riba
riba

Pengertian Riba, Macam-Macam Riba, Dalil, Hukum dan Sejarahnya

Posted on

Iqipedia.com – Hukum riba sudah termaktub dalam Al-Quran secara sharh. Sedangkan term riba disebut delapan kali dalam empat surah yang berbeda, yakni satu kali dalam ayat 39 surah al-Rûm, satu kali dalam ayat 161 surah al-Nisâ’, satu kali dalam ayat 130 surah Âli ‘Imrân, tiga kali dalam ayat 275 surah al-Baqarah, satu kali dalam ayat 276 surah al-Baqarah, dan satu kali dalam ayat 278 surah al-Baqarah. Keempat surah tersebut  secara  kronologis  menggambarkan empat  tahapan  pengharamanny dalam Alquran.

Dengan adanya berbagai faktor-foktor yang telah terjadi sehingga alat tukar yang semula berupa emas dan perak kini menjadi uang kertas. Yang mana Mata uang kertas sekarang berfungsi sebagai alat bayar untuk barang-barang lain, sebagai harta benda, transaksi jual beli,serta pembayaran hutang piutang, sehingga sebagian  ulama’ konteporer  menyamakan hukum yang terdapat pada emas dan perak juga berlaku pada uang kertas, diantaranya adalh hukum riba. Dengan demikian penulis ingin mencoba mebahas mengenai riba dalam perspektif al-Qur’an.

Pengertian Riba

Secara bahasa (lughah), menurut al-Razi, riba berarti tambahan. al-Shabuni berpendapat bahwa riba adalah tambahan secara mutlak. Menurut Quraish Shihab, kata riba dari segi bahasa berarti “kelebihan”. Kalau kita hanya berhenti pada makna kebahasaan ini, maka logika yang dikemukakan para penentang riba pada masa Nabi dapat dibenarkan.

Ketika itu mereka berkata (sebagaimana diungkapkan al-Qur’an –bahwa “jual beli sama saja dengan riba” (QS. al-Baqarah :275), Allah menjawab mereka dengan tegas bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Penegasan ini dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secara eksplisit, namun dapat dipastikan bahwa tentu ada alasan atau hikmah sehingga riba diharamkan dan jual beli dihalalkan.

Sedangkan menurut Syaikh Muhammad Abduh bahwa yang dimaksud riba ialah penambahan-penambahan yang di isyaratkan oleh orang yang memiiki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.

Macam-Macam Riba

Macam-macamnya ada tiga, yaitu:

  1. Riba Fadhl adalah tukar menukar barang yang tidak sama ukurannya.
  2. Riba Yad adalah tukar menukar barang yang waktu serah terimanya tidak bersamaan.
  3. Riba Nasiah adalah transaksi tukar menukar yang penyerahannya tidak kontan.
Dalil Riba

Dalil keharaman riba di ungkapkan dalam Al-Quran secara berulang-ulang. Berikut ini dalil-dalil riba yang ada dalam Al-Quran:

  1. Keharaman riba di ungkapkan dalam secara tegas. Allah SWT berfirman:

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا

Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al Baqarah: 275).

2. Kemudian Allah juga memerintahkan orang-orang beriman untuk menghentikan praktik riba. Allah berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوۡا مَا بَقِىَ مِنَ الرِّبٰٓوا اِنۡ كُنۡتُمۡ مُّؤۡمِنِيۡنَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang beIum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman” (Al Baqarah 278).

Pos Terkait:  Imam Syafi’i : Guru, Pemikiran, Karya, Qaul Jadid, Qadim

3. Allah SWT mengancam akan memerangi orang-orang yang tidak menuruti perintah-Nya untuk meninggalkan riba. Allah berfirman:

فَاِنۡ لَّمۡ تَفۡعَلُوۡا فَاۡذَنُوۡا بِحَرۡبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوۡلِهٖ‌ۚ

Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu.” (QS Al Baqarah 279).

Sedangkan dalil yang dari hadits yaitu:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Artinya: “Rasulullah ﷺ mengutuk orang yang makan harta riba, yang memberikannya, penulis transaksinya dan yang menjadi saksinya. Mereka semuanya sama (berdosa).” (HR Muslim).

