Islam Edu

Qada’ dan Qadar: Pengertian, Macam-Macamnya, Cara Beriman, Asy’ariyah, Jabariyah, Qodariyah

×

Qada’ dan Qadar: Pengertian, Macam-Macamnya, Cara Beriman, Asy’ariyah, Jabariyah, Qodariyah

Share this article

Iqipedia.com  – Iman adalah aspek agama Islam yang paling mendasar, dan bisa disebut pondasi dari setiap agama. Bila iman rusak, maka runtuhlah bangunan agama secara keseluruhan. Dalam agama Islam iman terbagi menjadi enam, yaitu : Iman kepada Allah, Iman kepada Rasulullah SAW, Iman kepada malaikat Allah, Iman kepada kitab-kitab Allah, Iman kepada hari akhir, dan Iman kepada qada’ dan qadar.

Banyak terjadi perbedaan pendapat mengenai qada’ dan qadar. Antara satu pendapat dengan lainnya saling bertentangan sangat jauh sekali, masing-masing merasa benar menurut anggapannya. Mereka tak henti-hentinya memperdebatkan persoalan qada’ dan qadar, yang berpangkal kepada apakah manusia itu masayyar (mengikuti apa-apa yang harus ia melakukannya sesuai dengan perintah), ataukah mukhayyar (diberi kebebasan memilih mana-mana yang hendak dikerjakan sesuai dengan kehendak hatinya). Secara garis besar, perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai qada’ dan qadar itu terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu kelompok jabariyah, kelompok qadariyah, kelompok mu’tazilah, kelompok asy’ariyah, dan lain sebagainya.Maka dari itu dalam makalah ini akan diuraikan mengenai persoalan qada’ dan qadar, dengan harapan semoga pembahasan makalah ini kita semua bisa mendapatkan pemahaman yang bisa meningkatkan kadar keimanan kita terhadap rukun iman yang telah di tetapkan khususnya iman kepada qada’ dan qadar.

Pengertian Qada’ dan Qadar

Menurut bahasa “Qada’” berasal dari kata Qadha–Yaqdhii yang berarti memutuskan suatu perkara dengan ucapan atau perbuatan. Adapun dalam al-qur’an secara bahasa qadha memiliki pengertian sebagai berikut :

  1. Qada’ berarti hukum atau keputusan (Q.S. An-Nisa’ ayat 65)
  2. Qada’ berarti mewujudkan atau menjadikan (Q.S. Fussilat ayat 12)
  3. Qada’ berarti kehendak (Q.S. Ali Imran ayat 47)
  4. Qada’ berarti perintah (Q.S. al-Isra’ ayat 23)

Secara istilah Qadha berarti ketetapan, ketentuan atau keputusan Allah swt tentang suatu perkara sejak zaman azali (sebelum adanya alam ini) yang belum diketahui dan belum diterima oleh makhluknya.

Sedangkan menurut bahasa kata “Qadar” berasal dari lafaz Qadara–Yaqdiru yang berarti kuasa mengerjakan sesuatu. Dalam al-qur’an secara bahasa qadar memiliki arti sebagai berikut :

  1. Qadar berarti mengatur atau menentukan sesuatu menurut batas-batasnya (Q.S. Fussilat ayat 10)
  2. Qadar berarti ukuran (Q.S. ar-Ra’du ayat 17)
  3. Qadar berarti kekuasaan atau kemampuan (Q.S. al-Baqarah ayat 236)
  4. Qadar berarti ketentuan atau kepastian (Q.S. al-Mursalat ayat 23)
  5. Qadar berarti perwujudan kehendak Allah SWT., terhadap semua makhluk-Nya dalam bentuk-bentuk batasan tertentu (Q.S. al-Qomar ayat 49)

Secara istilah Qadar berarti pembatasan Allah swt tentang sesuatu, dengan kata lain Qadar berarti ketentuan atau ketetapan yang telah ditentukan oleh Allah swt atas Makhluk-Nya. Beriman kepada Qada’ dan Qadar berarti kita meyakini adanya ketentuan Allah swt yang berlaku untuk manusia sebagai bukti dari kekuasaan Allah swt. Dengan kata lain iman kepada qada’ dan qadar artinya percaya dan yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah swt telah menentukan tentang segala sesuatu bagi makhluk-Nya.

Pos Terkait:  Sejarah Perkembangan Neo-Sufisme
Cara Beriman Kepada Qada’ dan Qadar

Makna beriman kepada takdir yaitu kepercayaan yang pasti bahwa segala sesuatu, yang baik maupun buruk, semuanya adalah dengan Qada’ dan Qadar Alloh. Dan dialah yang maha berbuat terhadap apa yang ia kehendaki, sesuatu tidak akan terjadi kecuali dengan kehendaknya, tidak ada sesuatu pun yang keluar dari kehendaknya, tidak suatu pun yang keluar dari kehendaknya, tidak suatu pun di alam ini semesta ini yang keluar dari takdirnya, dan tidak akan berjalan kecuali berdasarkan pengaturannya, tak seorang pun yang bisa mengelak dari takdir yang telah ditentukan, ia tidak akan melampaui apa yang telah digariskan di Lauhul Mahfudz.

