Pendidikan anak dalam Islam
Pendidikan anak dalam Islam

Pendidikan Anak Dalam Islam

Posted on

Iqipedia.com  – Pendidikan anak dalam Islam harus di mulai dari orang tua sebagai orang terdekat kepeda anaknya. Orang  tua harus mendidik anaknya dengan pendidikan akidah, pendidikan syari’at, pendidikan tasawuf, dan pendidikan akhlak.  Pendidikan anak dalam Islam di ungkap dalam surah lukman sebagaiamana pembahasan berikut ini.

Peran Orang Tua Dalam Mendidik Anak Dalam Islam

Al-Quran memberi contoh pendidik dalam mendidik anak usia dini dengan Luqman Hakim Ibn Ba’wara putra saudara perempuan Ayub, ia hidup sampai menemukan Nabi Daud.  Ia adalah sosok ayah yang shalih yang diberikan hikmah oleh Allah, yaitu orang yang alim cerdas serta berberilaku baik, namun ia bukan nabi. Ia senantiasa mendidik putranya yang bernama An’am, Asykam, Matan atau Tsaran yang sedang musyrik (non muslim) sehingga ia berhasil menjadikan putranya memeluk agama yang lurus.

Pendidikan anak yang kisahkan dalam surah luqman ini secara ekplisit menyebutkan sosok ayahlah sebai pendidik. Alasan mengapa al-Quran secara eksplisit menyebutkan ayah sebagai orang yang mendidik adalah karena ayah adalah penanggung jawab dalam keluarga. Artinya tanggung jawab pendidikan masih di berikan kepada ayah. Keterlibatan ibu dalam  mendidik anak memang tidak bisa di lepaskan serta tetap memiliki peran yang penting, meski demikian sosok  ibu tetap dapat di kategorikan sebagai  penanggung jawab. Alasan mngapa al-Quran menempatkan ayah sebagai penanggung jawab pendidikan anak, pertama, ayah adalah sebagai imam dalam keluarga. Kedua, ayah memiliki peran dan kewibawaan yang lebih tinggi. Dengan demikian maka sosok ayahlah yang lebih menentukan keberhasilan dalam pendidikan anaknya.

Tema-Tema Pokok Pendidikan Anak Dalam Islam

Tema-tema pendidikan anak khususnya keagamaan sudah sangat banyak disusun oleh ulama’ dan para pakar bahkan seluruh  kandungun al-Quran dan hadis itu dapat di jadikan tema pendidikan. Namun al-Quran hanya memilih tema-tema tertentu dalam mendidik anak usia usia dini. Pertanyaannya, mengapa hanya tema-tema tertentu yang dipilih diungkapkan secara tegas oleh al-Quran?. Hemat penulis, Pertama, al-Quran ingin tema-tema tersebut di prioritaskan dalam mendidik anak  anak usia dini sesuai kaidah ushul fiqh taqdim al-Mantuq ‘ala al-Mafhum (dahulukanlah dalil mantuq (disebutkan secara langsung dalam al-Quran) dari pada mafhum (dalil yang tersirat);  Kedua, al-Quran ingin menyederhanakan materi pendidikan anak yang masih usia dini karena anak yang masih usia dini akal fikirannya masih belum genap. Tema-tema tersebut akan dijelasan berikut ini.

1. Pendidikan Akidah

Pendidikan anak dalam Islam yang pertama adalah pendidikan akidah. Akidah dalam Islam di tempat sebagai pendidikan yang sangat signifikan, sehingga ulma’ mengkelompokkan akidah dalam ilmu fardhu a’in, dalam arti ilmu akidah sebagai ilmu yang harus di pelajari oleh setiap orang islam. Namun surah luqman tidak secara keseluruhan menyebutkan secara eksplisit tentang pendidikan anak, surah  ini hanya memilih beberapa tema-tema akidah tertentu yang harus di ajarkan kepada seorang anak sebagaimana penjelasan berikut ini.