Hukum Riba Tahap Pertama

Para ulama kontemporer berpendapat, proses pengharaman riba ditetapkan secara evolutif (al-tadrîj) sama seperti proses pengharaman khamr. Bila dibandingkan satu sama lain, ayat 39 surah al-Rûm ini sama kedudukannya dengan ayat 67 surah al-Nahl yang berbunyi sebagai berikut:

وَمِنْ ثَمَرٰتِ النَّخِيْلِ وَالْاَعْنَابِ تَتَّخِذُوْنَ مِنْهُ سَكَرًا وَّرِزْقًا حَسَنًاۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ

“Dari buah kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti”. (Q.s. al-Nahl : 67)

Ayat 67 surah al-Nahl tersebut sama sekali tidak menyebut keharaman khamr. Akan tetapi, hanya  menyinggung perbandingan antara rezeki yang baik dengan minuman yang memabukkan. Sama seperti ayat ini yang tidak menyatakan keharaman khamr, ayat 39 surah al-Rûm yang dikutip di muka, juga tidak menyinggung soal keharaman riba. Ayat tersebut juga hanya membuat perbandingan antara riba dengan zakat. Namun demikian, substansi yang dikehendaki kedua ayat tersebut sesungguhnya relatif sama, yakni sama-sama menekankan perlunya umat Muslim meninggalkan kebiasaan yang buruk. Bedanya, ayat 67 surah al-Nahl menghendaki agar umat Muslim meninggalkan kebiasaan mengonsumsi khamr. Sementara ayat 34 surah al-Rûm menekankan perlunya kaum Muslimin meninggalkan praktiknya.

Hukum Riba Tahap Kedua

Pada tahap kedua, keharaman riba juga masih secara implisit diterangkan dalam ayat 160 hingga 161 surah al-Nisâ’ yang berbunyi sebagai berikut:

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُوْنَ اَنَّهُمْ اٰمَنُوْا بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّتَحَاكَمُوْٓا اِلَى الطَّاغُوْتِ وَقَدْ اُمِرُوْٓا اَنْ يَّكْفُرُوْا بِهٖ ۗوَيُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّضِلَّهُمْ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا اِلٰى مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَاِلَى الرَّسُوْلِ رَاَيْتَ الْمُنٰفِقِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْكَ صُدُوْدًاۚ

“ Tidakkah engkau (Nabi Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman pada apa yang diturunkan kepadamu (Al-Qur’an) dan pada apa yang diturunkan sebelummu? Mereka hendak bertahkim kepada tagut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkarinya. Setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sangat jauh. Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah (patuh) pada apa yang telah diturunkan Allah dan (patuh) kepada Rasul,” engkau (Nabi Muhammad) melihat orang-orang munafik benar-benar berpaling darimu. (Q.s. al-Nisâ’ [4]: 160-161).

Pos Terkait:  Aliran Tasawuf Falsafi dan Aliran Tasawuf Sunni

Ayat tersebut menjelaskan tentang adanya semacam hukuman Tuhan terhadap kaum Yahudi, sehingga mereka tidak diperbolehkan lagi mengonsumsi beberapa jenis makanan tertentu yang semula dihalalkan bagi mereka. Menurut Ibn Katsîr, pengharaman yang dimaksud pada ayat tersebut terjadi dalam dua kategori. Pertama, pengharaman secara qadariyya-n, yakni pengharaman yang bersumber dari ulah mereka sendiri yang melakukan penggubahan terhadap makanan-makanan halal tertentu yang semula dihalalkan Allah menjadi haram menurut versi mereka sendiri, seperti daging dan susu onta. Tindakan tersebut tentu saja berimplikasi pada timbulnya kesulitan atas diri mereka sendiri. Karena ulah mereka sendiri tersebut, kemudian Allah Swt. melakukan pengharaman dalam kategori kedua, yakni pengharaman secara syar‘iyya-n, yaitu pengharaman beberapa jenis makanan tertentu yang semula dihalalkan bagi mereka yang sengaja ditetapkan-Nya dalam kitab Taurat.

Hukum Riba Tahap Ketiga

Pada  tahap  ketiga,  keharaman  riba  sudah  mulai  diterangkan  secara eksplisit dengan larangan memakannya sebagaimana tercantum dalam ayat 130 surah Âli ‘Imrân  yang berbunyi sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوا الرِّبٰوٓا اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةً ۖوَّاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَۚ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”. (Q.s. Âli ‘Imrân : 130)

Dalam ayat ini dimaksudkan sebagai utang-piutang yang ketika tidak bisa dibayar pada waktu jatuh tempo, pengutang diberi tambahan waktu, tetapi dengan ganti berupa penambahan jumlah yang harus dilunasinya. Menurut para ulama, hal ini haram, walaupun jumlah penambahannya tidak berlipat ganda.

