingin  menikah. 
  4. Makruh : bagi orang lemah syahwat dan belum mampu memberi nafkah. e. Mubah : hukum asli nikah, yang tida terdesak oleh alas an yang menyegerakan  menikah. 
Pos Terkait:  Niat Puasa Ramadhan : Bacaan Niat, Hukum dan Waktunya

Setelah mengetahui bagaimana dasar hukum pernikahan, maka terdapat syarat dan  rukun nikah yang harus dipahami dan di ketahui sebelum melakukan pernikahan  tersebut, antara lain :

Syarat Akad Nikah : 
1. Syarat calon pengantin laki-laki dan perempuan : 

a) Islam  

b) Baligh  

c) Dengan kerelaan hati 

d) Bukan dalam ihram haji atau umrah 

e) Bukan dalam masa iddah 

f) Bukan memiliki isteri 4 yang sah dalam satu masa 

2. Syarat Wali : 

a) Adil  

b) Islam  

c) Baligh 

d)Lelaki 

d) Merdeka 

e) Berakal  

f) Tidak fasik, kafir dan murtad, dll.  

3. Syarat Saksi : 

a) Islam 

b) Lelaki 

c) Baligh 

d) Berakal 

e) Sekurang-kurangnya dua orang 

f) Memahami kandungan lafadz ijab dan qobul 

g) Dapat mendengar, melihat dan bercakap 

h) Adil 

4. Syarat Ijab dan Qabul : 

a) Kedua belah pihak sudah tamyiz 

b) Ijab qabulnya tidak boleh ditambahi kata-kata lain atau dalam satu  majlis. 

1. Rukun Dalam Akad 

a)Ada calon suami dan calon istri, yang tidak terharang secara syar’i dalam  menikah. 

b)Wali

c)Saksi 

d)Ijab dan qabul  

e)Ridhonya kedua mempelai.7

4. Kebudayaan di Indonesia  

Menurut Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski, kebudayaan itu  tercipta karena masyarakat itu sendiri. Herskovits juga berpendapat bahwa memandang  kebudayaan turun temurun hingga ke genarasi sekarang ini di sebut sebagai  superorganic. Secara istilah kebudayaan merupakan suatu kesuluruhan yang di  dalamnya terdapat pengetahuan, moral, kepercayaan, dan masih banyak lagi.  

Kebudayaan juga berasal dari bahasa sansekerta “ buddhayah” bentuk jamak  dari “ buddhi” berarti sesuatu akal dan budi yang berkaitan dengan manusia. Dalam  bahasa Inggris sendiri disebut “ culture” yaitu mengerjakan atau mengolah. Dan budaya  sendiri memiliki istilah sebuah kelompok yang cara hidup berkembang mereka  memiliki warisan turun temurun dari nenek moyang. 8 

Kata kebudayaan juga berasal dari dasar budaya, yang dalam konteksnya dapat  di hubungan dengan identitas nasional, karena terdapat konteks kebangsaan. Maka dari  itu budaya nasional merupakan identitas dan kekayaan bangsa, identitas sendiri juga  menentukan bagaimana perkembangan dan peradaban di suatu bangsa yang dimana  dinamika globalnya terlalu tinggi dan harus mengurung segala aspek kebudayaan  sendiri. 9 

Kebudayaan merupakan suatu kesadaran semesta yang mempunyai nilai-nilai  yang mengandung makna suatu kesadaran dari nilai identitas dan tingkat yang sungguh  dari setiap nilai tersebut. Namun, setiap manusia yang terdapat di dalam nilai tersebut  harus melakukan suatu kewajiban mengejar serta mewujudkan nilai-nilai itu agar  tercipta suatu yang dapat di turun-temurunkan pada generasi nanti. Dapat diartikan  yang lain yang perspektifnya lebih nyata harus dengan pengamatan, yang berupa  tingkah laku tumbuh di masyarakat. 10 

Kebudayaan yang di Indonesia sangatlah banyak, salah satunya tradisi disaat  menikah yang berbeda, antar kecamatan meskipun sesame Jawa. Tradisi Jawa yang di  gunakan pada zaman sekarang sudahlah merangkap pada zaman modern, sudah terlalu  sedikit jika di lihat pada sekarang ini yang masih serratus persen menggunakan adat  yang di ajarkan para leluhur kita terdahulu.  

