Allah SWT menciptakan kebahagiaan dan kesengsaraan, petunjuk dan kesesatan, malam dan siang, langit dan bumi, hitam dan putih, lautan dan daratan, gelap dan terang, hidup dan mati, surga dan neraka, dan sebagainya. Penciptaan tersebut bertujuan agar manusia dapat mengambil pelajaran.
Dijelaskan lebih lanjut, ayat tersebut menunjukkan salah satu kebesaran Allah SWT. Dia tidak membutuhkan pasangan dan yang lainnya. Dialah yang kuasa menjadikan segala sesuatu dan Dialah yang berkuasa untuk memusnahkannya. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia.
Dalam tafsir Jalalain, dijelaskan bahwa kata tadzakkarụuna pada akhir ayat tersebut berasal dari kata tatadzakkaruuna. Lalu, pada salah satu huruf dibuang sehingga terbentuk kata tadzakkarụuna. Kata tersebut menunjukkan supaya manusia berfikir bahwa penciptaan pasangan-pasangan itu adalah Esa.
- Hadits
Ada juga hadits yang di dalamnya menganjurkan untuk menikah, karena sama saja seperti menyempurnakan agama :
إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفُ الدِّيْنِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ الْبَاقِي
Jika seseorang telah menikah, berarti ia telah menyempurnakan separuh agama. Maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada separuh sisanya. (HR. Baihaqi)
Lalu apa maksudnya, kenapa bisa dikatakan demikian? Kenapa dengan menikah dapat dikatakan telah menyempurnakan separuh agama?
Tentang hal ini, para ulama berpendapat bahwa umumnya yang merusak agama seseorang adalah kemaluan dan perut. Dengan kemaluan, seseorang bisa terjebak dalam lembah zina. Adapun perut dikonotasikan dengan keserakahan, sehingga bisa jadi hak orang lain pun akan dimakan dengan keserakahannnya.
Menikah berarti membentengi diri dari salah satunya, yaitu zina dengan kemaluan. Itu berarti dengan menikah separuh agama seorang pemuda telah terjaga, dan sisanya, ia tinggal menjaga perutnya.
Al Mulla ‘Ali Al Qori dalam Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih, ketika mensyarahi hadis ini, menjelaskan bahwa sabda Nabi saw bertakwalah pada separuh yang lainnya, maksudnya adalah bertakwalah pada sisa dari perkara agamanya.
Di sini menikah dianggap sebagai separuh agama. Ini menunjukkan dorongan yang sangat kuat untuk menikah agar terbebas dari dosa yang diakibatkan oleh kemaluan.
Hujjatul Islam, Imam Al-Gahzali -sebagaimana dinukil dalam kitab Mirqatul Mafatih– berkata,
“Umumnya yang merusak agama seseorang ada dua hal, yaitu kemaluan dan perutnya. Menikah berarti telah menjaga diri dari salah satunya. Dengan menikah berarti seseorang membentengi diri dari godaan setan, membentengi diri dari syahwat yang bergejolak dan lebih menundukkan pandangan.”
Dalam sebagian keterangan yang lain yang dimaksud dengan separuh sisanya adalah mulut. Tak jarang orang melakukan gibah, berdusta, memfitnah bahkan mengadu domba dengan mulutnya.
Pendapat ini mungkin disandarkan pada sabda Nabi: “Barangsiapa yang menjamin padaku untuk menjaga dua lubang, maka aku jamin ia masuk Surga, yakni lubang antara kedua bibir (mulut) dan lubang antara kedua selangkangan (kemaluan)”
Begitulah penjelasan para ulama. Intinya dengan menikah seseorang telah berhasil menyempurnakan separuh agamanya.
Selain hadis di atas, juga terdapat hadis-hadis lain yang redaksinya berbeda, tapi senada dari segi makna, misalnya hadis-hadis berikut
من رزقه اللَّه امرأة صالحة فقد أعانه على شطر دينه، فليتق اللَّه في الشطر الباقي
Barangsiapa siapa yang dianugerahi istri shalihah oleh Allah, maka Allah telah memberikan pertolongan dalam separuh agamanya. Hendaknya ia bertakwa (menjaga) separuhnya lagi. (HR. Hakim)
من تزوج فقد استكمل نصف الايمان فليتق الله في النصف الثاني
Barangsiapa siapa yang dianugerahi istri shalihah oleh Allah, maka Allah telah memberikan pertolongan dalam separuh separuh pertama imannya. Hendaknya ia bertakwa (menjaga) separuhnya imannya yang kedua. (HR. Thabrani)
Hukum taklifi, antara lain :
- Wajib : bagi orang sudah mampu menikah dan mapan semuanya, sekaligus umur cukup, diharuskan untuk menikah di takutkan melakukan zina.
