Ikhlas dan Riya’: Pengertian, Tips dan Derajatnya

Posted on

Iqipedia.com – Ikhlas dan riya’ adalah dua ajaran tasawuf yang mengajarkan agar amal manusia memiliki nilai di sisi Allah Swt. Dua ajaran tasawuf ini menjadi penting dan sigfikan amalkan agar manusia dapat beramal dengan ikhlas dan terhidar dari riya’ agar amalnya tidak sia-sia dan memiliki nilai pahala di akhirat. Dengan demikian maka ikhlas dan riya’ penting untuk di pelajari agar manusia dan menjalankan ibadah dan amalnya dengan baik sesuai ajaran Islam.

Ikhlas 

Pengertian Ikhlas 

Ikhlas yang di maksud ini bukan ikhlas yang seperti yang biasa kita dengan dalam keseharian kita tapi ikhlas dalam perspektif  islam kusus ilmu tasawuf. Ikhlas berasal dari bahasa  arab, yang berarti  murni, tiada bercampur, bersih, jernih. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai,  hati yang bersih, ketulusan hati dan Kerelaan. Menurut pakar tasawuf ikhlas berarti  melakukan segala amal perbuatan dengan tujuan untuk mencari ridha allah Swt. atau mencapai surga dan selama dari neraka atau melakukan amal perbuatan yang tujuannya hanya melakasankan perintah Allah Swt.

Ikhlas adalah lawan dari riya’ dalam arti, jika seseorang melakukan amal tidak ikhlas maka amalnya yang di lakukan adalah riya’. Ia melakukannya hanya demi manusia, bukan karena Allah Swt.

Definisi ini memang masih belum detail menjelaskan ikhlas, karena definisi memang kebanyakan masih abstrak dan kurang jelas.  Detailnya akan di jelaskan pada derajat ikhlas berikut ini:

Derajat Ikhlas
Derajat Ikhlas Pertama

Tingkatan ikhlas yang paling tinggi adalah membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk (manusia) di mana tidak ada yang diinginkan dengan ibadahnya selain menuruti perintah Allah dan melakukan hak penghambaan, bukan mencari perhatian manusia berupa kecintaan, pujian, harta dan sebagainya

Pada tingkatan ini orang yang melakukan amalan atau ibadah tidak memiliki tujuan apapun selain hanya karena menuruti perintah Allah semata. Ia menyadari bahwa dirinya adalah hamba atau budaknya Allah sedangkan Allah adalah tuannya. Maka baginya sudah selayaknya seorang hamba taat dan patuh serta menuruti apapun yang diperintahkan oleh tuannya tanpa berharap mendapatkan imbalan apapun.

Orang yang beramal dengan keikhlasan tingkat ini sama sekali tak terpikir olehnya balasan atas amalnya itu. Pun ia tak peduli apakah kelak di akhirat Allah akan memasukkannya ke dalam surga atau neraka. Ia hanya berharap ridlo Tuhannya.

Derajat Ikhlas Kedua

Tingkat keikhlasan yang kedua adalah melakukan perbuatan karena Allah agar diberi bagian-bagian akhirat seperti dijauhkan dari siksa api neraka dan dimasukkan ke dalam surga dan menikmati berbagai macam kelezatannya.

Pos Terkait:  Bulan Ramadhan 2022, Begini Dasar Penetapannya Oleh Pemerintah, NU dan Muhammadiyah

Pada tingkatan kedua ini orang yang beramal melakukan amalannya karena Allah namun di balik itu ia memiliki keinginan agar dengan ibadahnya kelak di akherat ia akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah.

Ia beribadah dengan harapan kelak di hari kiamat terselamatkan dari berbagai keadaannya yang mengerikan, terlindungi dari panas yang menyengat, dimudahkan hisabnya, hingga pada akhirnya ia tidak dimasukkan ke dalam api neraka tapi sebaliknya Allah berkenan memasukkannya ke dalam surga sehingga ia dapat menikmati berbagai fasilitas yang tiada duanya.

Beribadah dengan niat dan motivasi seperti ini masih dikategorikan sebagai ikhlas, hanya saja bukan ikhlas yang sesungguh-sungguhnya ikhlas. Keikhlasan seperti ini ada pada tingkatan kedua di bawah tingkat keikhlasan pertama. Ini diperbolehkan mengingat Allah dan Rasulullah sangat sering memotivasi para hamba dan umatnya untuk melakukan amalan tertentu dengan iming-iming pahala yang besar dan kenikmatan yang luar biasa di akhirat kelak.