Pertama,  Pendidikan pertama kali yang  dilakukan oleh luqman  ialah pendidikan tauhid, mengesakan Allah Swt. Sebagaimana firman Allah berikut ini:

 يَٰبُنَيَّ لَا تُشۡرِكۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيم

Artinya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan-Nya  adalah benar-benar kezaliman yang besar” (QS. Luqman, 31:13) .

Ayat ini  menjelaskan bahwa pendidikan pertama yang di lakukan luqman kepada putranya yaitu dengan  mendidik putranya agar  tidak syirik kepada Allah Swt. karena syirik adalah kedhaliman yang besar. Syirik secara bahasa adalah menyekutukan. Sedangkan  dalam KBBI syirik di artikan sebagai penyekutuan Allah Swt. dengan yang lain. Dalam al-Quran sendiri syirik kepada Allah terbagi menjadi tiga macam: pertama,  menyekutukan Allah dengan lainnya sebagai Tuhan atau dengan bahasa lainnya seseorang tidak bertuhan Allah atau punya Tuhan lain selain Allah (QS. Al-Maidah, 5: 73); Kedua,  menyekutukan Allah dengan lainnya dalam beribadah atau menyembah selain Allah (QS. Yunus, 10: 18); Ketiga, syirik dalam berdoa kepada selain Allah atau dengan bahasa lainnya dia tidak berdoa kepada Allah atau dia selain berdoa kepada juga berdoa kepada lainnya (QS. Al-An’am, 6: 40). Sedangkan dalam hadis, Nabi Muhammad Saw. menyebutkan bahwa beramal karena ingin di puji orang lain (riya’) di sebut sebagai syirik khafi . Dalam syirik kepada Allah Swt. tidak ada toleransi sedikitpun walaupun walaupun kesirikan itu di paksa oleh orang tua.

Pos Terkait:  Sifat-Sifat Allah: Sifat Wajib, Sifat Muhal dan Sifat Jaiz Allah

Baca juga: Peran Keluarga dalam Pendidikan Anak

Signifikansi pendidikan tauhid  harus didahulukan dari pada pendidikan lainnya serta pentingnya ditanamkan sejak usia masih  dini yaitu; Pertama,  menurut Ibn ‘Asyur keimanan manusia adalah pokok ajaran agama yang mana keabsahan amal ibadah yang lain bergantung padanya; Kedua, syirik adalah kedhaliman yang besar, karena syirik telah menyembah dan berdoa kepada sesuatu yang tidak memiki kekuasaan (QS.al-Haj, :73) serta tidak memiliki manfaat, tidak dapat memberi sesuatu, serta tidak dapat memantu penyembahnya (QS.  Al-Furqan’ : 55); Ketiga, Ketika seorang anak jika masih usia dini, ia lebih condong serta masih mudah untuk di rubah karena pada usia seperti seorang anak masih labil.

Baca juga: Macam-Macam Syirik Harus di Hindari

2. Pendidikan Syari’at

Pendidikan anak dalam Islam yang kedua  adalah dididik syari’at. Tema mendidik anak yang dipilih langsung oleh al-Quran adalah shalat. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt.:

يَٰبُنَيَّ أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ

Artinya:  “Hai putraku dirikanlah shalat” (QS. Luqman, 31:17)

Dari sudut pandang syariat shalat didefinisikan sebagai ucapan-ucapan dan perbuatan yang di awali dengan takbir dan di akhiri dengan salam. Perbuatan-perbuatan dan ucapan-uucapan tersebut mengandung pujian kepada Allah Swt.,  mengagungkan Allah dan doa kepada Allah untuk dirinya sendiri, nabi-nabi dan orang shalih. Doa ini selain menjadi peraktik dari shalat, doa juga menjadi makna shalat secara bahasa. Dalam teori semantik makna bahasa seperti ini akan selalu di bawa oleh kata itu ketika kata itu digunakan dalam kontek-kontek tertentu. Dengan demikian maka peraktik shalat yang mengandung perbuatan dan ucapan yang mengagungkan Allah dan pujian kepada Allah, esensnaya dari shalat adalah doa itu sendiri. Hal-hal lain yang dilakukan dalam shalat dari sudut pandang syariat itu dilakukan  tujuannya  adalah doa itu sendiri agar terkabul. Oleh karena itu maka lahirlah shalat shalat hajat, shalat istisqa’ shalat tahajud dan lain sebagaianya.