- Haram : bagi orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah lahir dan batin.
- Sunnah : bagi orang yang masih bisa menahan nafsu meskipun nafsunya ingin menikah.
- Makruh : bagi orang lemah syahwat dan belum mampu memberi nafkah. e. Mubah : hukum asli nikah, yang tida terdesak oleh alas an yang menyegerakan menikah.
Setelah mengetahui bagaimana dasar hukum pernikahan, maka terdapat syarat dan rukun nikah yang harus dipahami dan di ketahui sebelum melakukan pernikahan tersebut, antara lain :
Syarat Akad Nikah :
1. Syarat calon pengantin laki-laki dan perempuan :
a) Islam
b) Baligh
c) Dengan kerelaan hati
d) Bukan dalam ihram haji atau umrah
e) Bukan dalam masa iddah
f) Bukan memiliki isteri 4 yang sah dalam satu masa
2. Syarat Wali :
a) Adil
b) Islam
c) Baligh
d)Lelaki
d) Merdeka
e) Berakal
f) Tidak fasik, kafir dan murtad, dll.
3. Syarat Saksi :
a) Islam
b) Lelaki
c) Baligh
d) Berakal
e) Sekurang-kurangnya dua orang
f) Memahami kandungan lafadz ijab dan qobul
g) Dapat mendengar, melihat dan bercakap
h) Adil
4. Syarat Ijab dan Qabul :
a) Kedua belah pihak sudah tamyiz
b) Ijab qabulnya tidak boleh ditambahi kata-kata lain atau dalam satu majlis.
1. Rukun Dalam Akad
a)Ada calon suami dan calon istri, yang tidak terharang secara syar’i dalam menikah.
b)Wali
c)Saksi
d)Ijab dan qabul
e)Ridhonya kedua mempelai.7
4. Kebudayaan di Indonesia
Menurut Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski, kebudayaan itu tercipta karena masyarakat itu sendiri. Herskovits juga berpendapat bahwa memandang kebudayaan turun temurun hingga ke genarasi sekarang ini di sebut sebagai superorganic. Secara istilah kebudayaan merupakan suatu kesuluruhan yang di dalamnya terdapat pengetahuan, moral, kepercayaan, dan masih banyak lagi.
Kebudayaan juga berasal dari bahasa sansekerta “ buddhayah” bentuk jamak dari “ buddhi” berarti sesuatu akal dan budi yang berkaitan dengan manusia. Dalam bahasa Inggris sendiri disebut “ culture” yaitu mengerjakan atau mengolah. Dan budaya sendiri memiliki istilah sebuah kelompok yang cara hidup berkembang mereka memiliki warisan turun temurun dari nenek moyang. 8
Kata kebudayaan juga berasal dari dasar budaya, yang dalam konteksnya dapat di hubungan dengan identitas nasional, karena terdapat konteks kebangsaan. Maka dari itu budaya nasional merupakan identitas dan kekayaan bangsa, identitas sendiri juga menentukan bagaimana perkembangan dan peradaban di suatu bangsa yang dimana dinamika globalnya terlalu tinggi dan harus mengurung segala aspek kebudayaan sendiri. 9
Kebudayaan merupakan suatu kesadaran semesta yang mempunyai nilai-nilai yang mengandung makna suatu kesadaran dari nilai identitas dan tingkat yang sungguh dari setiap nilai tersebut. Namun, setiap manusia yang terdapat di dalam nilai tersebut harus melakukan suatu kewajiban mengejar serta mewujudkan nilai-nilai itu agar tercipta suatu yang dapat di turun-temurunkan pada generasi nanti. Dapat diartikan yang lain yang perspektifnya lebih nyata harus dengan pengamatan, yang berupa tingkah laku tumbuh di masyarakat. 10
Kebudayaan yang di Indonesia sangatlah banyak, salah satunya tradisi disaat menikah yang berbeda, antar kecamatan meskipun sesame Jawa. Tradisi Jawa yang di gunakan pada zaman sekarang sudahlah merangkap pada zaman modern, sudah terlalu sedikit jika di lihat pada sekarang ini yang masih serratus persen menggunakan adat yang di ajarkan para leluhur kita terdahulu.