Beriman kepada takdir mencangkup empat perkara:

  1. Beriman bahwasannya Alloh mengetahui segala sesuatu baik secara global maupun rinci, dan bahwa Alloh subhanahu wa ta’ala telah mengetahui segenap makhluknya sebelum ia menciptakannya, dan ia mengetahui rizki- rizki mereka, ajal mereka, ucapan, dan perbuatan mereka, apa yang mereka rahasiakan dan mereka tampakkan, juga mengetahui siapa diantara mereka yang ternmasuk penghuni bsuga dan termasuk penghuni.
  2. Beriman terhadap tulisannya qadar (takdir) tersebut. Yakni bahwasannya Alloh telah menulis segala yang ia ketahui ilmunya sebelumnya dan bahwa semua itu tertulis di lauhul mahfudz
  3. Beriman kepada kehendak Alloh yang tidak sesuatupun dapat menolaknya, juga beriman kekuasaan Alloh yang tidak dapat dilemahkan oleh sesuatu pun.
  4. Beriman bahwasannya Alloh adalah yang menciptakan segala sesuatu, dialah satu-satunya pencipta dan setiap yang selainnya adalah makhluk dan bahwa dia maha kuasa atas segala
Qada’ dan Qadar Menurut Qadariyah dan Mu’tazilah

Lahirnya aliran Mu’tazilah tidak terlepas dari perkembangan pemikiran-pemikiran ilmu kalam yang sudah muncul sebelummnya. Aliran ini lahir berawal dari tanggapan Washil bin Atha’, salah seorang murid Hasan Bashri di Bashrah, atas pemikiran yang dilontarkan khawarij tentang pelaku dosa besar.

Menurut aliran mu’tazilah, mereka menanamkan dirinya sebagai ahli At-tauhid (menjaga ke-Esaan Allah) dan ahli Al-‘adl (mempercayai dan meyakini penuh akan keadilan Tuhan). Sehubungan dengan prinsip At-tauhid, mu’tazilah menafikan sifat, karena merupakan sesuatu yang berada di luar zat. Kalau ada sifat berarti ada dua yang qadim yaitu zat dan sifat. Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah zat Tuhan sendiri. Mu’tazialh juga berpendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk, karena kalau bukan makhluk akan ada qadim lain selain Allah.

Pos Terkait:  Pengembangan Ekonomi dalam Islam, Cocok Banget Untuk Pengembangan Aset

Sedangakn prinsip Al-‘adl mereka mengatakan bahwa Tuhan itu, Maha Adil, Dia akan memberikan imbalan pahala dan jaminan kebahagiaan bagi orang yang berprestasi dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik. Seiring dengan prinsip keadilannya itu, maka Allah sudah menetapkan janji dan ancaman senada yang akan di patuhinya sendiri.Akan tetapi, prestasi keagamaan setiap orang itu berbeda, bisa saja ada orang mukmin yang kelakuaanya seperti orang kafir.

Sedang di akhirat nanti mereka akan tetap memperoleh siksa atas perbuatan-perbuatan dosanya, namun siksanya tidak sama dengan siksaan orang kafir. Untuk menghindari posisi ini, dan agar semua menjadi orang baik, maka mereka mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar sebagai wajib ‘ain.

Disamping aliran Mu’tazilah, adapula aliran Qadariyah. Aliran ini lahir dilatar belakangi oleh kegiatan politik pada masa Mu’awiyab bin Abu Sufyan, dari Daulah Bani Umayyah. Menurut aliran qadariyah, mereka beranggapan bahwa manusia diberi Allah daya dan kekuatan untuk melakukan suatu perbuatan. Manusia juga di beri kebebasan untuk memilih antara melakukan sesuatu kebaikan dan keburukan, dan mereka harus mempertanggung jawabkan semua perbuatannya kelak di hari akhir.

Bila manusia memilih untuk melakukan perbutan baik, maka dia akan memperoleh pahala di sisi Allah dan akan memperoleh kebahagiaan dalam hidup di akhirat kelak. Sedang mereka yang memilih melakukan perbuatan buruk, akan memperoleh siksa di neraka.

Pada intinya pemikiran-penikiran antara Qadariyah dan Mu’tazilah ini kehampir sama, khususnya pada aspek pemikiran mereka tentang perbuatan manusia, dan kekuasaan mutlak Tuhan. Yakni bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan kehendak serta perbuatannya, namun mereka harus mempertanggung jawabkan semua perbuatannya di hadapan Tuhan.