Berbeda dengan penjelasan di atas, makna shalat menurut al-Ghazali. Dalam perspektifnya, shalat  di artikan sebagai intraksi (munajat) seorang hamba kepada Tuhan. Praktik shalat dari sudut pandang syariat itu di lakukan tujuannya tak lain adalah munajat itu sendiri. Secara detail al-Ghazali menjelaskan semua tujuan perbuatan dan ucapan yang ada dalam shalat, takbir dan mengankat tangan tujuannya adalah mengagungkan-Nya, doa iftitah tujuannya adalah mengagungkan, ikrar dan pujian, al-fatihah tujuannya mengagungkan-Nya, ikrar dan pujian dan doa, amin tujuannya adalah terkabulnya doa, membaca surat atau ayat setelah fatihah tujannya adalah sesuai bacaannya,  berdiri, rukuk, i’tidal, sujud dan semua rukun dudun tujuannya adalah mengagungkan-Nya, bacaan dalam rukuk dan sujud tujuannya adalah ikrar ketuhanan dan keagungan-Nya, bacaan i’tidal tujuannya adalah ikrar dan pujian, qunut dan bacaaan duduk antara dua sujud tujuannya adalah doa, tahiyat tujuannya adalah ikrar dan pujian dan doa untuk dirinya sendiri, nabi-nabi dan orang-orang shalih, yang terakhir salam, tujuannya adalah mendoakan keselamatan kepada semua makhluk.

Dari uraian di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa shalat memiliki arti doa dan munajat kepada Tuhan, atau dengan bahasa  lainnya shalat sebagai intraksi manusia dengan Tuhannya serta shalat sebagai jalan bersimpuh seorang hamba dengan Tuhannya, maka dari itu al-Quran memerintahkan secara tegas untuk mengajarkannya sejak anak masih usia dini agar ia terbiasa memiliki hubungan dengan Tuhannya sejak masih usia dini yang pada saat jiwanya masih suci dari dosa.

Walaupun surah luqman secara eksplisit hanya mengajarkan sholat tetapi hal ini tidak bisa di pisahkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan shalat dan hal-hal yang menjadi penyempurna sholat, misalnya syarat, rukun dan perkara yang menyebabkan shalat batal. Dalam kaidah ushul fiqih menyebutkan  hal-hal yang menjadi penyempurna kewajiban maka hukum wajib pula untuk di ajarkan. Dengan demikian maka hal-hal yang berkaitan dan penyempurna shalat maka hukumnya wajib untuk di pelajari.

Pos Terkait:  Fakta Ilmiah Penyembelihan Hewan Dengan Basmalah, Hikmahnya Sesuai Medis

Baca juga: Ibadah Yang Berpahala Besar

3. Pendidikan Tasawuf

Pendidikan anak dalam Islam yang ketiga adalah pendidikan tasawuf. Dalam surah Lukman di jelaskan bahwa mendidik anak dengan tasawuf meliputi hal berikut ini:

Pertama, bersyukur kepada Allah. Selanjutnya dalam mendidik anak yang usia dini al-Quran merintahkan  mengajarkan mereka  agar bersyukur kepada Allah Swt. Hal ini sebagaimana firman Allah:

وَلَقَدْ اٰتَيْنَا لُقْمٰنَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلّٰهِ ۗوَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ

Artinya: “Sungguh, Kami benar-benar telah memberikan hikmah kepada Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah! Siapa yang bersyukur, sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri. Siapa yang kufur (tidak bersyukur), sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Luqman, 31:12)

