Tradisi Bulan Muharrom
Tradisi Bulan Muharrom

Tradisi Bulan Suro Bagi Umat Islam di Jawa

Posted on

Iqipedia.com – Sejarah islam merupakan salah satu hasil perdebatan dan interpretasi yang konstan. Tradisi muslim dapat dipahami sebagai suatu perjuangan spiritual, sosial dan intelektual untuk menetukan dan menerapkan maknanya. Islam lebih ditandai oleh persoalan-persoalan tanpa henti mengenai bagaimana manusia seharusnya memperlakukan diri mereka agar sesuai dengan kehendak Allah. Tradisi merupakan kebiasaan yang dilakukan sejak lama secara turun-temurun yang masih dijalankan masyarakat sampai sekarang.

Kita tahu bahwa negara Indonesia mempunyai berbagai suku, budaya, ras, bahasa, agama, dan kebudayaan yang beragam. Budaya di Indonesia sungguh kaya dan beranekaragam yang mempunyai ciri khas masing-masing. Budaya bukan hanya tentang nyanyian, tarian-tarian ataupun alat musik, tetapi budaya juga mencakup tentang tata cara atau sebuah upacar atau perayaan dalam memperingati atau menyambut hari besar. Salah satu budaya yang sangat terkenal yaitu perayaan malam satu Suro dimana banyak di Indonesia merayakan dengan beragam tradisi. Salah satunya ada di tanah Jawa, dimana dalam sejarah mencatat pulau Jawa adalah pulau yang memiliki banyak kerajaan. 

Suro adalah bentuk penanggalan jawa oleh Sultan Agung. Walaupun masih dalam satu pulau kenyataannya tradisi satu Suro di pulau Jawa berbeda-beda. Meskipun terdapat berbagai perbedaan namun tetap memiliki tujuan yang sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT dan merupakan ungkapan rasa syukur atas kenikmatan dan kehidupan yang lebih baik.

Bulan muharram merupakan bulan pertama menurut perhitungan tahun Hijriyah, dinamakan bulan suro oleh Sultan Agung. Dalam sistem Islam, bulan suro dipandang sebagai bulan haram atau suci. Karena larangan perang terhadap kaum Kafir Quraisy dicabut. Sedangkan untuk kaum Syiah Muharram merupakan bulan ratapan (syahr al-nihayah) atas kematian Husein bin Ali (wafat. 10 Muharram 61 H). Adapun keistimewaan dalam bulan Muharram adalah adanya peringatan Hijriyah atau tahun baru Islam. Tarikh Hijriyah dihitung sejak hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah al-Munawarah (622 M). Hijrah Nabi diartikan sebagi perpindahannya umat muslim dari Makkah al-Mukarroamah ke Madinah al-Munawarah untuk menjauhkan dari perbuatan dosa. Penetapan bulan hijriyah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab tahun ke-17 setelah Nabi hijrah atau tahun keempat beliau menjadi khalifah.

Sejarah Satu Suro atau Satu Muharram

Masyarakat Indonesia telah lama mengenal istilah Suro khususnya masyarakat Jawa. Secara bahasa kata Suro dari bahasa arab yaitu asyura yang artinya kesepuluh yaitu tanggal 10 Muharram. Selain itu didalam Islam, bulan Suro telah dipahami sebagai bulan Muharram oleh mayoritas masyarakat Islam khususnya di Jawa. Pada tanggal 10 Muharram ini, menurut masyarakat Islam memiliki arti yang sangat penting. 8 Karena itu oleh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa bulan asyura yang lebih populer dibandingkan bulan Muharram. Menurut sistem kepercayaan Islam-Jawa, Kata “Suro” juga menunjukkan arti yang penting yaitu 10 hari pertama bulan suro, di mana dari 29 atau 30 hari pada bulan Muharram itu yang dianggap paling keramat adalah pada 10 hari pertama yaitu pada tanggal 1 sampai 8. Tetapi mengenai kekeramatan pada bulan suro sendiri bagi masyarakat Islam-Jawa, disebabkan oleh faktor budaya keraton, bukan daria “kesangaran” bulan Suro sendiri. 

Pos Terkait:  Bulan Ramadhan 2022, Begini Dasar Penetapannya Oleh Pemerintah, NU dan Muhammadiyah

Secara etimologis Muharram artinya bulan yang dimuliakan atau diutamakan. Makna bulan Muharram tidak lepas dari realitas empirik dan simbolik yang melekat pada bulan itu. Karena bulan Muharram penuh dengan berbagai peritiwa besar baik sejarah para Nabi ataupun para rasul Allah. Dengan demikian bulan Muharram merupakan peristiwa bersejarah yang penuh makna, karena berbagai peristiwa penting terjadi dalam proses sejarah bulan itu. Dalam tradisi Jawa, bulan Suro dianggap sebagai saat yang tepat untuk melakukan introspeksi diri selama setahun perjalanan hidup di dunia.