Qada’ dan Qadar Menurut  Jabariyah

Jabariyah berasal dari kata jabr yang artinya paksaan. Aliran ini ditonjolkan pertama kali Jahm bin Safwan (131 H), sekretaris Harits bin Suraih. Aliran ini juga dikenal sebagai aliran Jahmiyah. Sebelumnya munculnya aliran ini dipelopori oleh Ja’ad bin Dirham, namun pemikiran kalam ini belum terlalu berkembang. Aliran ini lahir bermula dari ketidak berdayaan dalam menghadapi kekejaman Muawiyah bin Abu Sufyan, dan mengembalikan semuanya atas kehendak dan kekuasaan Tuhan.

Dalam segi pemikiran kalammnya yang berkenaan dengan qada’ dan qadar aliran Jabariyah sebenarnya memiliki konsep yang bertentangan dengan aliran Qadariyah. Menurut Jabariyah manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak mempunyai kemampuan untuk memilih. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia, pada hakikatnya adalah dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau siksa, karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya.

Menurut faham ini, manusia tidak hanya bagaikan wayang, yang digerakkan oleh dalang, tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sementara nasib mereka diakhirat ditentukan oleh Tuhan secara mutlak. Aliran ini cenderung mengikuti aliran tradisional yakni aliran ilmu kalam yang kurang menghargai kebebasan manusia, serta kurang melakukan pendekatan logika nalar dalam pemikiran kalam mereka.

Pos Terkait:  Abu Jahal Suka Bacaan Al-Quran Tapi Mau beriman
Qada’ dan Qadar Menurut Asy’ariyah

Asy’ariyah merupakan salah satu aliran dalam ilmu kalam.aliran ini dilahirkan dan dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari pada tahun 300 H di Baghdad. Aliran ini disebut dengan aliran Asy’ariyah karena diambil dari nama Abu Hasan Al-Asy’ari. Selain itu aliran ini juga dikenal dengan nama Aliran Ahlus Sunnah Wa Jama’ah. Disebut demikian karena dalam aliran ilmu kalamnya banyak menggunakan al-Sunnah dalam perumusan pemikiran-pemikiran kalamnya serta serta memiliki pengikut yang cukup besar dari kalangan masyarakat.

Dalam pemikirannya tentang konsep qada’ dan qadar aliran Asy’ariyah berada ditengah-tengah pemikiran antara aliran Mu’tazilah, Qadariyah, dan aliran Jabariyah. Menurut aliran Asy’ariyah qada’ dan qadar dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu :

  1. Al-‘Ilm (Pengetahuan)

Mengimani dan meyakini bahwa Allah SWT., Maha Mengetahui atas segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, secara global maupun terperinci, baik itu termasuk kehendak Allah sendiri atau perbuatan makhluk-Nya. Tidak ada satupun yang tersembunyi bagi-Nya.

  1. Al-Kitabah (Penulisan)

Mengimani bahwa Allah Ta’ala telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam Lauhul Mahfuzh.

  1. Al-Masyi’ah (Kehendak)

Meyakini bawhwa segala sesuatu yang terjadi atau tidak terjadi di langit ataupun bumi adalah kehendak Allah Ta’ala.

  1. Al-Khalq (Penciptaan)

Mengimani bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah SWT. Apa yang ada di langit dan bumi penciptanya adalah Allah. Hingga kematian yang merupakan lawan kata dari kehidupan merupakan ciptaan (kehendak) Allah SWT.

Kesimpulan

Iman kepada qada’dan qadar termasuk rukun iman yang keenam dan harus diyakini kebenarannnya oleh setiap muslim. Iman kepada qada’ dan qadar berarti percaya dan yakin bahwasannya Allah SWT., memiliki kehendak, keputusan, dan ketetapan atas semua makhluknya termasuk segala sesuatu meliputi semua kejadian yang menimpa seluruh makhluk hidup, termasuk manusia dan benda-benda yang ada di alam semesta.

Adapun perbedaan konsep yang muncul dikalangan penganut aliran ilmu kalam seperti Mu’tazilah dan Qodariyah yang meyakini bahwa segala sesuatunya berdasarkan kehendak manusia tanpa adanya campur tangan Tuhan maupun dari aliran Jabariyah yang meyakini segala sesuatu terjadi karena kehendak Tuhan dan manusia tidak memiliki kuasa atas segala sesuatunya ataupun menurut aliran Asy’ariyah yang pemahamannya berada ditengah-tengah antara paham  Mu’tazilah, Qadariyah dan Jabariyah merupakan sebagai penambah wawasan serta pemahaman bagi kita semua.

Demikian penjelasan Qada’ dan dan Qadar, semoga bermanfaat.

Penulis: Abd. Muqit