Kata syukur berakar dari syakara yang berarti membuka, lawan katanyanya adalah kata kafara yang berarti menutup dan melupakan. Bersyukur kepada Allah dan kedua orang tua bila ditafsirkan dengan  makna tersebut maka dapat berarti manusia harus membuka hatinya bahwa nikmat yang ia peroleh berasal dari Allah dan kedua orang tua. Raghib al-Asfihani -pakar bahasa- memaknai kata syukur dengan gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampaknnya kepermukaan.  Sedangkan Al-Ghazali, memaknai  syukur dengan sanang dengan nikmat yang ada dan menggunakan nikmat tersebut sesuai maksud dan yang di sukai Allah.  Kedua pendapat al-Asfihani dan al-Ghazali ini tampaknya lebih konprehensip dari sebelumnya, selain syukur di maknai dengan pengakuan hati dan kegembiraan hati terhadap nikmat, syukur juga harus di tampakkan kepermukaan serta di gunakan sesuai maksud dan tujuan Allah seperti memuji dan taat kepada Allah sebagai pemilik nikmat dan berterimakasih dan berbakti kepada kedua orang tua sebagai perantara nikmat.

Syekh Nawawi menafsirkan syukur dalam ayat di atas dengan penafsiran yang lebih aplikatif dan mudah. Menurutnya -mengutip pendapat Sufyan bin ‘Uyaynah-,  bersyukur kepada Allah adalah  melaksanakan shalat dan taat kepada Allah sedangkan bersyukur kepada kedua orang yaitu dengan  mendoakan keduanya setelah shalat. Lebih lanjut Syekh Nawawi banten menjelaskan alasan kenapa harus bersyukur kepada Allah dan kedua orang tua, karena Allah sebagai sumber dan pemberi  nikmat sedangkan bersyukur kepada kedua orang karena ia telah mendidiknya serta menjadi sebab lahirnya kedunia. Hemat penulis pendapat-pendapat ulama’ di atas tidak ada yang kontra, mereka hanya berbeda saja dalam mendekati kata syukur, ada yang menggunakan  makna dasar kata syukur, ada yang langsung pada aplikasi syukur dan ada pula yang menggunakan bahasa mudah di cerna.

Dari uraian di atas dapat di bahwa Tuhan adalah tempat asal penciptaan manusia dan nikmat sedangkan orang tua sebagai jalan penciptaan dan nikmat yang berimpilikasi jika mensyukuri Allah dan kedua orang akan berdampak penambahan nikmat  dan jika mengkufuri akan memberi dampak pada adzab (QS. Ibrahim, 14: 7 ), maka dari al-Quran memerintahkan untuk mengajari anaknya sejak usia dini.

Kedua, sabar dalam menghadapi musibah, hal ini di firmankan Allah dalam ayat berikut ini:

 وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُور

Artinya: “Bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (harus) diutamakan” (QS. Luqman, 31:17)

Ayat ini menjelaskan dalam kehidupan di butuhkan kesebaran dalam menghapi sesuatu yang menimpanya.  Kesabaran di anggap penting untuk dia ajarkan kepada anak mengingat seseorang dalam hidup pasti tidak dapat di lepaskan dari sesuatu yang menimpanya. Kunci sukses dalam menghadapi sesuatu tersebut adalah kesabaran yang pada ayat tersebut di sebagai pokok sebagai pokok segala urusan.

Baca juga: Maqamat dalam Tasawuf, Mengukur Derajat Manusia

4. Pendidikan Akhlak

Pendidikan anak dalam Islam yang kedua  adalah pendidikan akhlak. Kata akhlak terambil dari bahasa arab. Secara terminologi akahlak ini berarti susila, moral dan etika. Al-Ghazali menjelaskan akhlak adalah sesuatu yang keluar dari dalam diri manusia secara natural atau dengan bahasa lainnya akahlak adalah perilaku manusia yang murni keluar dari dirinya tanpa di buat-buat dan pura-pura. Kemudian Al-Ghazali menjelaskan bahwa akhlak terbagi menjadi dua, yaitu akhlak yang di puji (akhlak mahmudah) dan akhlak yang tercela (akhlak madzmumah). Dalam agam Islam akhlak merupakan sesuatu yang sangat urgen sehingga menjadi salah satu tujuan di utusnya Nabi Muhammad Saw.  Hal ini di jelaskan dalam hadis Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. bersabda:

Pos Terkait:  Nafsu Manusia, Pengertian dan Derajatnya

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR Al-Baihaqi).