Tradisi Jawa sekarang hanyalah sebatas seremonial yang tanpa mereka pahami maknanya. Karena masyarakat yang cenderung lebih ke modern, dari pada ke klasik “adhiluhung” baik dari ritual prosesinya, kostum pakaian, hingga jamuan makannya sudah hilang dengan digantikan yang lebih modern dan apalagi bukan khas makanan dari budaya kita. Dan juga masyarakat sudah kehilangan identitas dirinya atau disebut dengan “njawani”, bukan hanya itu saja tetapi terdapat ada sebutan lain juga “Jawa during, Cina wurung, Landa bingung”. Oleh karena itu kita perlu untuk memahami
Pernikahan Tradisi Jawa
Secara bahasa adat berasal dari bahasa Arab “ al-adah atau al-‘urf” yang berarti budaya. Secara terperinci al-adah merupakan sesuatu yang terjadi secara berulang ulang dan menjadi kebiasaan yang di butuhkan dalam masyarakat. Sedangkan al-‘urf adalah sesuatu yang di yakini baik dan benar. Adat diartikan sebagai “aturan yang sudah dilakukan sejak dahulu, menjadi kebiasaan, yang terdapat di kebudayaan terdiri atas norma, hukum dan aturan yang saling terikat”. Berikut tahapan-tahapan pernikahan tradisi adat Jawa yang perlu diketahui, antara lain:
1. Nakonke :
Pihak laki-laki yang di wakilkan keluarga untuk menanyaan posisi calon perempuan, apakah sudah ada yang melamar dan dapat menerima pinangan dari pihak tersebut, dengan sekedar membawa bingkisan sedikit.
2. Sangsangan :
Tukar cincin atau tunangan, pihak laki-laki berkunjung ke
calonnya untuk mengikat dan menentukan waktu untuk pernikahan mereka.
3. Nentokke dino :
Menentukan hari baik untuk akad dan resepsi.
4. Ulem-Ulem atau Becekan:
Acara sebelum pernikahan yang biasanya masyarakat
menyumbang atau mengganti barang ke tuan rumah.
5. Walimah :
Acara inti yang diawali dengan akad ijab qobul yang sudah di tentukan tempatnya di KUA, masjid atau rumah si perempuannya, kemudian dilanjutkan dengan walimahan atau resepsi di rumah pengantin perempuan.
Baca Juga: Pendidikan Parenting Sebelum Nikah, Pengertian dan Peran Orang Tua
Pandangan Islam dalam Pernikahan Tradisi Adat Jawa
Di Indonesia berbagai suku, adat dan budaya banyak perbedaannya tetapi mereka harus tetap saling menghargai, salah satunya suku Jawa yang banyak memiliki keunikan dari segi kepercayaan dalam masyarakat dan juga terdapat kerumitan yang sesuai dengan tradisi mereka. Pada umumnya pernikahan salah satu peristiwa bersejarah dalam kehidupan yang tidak bisa di lewatkan begitu saja. Namun, pernikahan adat Jawa tidak dapat di lepaskan dari masyarakat Jawa meskipun dia beragama Islam serta percaya dan bertahan di tradisi para leluhurnya. Masyarakat Jawa masih memegang erat keragaman yang ada diajarkan, tradisi yang ada dan interaksi beberapa kelompok untuk saling menghormati dan toleransi. Hukum adat dalam pernikahan adat Jawa banyak memiliki perbedaan antara aturan satu dengan yang lain, tetapi perkembangan zaman semakin maju maka banyak hal yang mulai berubah yang di sebabkan perbedaan dalam konteks suku, adat istiadat dan kepercayaan.
Dalam hukum islam, pernikahan adalah suatu ibadah yang menyempurnakan agama dan perintah dari Allah SWT untuk di taati. Suatu pernikhan tidak hanya
memenuhi kebutuhan di dunianya saja tetapi juga hingga kelak untuk akhiratnya. Pernikahan dalam agama Islam akan bernilai sah jika memenuhi syarat dan rukun yang sudah ada dalam syari’at Islam. Tetapi jika suatu pernikahan sudah menjadi tradisi dan budaya dalam masyarakat justru akan menimbulkan kerumitan. Dalam budaya jika bertolak belakang dengan syariat Islam maka dapat menimbulkan kemusyrikan, dari itu beberapa yang tidak boleh di lakukan oleh agama Islam, yaitu :
1. Upacara pemasangan sesajen
Dalam adat Jawa dari dahulu hingga sekarang ini tidak bisa di pisahkan dari sesaji atau sesajen, karena sebagian masyarakat meyakini akan nilai sacral dalam sesajan tersebut.
2. Mengadakan pesta pernikahan yang berlebihan
Cenderung mengumbar kemaksiatan, karena terlalu menghamburkan uang dan mendatangkan kemaksiatan.
3. Memperbaiki niat
Pernikahan di laksanakan dengan niat mengikuti sunnah Rasulullah, bukan sebagai ajang pamer.
- Menghidangkan makanan yang mampu di miliki
- Mengundang tamu yang diutamakan saudara, tetangga dan orang yang seagama tanpa memandang kaya atau miskin.
