mantuq
mantuq

Illat : Pengertian, Syarat Illat dan dan Fungsinya

Posted on

Iqipedia.com – Masalik al-Illah adalah bagian dari teori ushul fiqih dalam menetapkan hukum. Ini adalah sifat atau sebab yang menjadi sebab hukum itu ada. Teori illat ini masuk dalam ruang lingkup qiyas yang menjadi alternatif pengembangan hukum ketika permasalahan sudah tidak di jangkau al-Quran dan hadis. pertanyaanya, apa itu illat, bagaimana fungsinya, dan apa  saja yang masuk dalam kategori dan syarat-syaratnya. Berikut ini pembahasannya.

Pengertian Illat

Illat menurut bahasa berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Umpanya penyakit disebut ‘illat, karena adanya penyakit itu kondisi tubuh manusia berubah (dari sehat menjadi sakit).

Secara istilah para pakar ushul fiqih mendefinisikannya sebagai berikut:

  1. Menurut al-Baidawi, sebagian ulama Hanafiyah dan juga sebagian ulama Hanabilah, ‘illat adalah suatu sifat yang berfungsi sebagai pengenal bagi suatu. Maksudnya, bila terdapat suatu ‘illat pada suatu hal maka disitu terdapat  hukum, karena dari keberadaannya itulah hukum itu bisa diidentifikasi.
  2. Menurut Ibn al-Hajib, ‘illat adalah suatu sifat yang jelas dan konsisten (mundabit) yang merupakan motif di balik penetapan hukum yaitu maslahah yang menjadi tujuan syari’ah.
  3. Menurut Abd al-Wahab Khallaf, ‘illat adalah sifat yang terdapat dalam hukum ashal yang digunakan sebagai dasar hukum, dan dengannya akan diketahui hukum di dalam furu’. Umpamanya, memabukkan adalah sifat yang ada pada khamar, dan kemudian dijadikan dasar diharamkannya khamar. Maka dengan ‘illat tersebut, dapat diketahui haramnya setiap minuman yang memabukkan.
Fungsi-Fungsi Illat
  1. Penyebab atau penetap hukum, yaitu suatu ‘illat yang dalam hubungannya dengan hukum merupakan penyebab atau penetap ( yang menetapkan ) adanya hukum. Umpamanya, ‘illat memabukkan maka menyebabkan berlakunya hukum haram pada makanan dan minuman yang ada di dalamnya.
  2. Pencabut hukum, yaitu suatu ‘illat yang mencabut kelangsungan suatu hukum bila ‘illat itu terjadi dalam masa tersebut, tetapi ‘illat itu tidak menolak terjadinya suatu Misalnya, sifat thalaq dalam hubungannya dengan kebolehan bergaul. Adanya thalaq itu mencabut hak bergaul antara suami-istri. Namun, thalaq itu tidak mencabut terjadinya hak bergaul suami-istri ( jika mereka telah menikah atau rujuk kembali ), karena memang mereka boleh menikah lagi sesudah adanya thalaq itu.
  3. Penolak dan pencegah hukum, yaitu suatu ‘illat yang dalam hubungannya dengan hukum, dapat mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabutnya bila hukum itu telah berlangsung. Umpamanya, sifat radha’ (hubungan sepersusuan) berkaitan dengan hubungan perkawinan. Adanya hubungan susuan mencegah terjadinya hubungan perkawinan antara orang yang sepersusuan, dan sekaligus memcabut atau membatalkan hubungan perkawinan yang sedang berlangsung, bila hubungan susuan itu terjadi (diketahui) waktu berlangsungnya perkawinan.
Pos Terkait:  Macam-Macam Sumber Penafsiran Al-Quran
Syarat-Syarat Illat
1. Harus Memiliki Sifat Yang Jelas

Keberadaan illat itu harus merupakan sifat yang jelas yang dapat disaksikan oleh salah satu panca indra. Sebab ‘illat itu di gunakan untuk menetahui hukum yang akan diterapkan pada cabangnya ( furu’ ). Misalnya, sifat memabukkan” yang dapat dilihat pada khamar ( sebagai ashal qiyas ),  juga harus ada pada perasan ( nabiz ) buah-buahan yang memabukkan seperti ganja, candu ( sebagai cabang qiyas ) dan sebagainya.

Bila sifat itu masih samar-samar dan tidak dapat dilihat dengan jelas, maka tidak dapat dipergunakan untuk menetapkan hukum itu pada cabang ( furu’ ). Karena itu, hukum keadaan “telah baliqh” tidak dapat di tetapkan hanya karena semata- mata sempurnanya akal, tetapi harus memiliki ‘illat dengan yang dapat dilihat dengan jelas (tampak), yaitu sampai usia 15 tahun, atau tampak salah satu tanda di antara tanada-tanada baliqh sebelum usia 15 tahun.