Selanjutnya Al-Quran menjelaskan sosok manusia yang  harus di jadikan panutan dalam akhlaknya, sosok tersebut adalah Rasulullah Saw. yang memiliki akhlak yang paling mulia adalah Nabi Muahmmad Saw. (QS. Al Ahzab: 21). Rasulullah juga di sebutkan dalam Al-Quran sebagai sosok manusia yang memiliki yang agung (QS. Al-Qalam: 4). Dengan demikian maka pendidikan akhlak merupakann hal yang urgen untuk di ajarkan kepada anak. Dalam kaitannya dengan pendidikan luqman kepada putranya, luqman tidak mengajarkan semua akhlak yang ada dalam Islam. Luqman hanya mengajarkan sebagiannya saja. Berikut ini pendidikan akhlak yang di ajarkan Luqman kepada anaknya:

Pertama, akhlak kepada kedua orang tua. Al-Quran menjelaskan bahwa  anak harus berbakti dan bersyukur kepada orang tua. Sebagaimana firman Allah berikut ini:

وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖ

Artinya: “pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (QS. Luqman: 14)

Berbakti kepada kedua orang tua, dapat artikan sebagai mengikuti perintahnya dan memberi nafkah ketika kedua sudah tidak mampu mencari nafkah. Selanjutnya akhlak kepada kedua orang tua yang harus di lakukan adalah berbuat baik dan berterimaasih. Hal ini di jelaskan dalam yat berikut ini:

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّه وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُه فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ

Artinya: “Kami mewasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. (Wasiat Kami,) “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Hanya kepada-Ku (kamu) kembali”. (QS. Luqman: 14)

Kedua, akhlak kepada masyarakat. Al-Quran menjelaskan bahwa dalam bermasyarakat manusia harus memiliki  akhlak. Hal ini di jelaskan dalam firman Allah berikut ini:

وَلَا تُصَعِّرۡ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَال فَخُور وَٱقۡصِدۡ فِي مَشۡيِكَ وَٱغۡضُضۡ مِن صَوۡتِكَۚ إِنَّ أَنكَرَ ٱلۡأَصۡوَٰتِ لَصَوۡتُ ٱلۡحَمِيرِ

Artinya: “ Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri. Berlakulah wajar dalam berjalan dan lembutkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman: 18-19)

Ayat ini menjelaskan bahwa seorang anak harus diajarkan beretika yang baik, yaitu tidak memalingkan wajahnya ketika berhadapan dengan masyarakat, tidak sombong, berjalan dengan baik dan bertutur kata lemah lembut.

Demikian artikel “Pendidikan Anak Dalam Islam”, semoga bermanfaat.

Baca juga: Metode Mendidik Anak Dalam Islam

Penulis:  Abd. MuqitDosen IAIFA Kediri dan IAIN Ponorogo.

 

Refrensi Pendidikan anak dalam Islam :

  1. Ahmad Atabik, “Manthuq Dan Mafhum Dalam Menetapkan Hukum Dari Alqur’an Dan Sunnah” Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islami ..
  2. Thahir Bin Shalih, Jawahir Al-Kalamiyah, (Surabaya: Al-Hidayah, 2012)
  3. Muhammad Thahir Ibn ’Asyur, Al-Tahrir Wa Al-Tanwir (Tunisia: Dar al-Thunisiayah, 2000)
  4.  M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2017)
  5.  Abi Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin (Kediri: Maktabah De’ ali, 2020
  6.  Syekh Nawawi Al-Bantani, Marah Labid (Kediri: Maktabah De’ ali, 2014)
  7. Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir Al-Thabari (Kairo: Bidar Hijr, 2001)
  8. Fakhrudin Al-Razi, Mafatih Al-Ghaib (Bairut: Dar al-Ihya’, 2010)
  9. Pendidikan anak dalam Islam Pada Era Modern.
  10. Pendidikan anak dalam Islam Sebagai Upaya Priventiv di Masa Kini.