Pengertian Qiyas
Qiyas adalah mengqiaskan far’ (permasalahan yang belum ada hukumnya) kepada ashl (permasalahan yang sudah ada hukumnya), karena memiliki kesamaan illat yang terdapat di dalamanya. Contohnya mengqiaskan memukul orang tua terhadap berkata “ah” kepada orang tua. Hukum memukul orang tua adalah far’ yang belum ada hukumnya di dalam Al-Quran sedangkan berkata “ah” kepada orang tua adalah ashl yang sudah ada hukumya yang di jelaskan dalam al-Quran, bahwa hal tersebut tidak di perbolehkan dan menurut fuqaha’ hukumnya haram.
Rukun-Rukun Qiyas
Rukun qiyas adalah hal-hal yang harus di penuhi agar qiyas dapat mengeluarkan hukum. Rukun-rukun tersebut terdapat empat, sebagaimana penjelasan berikut ini:
1. Ashl
Ashl adalah permasalahan yang sudah ada hukum melalui Al-Quran, hadis atau ijma’. Hal inilah yang di jadikan tempat mengqiyaskan hukum.
2. Hukum ashl
Hukum ashl adalah hukum yang di miliki oleh ashl yang penetapannya tidak melalui qiyas, tetapi penetapannya melalui Al-Quran, hadis atau ijma’.
3. Far’
Far adalah permasalahan-permasalahan yang belum ada hukumnya.
4. Illat
Illat adalah sesuatu yang menjadi alasan wujudnya hukum dalam ashl serta dapat menetapkan hukum pada far’.
Syarat-Syarat Qiyas
- Syarat far’ harus memiliki kesamaan illat dengan ashal. Dalam teori mafhum, illat yang terdapat dalam far’ di haruskan minimal sama ukurannya (lahnal khitob), atau dapat juga illatnya lebih tinggi (fakhwal khithab).
- Syaratnya ashl adalah ashl di tetapkan dengan dalil yang di sepakati jika terjadi perselisihan (khilaf). Jika tidak terjadi khilaf maka syaratnya penetapan hukumnya dengan dalil yang kemukakan oleh yang mengqiyaskan.
- Syarat dari illat ini adalah 1). Wujudnya illat menjadi faktor wujudnya hukum, misalnya illat khamr yang memabukkan menjadi sebab hukum keharaman khamr; 2). Tidak terjadi pertentangan antar far’ dan ashl dalam sifat dan maknanya. Jika terjadi kontradiksi dalam lafadh atau makna-nya maka tidak dapat di berlakukan qiyas. Pertentangan dalam lafadhnya maksudnya adalah sifat-sifat antara far’ dan ashl sama, tetapi hukumnya tidak berlaku. Misalnya orang membunuh anaknya, hal ini tidak dapat di qiyaskan dengan pembunuhan penganiayaan yang di sengaja (qatlu ‘amdin ‘udwanan). Kerena keduanya meskipun memiliki sifat yang sama yaitu membunuh, tetapi di dalam pembunuhan orang tua terhadap anaknya tidak memiliki tujuan penganiayaan, bisa saja membunuhnya karena faktor yang lain seperti takut kelaparan, anak nakal dan lain secamnya. Oleh karena itu membunuhnya orang tua terhadap anaknya tidak dapat di qiyaskan kepada qatlu ‘adin ‘udwanan (pembunuhan penganiayaan yang di sengaja).
Madsud dari pertentangan maknanya adalah makna yang ada dalam far’ sama dengan ashl, tetapi hukumnya tidak berlaku. Misalnya harta shabi dalam permasalahan zakat. Harta shabi dalam hal ini tidak dapat di qiyaskan dengan harta orang baligh, walaupun memiliki illat yang sama yaitu untuk memenuhi kebutuhan faqir miskin, tetapi shabi belum berlaku hukum taklif karena tidak memenuhi syarat taklif yaitu baligh.
- Syarat dari hukumnya yaitu sama dengan illat, artinya jika illat wujud maka hukumnya pun harus wujud, tetap jika illatnya tidak berlaku maka hukumnya pun tidak berlaku.
Kehujjahan Qiyas
Kedudukannya sebagai sumber hukum mendapat tanggapan yang beragam dikalangan ulama ushul fiqh. Pada dasarnya, ulama ushul fiqh sepakat akan kebolehan penggunaan dan kehujahan qiyas dalam masalah duniawi, seperti penalaran qiyas dalam hal obat-obatan dan makanan. Ulama ushul fiqh juga sepakat atas kehujahan qiyas yang dilakukan Rasulullah semasa hidupnya. Adapun perbedaan mereka adalah dalam hal penggunaan qiyas terhadap hukum syari’at yang tidak ada nashnya secara jelas. Secara lebih terperinci, ulama ushul fiqh terpetakan menjadi lima golongan dalam menyikapi qiyas sebagai metode penetapan hukum:
- Pendapat jumhur ulama ushul fiqh, mengatakan bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau sarana mengistinbatkan hukum syara’. Bahkan menurut jumhur, mengamalkan qiyas adalah wajib. Jumhur Ulama yang menjadikan qiyas sebagai landasan hukum, mereka menggunakan qiyas dalam suatu peristiwa yang tidak terdapat hukumnya dalam nash al- Qur’an, as-Sunnah ataupun Ijma’ para sahabat. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran. qiyas menduduki peringkat keempat diantara hujjah syar’iyyah dengan pengertian apabila dalam suatu kasus tidak ditemukan hukumnya berdasarkan nash al-Qur’an, sunnah dan ijma’ dan diperoleh ketetapan bahwa kasus itu menyamai suatu kejadian yang ada nash hukumnya dari segi ‘Illat hukumnya, maka kasus itu diqiyaskan dengan kasus tersebut dan ia diberi hukum yang sama, dan hukum itu merupakan hukumnya menurut syara’.
- Pendapat ulama Zhahiriyyah, termasuk Imam al-Syawkani, bahwa secara logika, qiyas memang diperbolehkan, tetapi tidak ada satu nash pun dalam al-Qur’an yang menyatakan wajib Kelompok ulama Zahiriyah dan Syi’ah Imamiyah mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas sebagai landasan hukum. Mazhab Zahiriyah tidak mengakui adalanya ‘Illat atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan ‘Illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
- Pendapat syi’ah Imamiyah dan al-Nazhzham dari mu’tazilah, berpendapat bahwa qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan, karena kewajiban mengamalkannya adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut
- Kelompok yang menggunakan qiys secara luas dan mudah. Mereka pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan ‘Illat diantara keduanya, kadang-kadang memberi kekuatan yang lebih tinggi terhadap qyas, sehingga dapat membatasi keumuman sebagaian ayat al- Qur’an dan as-Sunnah.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu A’lam bisshowab.
Terimakasih.
Baca juga: Hakikat, Pengertian, Macam-Macam dan Contohnya