Tradisi Jawa sekarang hanyalah sebatas seremonial yang tanpa mereka pahami  maknanya. Karena masyarakat yang cenderung lebih ke modern, dari pada ke klasik  “adhiluhung” baik dari ritual prosesinya, kostum pakaian, hingga jamuan makannya  sudah hilang dengan digantikan yang lebih modern dan apalagi bukan khas makanan  dari budaya kita. Dan juga masyarakat sudah kehilangan identitas dirinya atau disebut  dengan “njawani”, bukan hanya itu saja tetapi terdapat ada sebutan lain juga “Jawa  during, Cina wurung, Landa bingung”. Oleh karena itu kita perlu untuk memahami 

Pos Terkait:  Peranan Tauhid Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat
Pernikahan Tradisi Jawa 

Secara bahasa adat berasal dari bahasa Arab “ al-adah atau al-‘urf” yang berarti  budaya. Secara terperinci al-adah merupakan sesuatu yang terjadi secara berulang ulang dan menjadi kebiasaan yang di butuhkan dalam masyarakat. Sedangkan al-‘urf adalah sesuatu yang di yakini baik dan benar. Adat diartikan sebagai “aturan yang  sudah dilakukan sejak dahulu, menjadi kebiasaan, yang terdapat di kebudayaan terdiri  atas norma, hukum dan aturan yang saling terikat”. Berikut tahapan-tahapan  pernikahan tradisi adat Jawa yang perlu diketahui, antara lain: 

1. Nakonke

Pihak laki-laki yang di wakilkan keluarga untuk menanyaan posisi calon  perempuan, apakah sudah ada yang melamar dan dapat menerima pinangan  dari pihak tersebut, dengan sekedar membawa bingkisan sedikit.  

2. Sangsangan

Tukar cincin atau tunangan, pihak laki-laki berkunjung ke  

calonnya untuk mengikat dan menentukan waktu untuk pernikahan  mereka. 

3. Nentokke dino

Menentukan hari baik untuk akad dan resepsi. 

4. Ulem-Ulem atau Becekan

Acara sebelum pernikahan yang biasanya masyarakat  

menyumbang atau mengganti barang ke tuan rumah. 

5. Walimah

Acara inti yang diawali dengan akad ijab qobul yang sudah di tentukan  tempatnya di KUA, masjid atau rumah si perempuannya, kemudian  dilanjutkan dengan walimahan atau resepsi di rumah pengantin  perempuan.

Baca Juga: Pendidikan Parenting Sebelum Nikah, Pengertian dan Peran Orang Tua

Pandangan Islam dalam Pernikahan Tradisi Adat Jawa 

Di Indonesia berbagai suku, adat dan budaya banyak perbedaannya tetapi  mereka harus tetap saling menghargai, salah satunya suku Jawa yang banyak memiliki  keunikan dari segi kepercayaan dalam masyarakat dan juga terdapat kerumitan yang  sesuai dengan tradisi mereka. Pada umumnya pernikahan salah satu peristiwa  bersejarah dalam kehidupan yang tidak bisa di lewatkan begitu saja. Namun,  pernikahan adat Jawa tidak dapat di lepaskan dari masyarakat Jawa meskipun dia  beragama Islam serta percaya dan bertahan di tradisi para leluhurnya. Masyarakat Jawa  masih memegang erat keragaman yang ada diajarkan, tradisi yang ada dan interaksi  beberapa kelompok untuk saling menghormati dan toleransi. Hukum adat dalam  pernikahan adat Jawa banyak memiliki perbedaan antara aturan satu dengan yang lain,  tetapi perkembangan zaman semakin maju maka banyak hal yang mulai berubah yang  di sebabkan perbedaan dalam konteks suku, adat istiadat dan kepercayaan.  

Dalam hukum islam, pernikahan adalah suatu ibadah yang menyempurnakan  agama dan perintah dari Allah SWT untuk di taati. Suatu pernikhan tidak hanya    

memenuhi kebutuhan di dunianya saja tetapi juga hingga kelak untuk akhiratnya.  Pernikahan dalam agama Islam akan bernilai sah jika memenuhi syarat dan rukun yang  sudah ada dalam syari’at Islam. Tetapi jika suatu pernikahan sudah menjadi tradisi dan  budaya dalam masyarakat justru akan menimbulkan kerumitan. Dalam budaya jika  bertolak belakang dengan syariat Islam maka dapat menimbulkan kemusyrikan, dari itu  beberapa yang tidak boleh di lakukan oleh agama Islam, yaitu :

1. Upacara pemasangan sesajen

Dalam adat Jawa dari dahulu hingga sekarang ini tidak bisa di pisahkan  dari sesaji atau sesajen, karena sebagian masyarakat meyakini akan nilai  sacral dalam sesajan tersebut.

2. Mengadakan pesta pernikahan yang berlebihan

Pos Terkait:  Pembelajaran Baca Tulis Al-Qur’an pada Anak Usia Dini

Cenderung mengumbar kemaksiatan, karena terlalu menghamburkan  uang dan mendatangkan kemaksiatan.

3. Memperbaiki niat

Pernikahan di laksanakan dengan niat mengikuti sunnah Rasulullah,  bukan sebagai ajang pamer. 