Derajat Ikhlas Ketiga

Tingkatan ikhlas yang ketiga adalah melakukan perbuatan karena Allah agar diberi bagian duniawi seperti kelapangan rizki dan terhindar dari hal-hal yang menyakitkan. Tingkat keikhlasan yang ketiga ini adalah tingkat keikhlasan yang paling rendah di mana orang yang beribadah dilakukan karena Allah namun ia memiliki harapan akan mendapatkan imbalan duniawi dengan ibadahnya itu. Sebagai contoh orang yang melakukan shalat dluha dengan motivasi akan diluaskan rejekinya, aktif melakukan shalat malam dengan harapan akan mendapatkan kemuliaan di dunia, banyak membaca istighfar agar dimudahkan mendapatkan keturunan dan lain sebagainya. Hal yang demikian ini masih tetap dianggap sebagai ikhlas karena agama sendiri menawarkan imbalan-imbalan tersebut ketika memotivasi umat untuk melakukan suatu amalan tertentu. Hanya saja tingkat keikhlasannya adalah tingkat paling rendah.

Kiat-kiat  Ikhlas
Pertama Menata niat

Pintu gerbang ikhlas adalah niat. Jika kita ingin menjadi orang yang ikhlas (mukhlash), makapertama kali yang di lakukan adalah menata niat kita. Niat adalah sesuatu yang menjadi visi dan tuuuan seseorang  dalam mengerjakan sesuatu, jika tujuan amal perbuatan kita karena Allah maka ia akan mengerjakannya dengan tujuan agar mendapat rida atau pahala di akhirat kelak, bukan yang lain. Karena bagi mereka pahala dan ridha Allah lebih besar dari apapun, keselamatan dan kebahagiaannya  di akhirat kelak sangat berarti baginya sehingga ia tidak menginginkan dan menghiraukan balasan di dunia dari orang lain.

Kedua, menginginkan selamat dunia akhirat.

Jika seseorang ingin ikhlas, maka ia harus memiliki tujuan selamat dan bahagia di akhirat. Jika seseorang dapat demikian maka ia akan menyadari bahwa kehidupan yang kekal dan selamanya adalah akhirat. Di dunia ia hanya sementara dan ia meyakini bahwa dunia hanyalah tempat mencari amal untuk akhirat sebagai kehidupan abadi.

Pos Terkait:  Cinta Rabi'ah Al-Adawiyah, Sya'ir dan Konsep Mahabbahnya
Ketiga, merasa di awasi oleh Allah

Jika seseorag menginginkan ikhlas dalam perbuatannya maka ia harus selalu merasa di awasi oleh Allah Swt.  teologi Islam sudah mengajari bahwa Allah maha melihat, maha mengetahui  dan maha mendengar, semuanya akan tampak jelas bagi Allah. Tak sedikitpun yang dapat bersembunyi dari Allah Swt. semua akan terlihat. Selain itu Allah juga mengutus malaikat yang mencatat amal baik dan buruk manusia, sehingga tidak ada satupun amal yang lepas dari catatannya.

Riya’

Pengertian Riya’
Riya berasal dari kata ru’yah secara etimologi memiliki arti penglihatan.  Sedangkan secara terminologi, riya adalah melakukan suatu kebaikan atau ibadah dengan tujuan agar dilihat dan mendapatkan pujian dari manusia. Riya’ adalah perkara yang menjadi perhatian khusus dan menjadi kehawatiran Rasulullah Saw. terhadap umatnya. Rasulullah Saw. bersabda:

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ الرِّيَاءُ

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil, yaitu riya’.” (HR Ahmad).

Dalam Islam, Riya berati mengerjakan perbuatan lantaran mengharap pujian dan sanjungan orang lain, bukan didasarkan keikhlasan. Sifat ini tentu tidak lah elok dan bertentangan dengan doktrin Islam yang mengajarkan keikhlasan. Apalagi jika riya itu terbawa dalam urusan ibadah. Amalan yang dilakukan tidak akan ada nilainya di mata Allah SWT jika dikerjakan atas dasar ingin memperoleh pujian dan sanjungan manusia.