2. Harus Berupa Sifat yang Sudah Pasti ( mundabit ).

Artinya mempunyai hakikat yang nyata dan tertentu yang memungkinkan untuk mengadakan hukum pada cabang dengan tepat. Karena asas qiyas adalah menyamakan hukum pada cabang dengan ashal. Persamaan ini menuntut adanya ‘illat secara pasti, sehingga memungkinkan persamaan hukum antara kedua peristiwa. Contohnya, pembunuhan yang dilakaukan dengan sengaja oleh seorang pewaris terhadap orang yang akan mewariskan adalah mempunyai hakikat yang pasti, karenanya dapat pula diterapkan pada kasus pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang akan menerima wasiat terhadap orang mewasiatkan.

Pos Terkait:  Hukum Wad’i dan Hukum Taklifi

Karena itu, ‘illat itu harus dalam bentuk sifat yang terukur (mundabit), keadaannya jelas dan terbatas, sehingga tidak bercampur dengan yang lainnya. Misalnya, keadaan dalam perjalanan menjadi ilat untuk bolehnya meng- qashar shalat. Qashar shalat dibolehkan bagi orang yang melakukan perjalanan, karena keadaan dalam perjalanan itu menyulitkan (musyaqqah). Namun, musyaqqah itu sendiri, tidak dapat di ukur dan di tentukan secara pasti, karena berbeda antara seseorang dengan lainnya, antara satu stuasi dengan stuasi lainnya. Karenanya, musyaqqah itu tidaklah dapat dijadikan alasan  hukum (illatul hukmi). Sifatnya sama dengan sifat yang batin (tidak zhahir), sehingga harus diambil sifat lain yang zhahir, sebagai patokan yang didalamnya terdapat alasan sebenarnya, yaitu “Keberadaan daalam perjalanan” dimana sifatnya jelas dan terukur.

3. Harus Sesuai dengan Hikmahnya

Maksudnya, ‘illat itu ada dugaan kuat  memiliki kecocokan dengan hikmah hukumnya. Dengan kata lain, hubungan antara ada atau tidaknya hukum itu sesuai dengan maksud syara’ dalam mengadakan aturan hukum, yaitu menarik kemaslahatan dan menolak kemudaratan. Sebab pendorong utama dalam mensyari’atkan suatu hukum dan tujuan yang hakiki adalah hikmah dari hukum itu. Andai kata hikmah hukum itu jelas, pasti dan sesuai, niscaya hikmah itulah yang menjadi alasan hukum (illatul hukmi). Akan tetapi karena hikmah hukum itu tidak jelas dan tidak pasti pada sebagian hukum, maka sifat-sifat yang jelas dan sesuai itulah yang dijadikan ‘illat hukumnhya.  Contohnya ‘illat dari haramnya khmar, narkotik, candu dan lainnya adalah karena semua itu “memabukkan”. Maka sifat “memabukkanitu sesuai dengan hikmah diharamkan meminumnya atau memakannya, yaitu merusak akal.

Pos Terkait:  Maqashid Syariah: Pengertian, Macam-Macamnya, Kuliyah 'Ammah, Khassah dan Juz'i
4.Tidak Hanya Terdapat Pada Ashal

Maksudnya ‘illat itu harus sifat yang dapat diterapkan pada beberapa masalah, selain masalah pada ashal tersebut. Sebab tujuan mencari ‘ilat pada ashal itu adalah untuk menerapkannya pada cabang ( furu’ ). Karena itu, kalau ‘illat hanya diperoleh pada ashal saja, tidaklah dapat dijadikan azas qiyas ( tidaklah sah dilakukan qiyas kepadanya). Maka tidak boleh menetapkan alasan haram minuman khamar, lantaran ia minuman yang berasal dari “perasan anggur yang sudah jadi khamar ( mempunyai sifat yang memabukkan )”. Sebab kalau itu yang dijadikan alasannya, maka hal itu tidak terdapat pada minuman yang memabukkan yang bukan berasal dari perasan anggur.

5. Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat itu tidak dapat ‘illat

Maksudnya, sifat itu menyalahi ketentuan yang telah ditetapkan oleh suatu dalil ( nash ). Umpamanya, pandangan sementara orang di masa sekarang yang menyamakan derajat perempuan dengan laki-laki yang di jadikan ‘illat untuk menyamakan hak kewarisan laki-laki dan perempuan. Meskipun hal itu mungkin saja dapat dijadikan ‘illat di dalam keadaan tertentu dan dinilai rasional, namun tidaklah dipandang oleh pembuat hukum, karena bertentangan dengan dalil nash ( QS.An- Nisa’ : 11 ) yang menyatakan bahwa hak anak-anak laki-laki sebesar hak dua orang anak perempuan ( bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan).

Kesimpulan

‘lllat adalah sifat yang terdapat dalam hukum ashal yang digunakan sebagai dasar hukum. Ia merupakan salah satu rukun atau unsur qiyas, bahkan merupakan unsur yang terpenting dalam qiyas.

Sedangkan syaratnya ‘illat yaitu memiliki sifat yang nyata, jelas dan dapat dijangkau oleh nalar (akal), dan mengadung relevansi, sehingga kuat dugaan bahwa ia merupakan alasan penetapan suatu ketentuan Allah SWT. dan Rasul-Nya. Adapun fungsinya yaitu menjadi penyebab atau penetap hukum, pencabut hukum, dan penolak dan pencegah hukum.

Baca juga: Tokoh Maqasid Syari’ah