  1. Menghidangkan makanan yang mampu di miliki 
  2. Mengundang tamu yang diutamakan saudara, tetangga dan orang yang  seagama tanpa memandang kaya atau miskin. 
  3. Tidak melaksanakan pernikahan yang berlebihan jika tidak mampu. g. Menghindari pencampuran lawan jenis. 
  4. Tidak menghiasa acara dengan maksiat.13
Kesimpulan  

Pernikahan adalah dua insan beda jenis yang disatukan untuk menjalin suatu  ikatan dengan perjanjian sesuai peraturan di agama. Tujuan dalam pernikahan yaitu  tidak hanya mengikuti syahwatnya saja, tetapi juga karena melaksanakan perintah Nabi  Muhammad SAW. memperbanyak keturunan umat Nabi SAW.  

Kebudayaan juga berasal dari bahasa sansekerta “ buddhayah” bentuk jamak  dari “ buddhi” berarti sesuatu akal dan budi yang berkaitan dengan manusia. Dalam  bahasa Inggris sendiri disebut “ culture” yaitu mengerjakan atau mengolah.  

Secara bahasa adat berasal dari bahasa Arab “ al-adah atau al-‘urf” yang berarti  budaya. Secara terperinci al-adah merupakan sesuatu yang terjadi secara berulang ulang dan menjadi kebiasaan yang di butuhkan dalam masyarakat. Sedangkan al-‘urf adalah sesuatu yang di yakini baik dan benar. Rangkaian pernikahan tradisi adat Jawa,  berupa : nakonke, ulem-ulem, walimahan, dan sebagainya. 

Dalam hukum islam, pernikahan adalah suatu ibadah yang menyempurnakan  agama dan perintah dari Allah SWT untuk di taati. Suatu pernikhan tidak hanya  memenuhi kebutuhan di dunianya saja tetapi juga hingga kelak untuk akhiratnya.  Pernikahan dalam agama Islam akan bernilai sah jika memenuhi syarat dan rukun yang  sudah ada dalam syari’at Islam. Tetapi jika suatu pernikahan sudah menjadi tradisi dan  budaya dalam masyarakat justru akan menimbulkan kerumitan. Dalam budaya jika  bertolak belakang dengan syariat Islam maka dapat menimbulkan kemusyrikan.

Baca Juga: Menikah Atau Menjomblo

Penulis: Oknita Annisa Isnainian

Refrensi:

  1. Ady Pratama, Bayu & Wahyuningsih, Novita. (2018), “Pernikahan Adat Jawa di Desa  Nengahan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten”, dalam Jurnal Haluan Sastra Budaya, Vol. 2, No. 1.  
  2. Aziz, Safrudin. (2017), “Tradisi Pernikahan Adat Jawa Keraton Membentuk Keluarga  Sakinah”, dalam Jurnal Ibda, Vol. 15, No. 1. 
  3. Bintang Mustopa, Fendi & Fakhria, Sheila. (2019), “Tinjauan Hukum Islam Terhadap  Larangan Pernikahan Adat Jawa Jilu Studi Kasus di Desa Tanggan Kecamatan Gesi  Kabupaten Sragen”, dalam Jurnal Legitima ( Hukum Keluarga Islam), Vol. 2, No. 1. 
  4. Dr. Alo Liliweri, Prof. ( 2018), “Pengantar Studi Kebudayaan”, (Bandung : Katalog  Dalam Terbit), Hal. 12. 
  5. Elfi Barus, Elida. (2016),“Tauhid Sebagai Fundamental Filsafah Ekonomi Islam”, dalam Jurnal perspektif Ekonomi Darussalam, Vol. 2, No. 1. 
  6. Inrevolzon, (2013), “Kebudayaan dan Peradaban”, dalam Jurnal Tamaddun (  Kebudayaan dan Sastra Islam), Vol. 13, No. 2. 
  7. Jaya Riswanda, Hidayah& Rodafi, Dzulfikar & Muslim, Moh. (2021), “Pernikahan  Adat Jawa Perspesifik Hukum Islam”, dalam Jurnal Hikmatina (Ilmiah Hukum Keluarga  Islam), Vol. 3, No. 2. 
  8. Karolina, Desi & Randy. (2021), “ Kebudayaan Indonesia”, (Jawa Tengah : Eureka  Media Aksara), Hal. 1-42. 
  9. Lukluil Maknun, Moch. (2013), “Tradisi Pernikahan Islam Jawa Pesisir”, dalam  Jurnal Ibda’, Vol. 11, No. 1. 
  10. Nina Adlini, dkk, Miza (2022),“Metode Penelitian Kualitatif dalam Studi Pustaka”,  dalam Jurnal Edumaspul, Vol. 6, No. 1.
  11. Al-Faruqi, Ismail. (1984). “Islam dan Kebudayaan”, (Kuala Lumpur : Mizan), Hal.  7-8
  12. Yuliani, Eka & Az Zafi, Ashif. (2020). “Pernikahan Adat Jawa dalam Perspektif  Hukum Islam”, dalam Jurnal Al-Mashlahah, Vol. 8, No. 2. 
  13. Yunus Samad, Muhammad. (2017), “Hukum Pernikahan Dalam Islam”, dalam Jurnal  Istiqra’, Vol. 5, No. 1.