Rasulullah Saw bersabda:

قيل لرسول الله – صلى الله عليه وسلم -: أرأيت الرجل يعمل العمل من الخير، ويَحمَده الناس عليه؟ قال: تلك عاجل بُشرى المؤمن

“Nabi Muhammad SAW pernah ditanya tentang seorang yang beramal karena Allah kemudian manusia memujinya. Rasulullah SAW menjawab: “Itu adalah berita gembira seorang mukmin yang didahulukan.” (HR Muslim)

Ingin terlihat baik, rajin, sempurna, dan saleh di hadapan umum merupakan tabi’at dasar manusia. Tabi’at dasar ini sangat sulit dilepaskan dalam diri manusia. Terlebih lagi, tidak ada manusia di dunia ini yang tidak ingin dipuji oleh orang sekitarnya. Bahkan untuk mendapatkan pujian itu, pencitraan diri sendiri pun dilakukan. Misalnya, pura-pura baik, dermawan, rajin, saleh ketika ada orang, diliput wartawan, atau pemotretan.

Tentang bahaya riya pernah ditegaskan Rasulullah pada hadits Dari Muadz bin Jabal. Nabi Muhammad SAW bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَقُومُ فِي الدُّنْيَا مَقَامَ سُمْعَةٍ وَرِيَاءٍ الا سمع الله بِهِ على رُؤُوس الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Tidaklah seorang hamba didunia ini mengerjakan sumah dan riya melainkan Allah akan membeberkan aib riya dan sum’ahnya dihadapan seluruh manusia pada hari kiamat.”(HR al-Hakim

Riya’ adalah penyakit hati yang selalu menghantui manusia dan menyerangnya kapan saja. Menurut KH. Anwar Zuhdi, Riya itu seperti racun ular berbisa yang bukannya membawa kesehatan malah akan meracuni dan menghancurkan seluruh amal. Uika seseorang tidak meyadari maka ia akan terlena di dalamnya dan nyamannya dengan riya’. Padahal jika seseorang riya’ maka amalnya akan terhapus bahkan bias jadi dosa. Kalau demikian maka ia akan rugi dan amalnya sia-sia tanpa pahala.

Dikutip dari Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn karya Imam al-Ghazali, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib berkata:
“Orang riya’ (pamer) memiliki tiga ciri: malas ketika sendirian, rajin saat di tengah banyak orang, serta amalnya meningkat kala dipuji dan menurun kala dicaci”

Kiat-Kiat Terhindar Dari Riya’

Menurut Izzuddin bin Abdus Salam, ketika riya’ menghantui orang yang mau atau tengah beribadah, ada beberapa hal yang perlu dilakukan supaya amalannya tetap bernilai di mata Tuhan.

Pos Terkait:  Malam Lailatul Qodar, Cara Mendapatkan dan Keutamaannya

pertama, orang yang terbesit riya sebelum mengerjakan amalan dan dia mengerjakan amalan tersebut hanya semata karena riya. Agar selamat, orang semacam ini harus menunda amalannya sampai timbul rasa ikhlas.

Kedua, orang yang timbul di dalam hatinya riya syirik (mengerjakan ibadah karena ingin mengharap pujian manusia serta ridha Allah SWT). Orang seperti ini juga dianjurkan menunda amalan hingga benar-benar ikhlas.

Ketiga, riya yang muncul di saat melakukan aktivitas/amalan. Orang yang dihadang riya di tengah jalan seperti ini, dianjurkan untuk menghalau gangguan itu sambil meneruskan amalannya. Kalau godaaan riya terus hadir, ia tidak perlu menggubrisnya. Insya Allah amalannya diterima karena tetap berpijak pada niatnya semula.

Ketiga kondisi ini seringkali ditemukan ketika beraktivitas, terutama beribadah. Sekalipun niat awal mengerjakan ibadah hanya mengharap ridha Allah SWT, tetapi sering kali rasa ‘ujub dan riya tiba-tiba muncul menghantui perasaan kita.
Orang yang rajin beribadah sekalipun bukan berati dapat terbebas begitu saja dari kondisi ini. Terkadang godaan datang silih berganti untuk menjerumuskan ibadah yang mereka lakukan pada jalan yang salah. Maka dari itu, dibutuhkan kesabaran dan usaha maksimal untuk mengalahkannya.

Jika seseorang ingan amalnya tidak sia-sia maka sebelum beramal sebaiknya menata nianya terlerbih dahulu, karena  niat memegang peranan penting diterima atau tidaknya amal seseorang. Banyak amal perbuatan yang berbentuk amal dunia berubah menjadi amal akhirat karena baiknya niat. Namun sebaliknya banyak amal perbuatan yang berbentuk amal akhirat namun menjadi amal dunia karena salah dan buruknya niat.

Demikianlah penjelasan ikhlas dan riya’ semoga bermanfaat.

Baca juga:

  1. Sejarah Tasawuf di Indonesia
  2. Puasa Dapat Menurunkan Kolesterol