- Tidak melaksanakan pernikahan yang berlebihan jika tidak mampu. g. Menghindari pencampuran lawan jenis.
- Tidak menghiasa acara dengan maksiat.13
Kesimpulan
Pernikahan adalah dua insan beda jenis yang disatukan untuk menjalin suatu ikatan dengan perjanjian sesuai peraturan di agama. Tujuan dalam pernikahan yaitu tidak hanya mengikuti syahwatnya saja, tetapi juga karena melaksanakan perintah Nabi Muhammad SAW. memperbanyak keturunan umat Nabi SAW.
Kebudayaan juga berasal dari bahasa sansekerta “ buddhayah” bentuk jamak dari “ buddhi” berarti sesuatu akal dan budi yang berkaitan dengan manusia. Dalam bahasa Inggris sendiri disebut “ culture” yaitu mengerjakan atau mengolah.
Secara bahasa adat berasal dari bahasa Arab “ al-adah atau al-‘urf” yang berarti budaya. Secara terperinci al-adah merupakan sesuatu yang terjadi secara berulang ulang dan menjadi kebiasaan yang di butuhkan dalam masyarakat. Sedangkan al-‘urf adalah sesuatu yang di yakini baik dan benar. Rangkaian pernikahan tradisi adat Jawa, berupa : nakonke, ulem-ulem, walimahan, dan sebagainya.
Dalam hukum islam, pernikahan adalah suatu ibadah yang menyempurnakan agama dan perintah dari Allah SWT untuk di taati. Suatu pernikhan tidak hanya memenuhi kebutuhan di dunianya saja tetapi juga hingga kelak untuk akhiratnya. Pernikahan dalam agama Islam akan bernilai sah jika memenuhi syarat dan rukun yang sudah ada dalam syari’at Islam. Tetapi jika suatu pernikahan sudah menjadi tradisi dan budaya dalam masyarakat justru akan menimbulkan kerumitan. Dalam budaya jika bertolak belakang dengan syariat Islam maka dapat menimbulkan kemusyrikan.
Baca Juga: Menikah Atau Menjomblo
Penulis: Oknita Annisa Isnainian
Refrensi:
- Ady Pratama, Bayu & Wahyuningsih, Novita. (2018), “Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten”, dalam Jurnal Haluan Sastra Budaya, Vol. 2, No. 1.
- Aziz, Safrudin. (2017), “Tradisi Pernikahan Adat Jawa Keraton Membentuk Keluarga Sakinah”, dalam Jurnal Ibda, Vol. 15, No. 1.
- Bintang Mustopa, Fendi & Fakhria, Sheila. (2019), “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Larangan Pernikahan Adat Jawa Jilu Studi Kasus di Desa Tanggan Kecamatan Gesi Kabupaten Sragen”, dalam Jurnal Legitima ( Hukum Keluarga Islam), Vol. 2, No. 1.
- Dr. Alo Liliweri, Prof. ( 2018), “Pengantar Studi Kebudayaan”, (Bandung : Katalog Dalam Terbit), Hal. 12.
- Elfi Barus, Elida. (2016),“Tauhid Sebagai Fundamental Filsafah Ekonomi Islam”, dalam Jurnal perspektif Ekonomi Darussalam, Vol. 2, No. 1.
- Inrevolzon, (2013), “Kebudayaan dan Peradaban”, dalam Jurnal Tamaddun ( Kebudayaan dan Sastra Islam), Vol. 13, No. 2.
- Jaya Riswanda, Hidayah& Rodafi, Dzulfikar & Muslim, Moh. (2021), “Pernikahan Adat Jawa Perspesifik Hukum Islam”, dalam Jurnal Hikmatina (Ilmiah Hukum Keluarga Islam), Vol. 3, No. 2.
- Karolina, Desi & Randy. (2021), “ Kebudayaan Indonesia”, (Jawa Tengah : Eureka Media Aksara), Hal. 1-42.
- Lukluil Maknun, Moch. (2013), “Tradisi Pernikahan Islam Jawa Pesisir”, dalam Jurnal Ibda’, Vol. 11, No. 1.
- Nina Adlini, dkk, Miza (2022),“Metode Penelitian Kualitatif dalam Studi Pustaka”, dalam Jurnal Edumaspul, Vol. 6, No. 1.
- Al-Faruqi, Ismail. (1984). “Islam dan Kebudayaan”, (Kuala Lumpur : Mizan), Hal. 7-8
- Yuliani, Eka & Az Zafi, Ashif. (2020). “Pernikahan Adat Jawa dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam Jurnal Al-Mashlahah, Vol. 8, No. 2.
- Yunus Samad, Muhammad. (2017), “Hukum Pernikahan Dalam Islam”, dalam Jurnal Istiqra’, Vol. 5, No. 1.