Menurut al-Râzî, ketika menderita kekalahan dalam Perang Uhud pada tahun ketiga H, kaum Muslimin mulai meniru kebiasaan kaum kafir Quraysy, yakni menimbun  harta  kekayaan  dengan  jalan  riba.  Sebagai  respons  atas  tindakan tersebut, turunlah ayat 130 surah Âli ‘Imrân yang pada intinya berisi larangan bagi umat Islam untuk  menjalankan praktik riba. Berbeda dengan ayat sebelumnya, ayat 130 surah Âli ‘Imrân  ini secara eksplisit sudah mulai melarang umat Islam untuk memakan riba.

Dalam  menafsirkan  penggalan  ayat  130 surah Âli  ‘Imrân yang  berbunyi: اًفاَعْضَأ ًةَفَعاَضُم  di kalangan para ulama terjadi perbedaan pendapat. Satu pendapat menyatakan,  riba  yang  hanya  dalam  kadar  yang  sedikit  saja  atau  yang  tidak tergolong  اًفاَعْضَأ   ًةَفَعاَضُم ,  hukumnya  halal.  Hal  ini  diqiyaskan  dengan  halalnya mengonsumsi khamr di luar salat, sebagaimana termaktub dalam ayat 43 surah al-Nisâ’ yang berbunyi sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan. (Q.s. al-Nisâ’ : 43).

Ayat  tersebut  berisi  larangan  mengonsumsi khamr  menjelang salat.  Ini merupakan larangan yang bersifat partikular (juz’î) yang dikaitkan  dengan kondisi  tertentu.  Larangan  model  ini  menyimpan  arti  adanya  kebolehan  mengonsumsi khamr di luar waktu salat. Bila dianalogikan dengan kebolehan mengonsumsi khamr di  luar  waktu salat,  maka  sangat  boleh  jadi,  akan  ada  yang  berpendapat, memakan riba dalam kadar yang sedikit saja atau yang tidak masuk kategori  اًفاَعْضَأ   ًةَفَعاَضُم , dapat dibenarkan.

Pos Terkait:  Khauf, Pengertian, Dalil, Macam-Macam dan Keutamaan Khauf

Di kalangan mufassirîn, pendapat senada ini antara lain dianut oleh Muhammad ‘‘Abduh dan Rasyîd Ridhâ. Pendapat semacam ini, menurut ‘Abd al-‘Azhîm Jalâl Abû Zayd merupakan pendapat yang keliru.

Menurut Sayyid Quthb, penggalan ayat 130 surah Âli ‘Imrân  yang berbunyi: اًفاَعْضَأ ًةَفَعاَضُم, merupakan sebuah sifat yang lazim melekat pada barang ribawi. Karena itu, meskipun  ditetapkan  dalam  kadar  yang  sedikit saja,  secara  natural  seiring  bertambahnya  waktu,  pasti  akan  berubah menjadi berlipat ganda juga. Bila pendapat Quthb ini diterima, maka hukumnya tetap haram,  baik  dalam  kadar  yang  sedikit  maupun  dalam  kadar  yang berlipat ganda.

Hukum Riba Tahap Keempat

Pada tahap keempat, keharaman riba sudah dijelaskan secara sangat eksplisit dalam Al-Quran sebagaimana tercantum dalam ayat 275-280 surah al-Baqarah yang berbunyi sebagai berikut:

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ ۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ

“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya , lalu dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi, mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.  Allah menghilangkan (keberkahan dari) riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang sangat kufur lagi bergelimang dosa”. (QS.. Al-Baqarah : 275-760).

Menurut al-Suyûthî, ayat tersebut turun bertalian dengan kasus Tsâqif yang terlibat utang-piutang dengan al-Mughîrah. Pada tahun 9 H, sebagaimana disinggung di  muka, Tsâqif memeluk  Islam.  Setelah  memeluk  Islam, Tsâqif menagih utang yang belum dilunasi al-Mughîrah. Ketika ditagih, al-Mughîrah tidak bersedia membayar ribaa  kepada Tsâqif  yang  telah  mengetahui  adanya   larangannya dalam Islam. Kejadian tersebut dilaporkan kepada Nabi. Kemudian turunlah ayat 275-280 surah al-Baqarah tersebut yang pada intinya memerintahkan umat Islam untuk meninggalkan sisa-sisa rba.

Penulis: Rohmah

Baca juga: Tips Meningkatkan Penjualan, Omset Nambah Cuan Melimpah

Baca juga: Jurnal Keislaman