Pancasila, iqipedia.com – Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila pertama dalam Ideologi Pancasila. Bagian pertama dari Pancasila ini mengajarkan tentang keharusan suatu bangsa harus beragama dalam berbangsa dan bernegara.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa megalami tahapan-tahapan dalam proses perumusannya. Pertama sila Ketuhanan Yang Maha Esa di usulkan oleh. Ir. Sukarno dalam pembukaan sidang BPUPKI dengan kalimat “ Ketuhanan” saja yang di tempatkan pada urutan kelima, urutan yang paling bawah. Sukarno beralasan dengan di tempatkannya Sila Ketuhanan di paling bawah agar dapat menjadi landasan sila-sila lainnya.
Selanjutnya dalam piagam jakarta pada tanggal 14 Juli 1945 BPUPKI lewat panitia sembilan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa berubah menjadi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluknya”. Hal ini di lakukan oleh kelompok islammis. Sebelum piagam jakarta di jadikan sila pancasila kata “bagi pemeluk-pemeluknya” diminta untuk dihilangkan oleh Ki Bagus Hadikusumo, sehingga syariat Islam berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia namun Soekano menjawab apa yang dikemukakan oleh Ki Bagus Hadikusumo dengan mengemukakan bahwa hal tersebut adalah hasil kompromi, dan menegaskan bahwa jika kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dihilangkan maka mungkin diartikan bahwa yang tidak Islam pun diwajibkan menjalankan syariat Islam. Ki Bagus Hadikusumo akhirnya menerima rumusan dalam Pembukaan, dengan pertimbangan agar pembentukan pemerintahan RI segera dapat dilakukan dengan pengertian bahwa persetujuan itu bersifat sementara, setelah MPR terbentuk segalanya akan dibahas Kembali.
Setelah Piagam Jakarta di jadikan pancasila namun kelompok nasionalis menolak keinginan tersebut dengan alasan adanya keberatan dari wakil-wakil Indonesia bagian timur atas rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian dasar negara.
Untuk menjaga Kesatuan bangsa yang baru diproklamasikan, Soekarno-Hatta menemui wakil-wakil golongan Islam. Semula, wakil golongan Islam, keberatan dengan usulan penghapusan itu. Namun setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui rumusan tujuh kata yang dikenal dengan Piagam Jakarta tersebut diganti dengan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.