Peringatan Satu suro atau Satu Muharram ini biasanya pada malam hari yaitu pada malam tanggal satu setelah maghrib, hal ini karena pergantian tanggal atau hari jawa pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya. Oleh masyarakat tanggal 10 Muharram sebagai hari besar Islam karena pada hari itu banyak kejadian atau peristiwa besar yang mencerminkan kemenangan gemilang bagi para pejuang yang gigih, tangguh dan tabah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

Baca Juga: Penjelasan Al-Quran dan Hadis Tentang Karomah Wali

Keanekaragaman Tradisi di Jawa dalam Memperingati Satu Suro atau Satu Muharram

Kearifan lokal merupakan nilai-nilai yang berlaku dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat yang menjadi acuan dalam setiap tingkah laku dalam tata kehidupan masyarakat tersebut. Hal ini berarti bahwa kearifan lokal merupakan hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain.Nilai tersebut akan menjadi ciri khas dan melekat menjadi nilai tertentu melalui perjalanan waktu yang panjang, seiring dengan keberadaan masyarakat tersebut.

Pos Terkait:  Urgensitas Pendidikan Pesantren Menghadapi Tantangan zaman

Munculnya kearifan lokal adalah bersamaan dengan lahirnya interaksi manusia dalam sebuah komunitas. Ia mencerminkan perilaku masyarakat tertentu. Sehingga, kearifan lokal sudah ada sejak zaman prasejarah yang menjadi perilaku positif bagi manusia dalam berhubungan dengan alam yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat-istiadat, petuah nenek moyang yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan alam.

Tradisi merupakan adat-istiadat kebiasaan yang turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan didalam masyarakat, penilaian atau tanggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar. Di Jawa tradisi memperingati satu Muharram atau 1 Sura dengan berbagai kegiatan keislaman. 1 Muharram sebagai tahun baru Islam, umat muslim dianjurkan untuk puasa 1 Muharram. Puasa untuk memperingati 1 Muharraam hukumnya sunnah muthlaq.

Adapun puasa untuk memperingati 1 Muharram yaitu Puasa Asyura, Puasa Tasu’ah. Di Indonesia sendiri memiliki beragam suku, bahasa, ras, agama, dan lainnya, dimana mengakibatkan adanya akulturasi budaya yang memunculkan berbagai kegiatan unik atau keanekaragaman tradisi Salah satunya yaitu perayaan satu Suro (Satu Muharram) sebagai tahun baru Islam di Pacitan Jawa Timur adalah Larung Sesaji yang dilakukan di laut Pacitan.

KESIMPULAN

Secara bahasa kata Suro dari bahasa arab yaitu asyura yang artinya kesepuluh yaitu tanggal 10 Muharram. Selain itu didalam Islam, bulan Suro telah dipahami sebagai bulan Muharram oleh mayoritas masyarakat Islam khususnya di Jawa. Pada tanggal 10 Muharram ini, menurut masyarakat Islam memiliki arti yang sangat penting.

Pos Terkait:  Kaidah Fiqih Al-Yaqin Layuzalu Bis Syak

Untuk melihat bahwa tradisi dan budaya yang sudah menagakar di tengah-tengah kehidupan masyarakat Jawa itu sesuai dengan ajaran Islam atau tidak, maka hal itu perlu di kaji dengan mendasar pada ajaran-ajaran Islam yang terkait dengan bidang aqidah dan syariah. Sebab tradisi dan budaya Jawa manyangkut masalah keyakinan akan adanya sesuatu yang dianggap memliki kekuatan seperti Tuhan, dan juga menyangkut masalah perilaku ritual, seperti berdoa kepada Tuhan dengan berbagai cara tertentu, misal dengan sesaji dan berdoa melalui perantara lain. Pada prinsipnya masyarakat Jawa adalah masyarakat yang religius yaitu masyarakat yang sadar untuk memeluk suatu agama.

Baca Juga: Pernikahan Tradisi Adat Jawa dalam Pandangan Islam

Penulis: Farras Kurnia Afifah

Refrensi: 

  1. Arini Hidayah, Djihan Nisa. Persepsi Masyarakat Terhadap Tradisi Malam Satu Suro. Jurnal Ilmiah IKIP Veteran Semarang.(Juli 2012).
  2. Japarudin. 2017.Tradisi Bulan Muharram di Indonesia. Jurnal Tsaqofah & Tarikh. Vol.2, No.2,
  3. Sholikhin, Muhammad. (2009). Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi.