Iqipedia.com – Era 4.0 adalah era digitalisasi pada abad modern yang berimplikasi terhadap masuknya semua informasi dari seluruh penjuru dunia, baik yang baik maupun yang negatif. Hal ini dapat berimplikasi terhadap perubahan budaya-budaya yang sudah baik. Tasawuf di kenal sebagai ajaran islam yang konsen dalam bidang moral, hal ini adalah keniscayaan dalam memfilter tradisi negatif yang masuk akibat tranformasi digital. Pada artikel akan di ulas beberapa ajaran ahwal dalam tasawuf. Ajaran ini mengajarkan bebrapa doktrin-doktrin yang bersifat moral, sehingga ajaran sangat di butuhkan pada era globalisasi ini. Selain itu ajaran tasawuf juga dapat mengantarkan manusia menjadi insan yang kamil, sehingga ia menjadi insan yang mulia di dunia dan akhirat.
Pengertian Ahwal
Ahwal berasal dari bahasa arab yang bentuk jamak dari kata hal, yang artinya sifat dan keadaan jiwa sesuatu.
Ahwal menurut al-Thusi adalah:
ما يحل به القلوب, او تحل به القلوب من صفاء الأذكار وليس الحال من طريق المجاهدات والعبادات والرياضات كالقامات التى ذكرنا وهي مثل المراقبة والقرب والمحب والخوف والرجاء والشوق ولانس والطمأنينة والمشاهد واليقين وغير ذلك
Artinya: “kondisi-kondisi tertentu yang di alami hati seorang karena kesucian hatinya, yang di peroleh tidak dengan jalan maqamat, dengan jalan mujahadah, ibadah, riyadah, ahwal yaitu seperti muraqobah, qorb, mahabah, roja’ khauf, Syauq, musyahadah, yaqin dan sebagainya”.
Di kutip dari jurnal karya Ibn Affan bahwa ahwal adalah rasa yang hadir dalam hati secara otomatis, tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan, dan pemaksaan, seperti rasa gembira, rindu, takut, dan sebagainya. Keadaan tersebut merupakan pemberian langsung dari Allah Swt. sedangkan maqam adalah hasil usaha.
Arsyid dalam artikelnya menjelaskan bahwa ahwal adalah suasana atau keadaan yang menyelimuti kalbu, yang diciptakan (sebagai hak prerogatif) Allah dalam hati mansuia, tanpa sang sufi meminta atau mampu menolak keadaan itu apabila datang dan mempertahankannya apabila pergi. Dari semua definisi tersebut secara subtansi sama, mereka hanya berbeda dalam bahasa penyampaiannya saja.
Macam-Macam Ahwal Dalam Tasawuf
Ahwal dalam tasawuf sangat banyak sekali jumlahnya. Ahwal ini dapat di alami seseorang ketika ia menempuh jalan tasawuf. Menurut Abu Nasr al-Sarraj ahwal meliputi muraqabah, mahabbah, raja’ khauf, shauq, unsi, itmi’nan, mushahadah dan yaqin.
Muraqabah
Menurut Imam al-Qusyairy an-Naisabury secara bahasa muraqabah adalah mengamati tujuan. Sedangkan secara terminologi muraqabah yaitu keyakinan seorang sufi dengan kalbunya bahwasanya Allah SWT”. melakukan pengamatan kepadanya dalam gerak dan diamnya sehingga membuat ia mengamati pekerjaan dan hukumhukum-Nya.
Sedangkan menurut Abu Nashr asSarraj muraqabah adalah pengetahuan dan keyakinan seorang hamba kepada Allah, bahwa Allah SWT selalu Melihat apa yang ada didalam hati dan nuraninya dan Maha Mengetahui. Maka dalam kondisi apapun dia selalu terus-menerus meneliti dan mengkoreksi bersitan-bersitan hati atau pikiran-pikiran tercela yang hanya akan menyibukkan hati sehingga lupa mengingat Allah.
Mahabbah
Sahl bin Abdullah tentang mahabbah mengatakan bahwa mahabbah adalah kecocokan
hati dengan Allah SWT. dan senantiasa cocok dengan-Nya, beserta Nabinya. dengan senantiasa mencintai yang sangat mendalam untuk selalu berdzikir dan mengingat Allah SWT. dan menemukan manisnya bermunajat kepada Allah SWT. Kondisi spiritual mahabbah bagi seorang hamba adalah melihat dengan kedua matanya terhadap nikmat yang Allah berikan kepadanya, dan dengan hati nuraninya dia melihat kedekatan Allah dengannya, segala perlindungan, penjagaan dan perhatian-Nya yang dilimpahkan kepadanya.
Rabiah al Adawiyyah al-Basriyyah dianggap sebagai Sufi pertama yang menyatakan cintanya kepada Allah dan mengemukakan teori komprehensif tentang Cinta Ilahi. Cinta bagi Rabi’ah sukar didefinisikan, karena cinta berisi perasaan kerinduan kepada
yang dicintai.
Rabi’ah telah membuat syair-syairnya yang sangat terkenal dalam kalangan umat Islam. Berikut ini syi’ir Sayyidah Robiah Adawiyah:
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena Diri-Mu
Cinta karena diriku Adalah keadaanku yang senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena Diri-Mu Adalah Keadaan-Mu menyingkapkan tabir hingga
Engkau kulihat
Bagiku, tidak ada puji untuk ini dan itu.
Tapi sekalian puji hanya bagiMu selalu
Raja’ dan Khauf
Raja’ atau harapan adalah memperhatikan kebaikan dan selalu berharap untuk dapat mencapainya, dan melihat berbagai bentuk kelembutan dan kenikmatan dari Allah, dan
memenuhi diri dengan harapan demi masa depan serta hidup demi meraih harapan tersebut.
Raja’ terbagi menjadi tiga tingkatan; pertama, berharap kepada Allah (fillah). Kedua, berharap pahala dari Allah. Ketiga, berharap keluasan rahmat dari Allah.
Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu (1) Takut harapannya itu hilang. (2) Berusaha untuk
mencapainya. (3) Cinta kepada apa yang diharapkannya.
DzunnNun al-Mishry saat menjelang ajalnya dia berkata: “janganlah kalian memperdulikan aku, sebab aku telah terpersona oleh kelembutan Allah SWT. kepada diriku.”
Sedangkan Yahya bin Mu’adz berkata, “wahai Tuhanku, anugerahkanlah untukku yang termanis dalam hati berupa harapan kepada-Mu. Kata-kata paling sedap yang keluar
dari lidahku berupa pujian kepada-Mu. Saat yang kuanggap paling berharga adalah saat aku akan berjumpa dengan-Mu”.
Khauf dalam tasawuf adalah hadirnya perasaan rasa takut ke dalam diri seorang salik (orang yang menuju Tuhan) karena dihantui oleh perasaan dosa dan ancaman yang akan
menimpanya. Seorang yang berada dalam khauf akan merasa lebih takut kepada dirinya sendiri, sebagaimana ketakutannya kepada musuhnya. Saat khauf menghampirinya, dia merasa tentram dan tenang karena kondisi hatinya semakin dekat dengan Allah.
Al-Junaid pernah ditanya mengenai takut ia menjawab, “takut adalahdatangnya deraan dalam setiap hembusan nafas.” Dzun Nuun al-Mishri juga berkomentar tentang
takut, “manusia akan tetap berada di jalan selama takut tidak tercabut dari kalbu, sebab jika telah hilang dari kalbu mereka, maka mereka akan tersesat.” Sedangkan Hatim al-Asham juga menjelaskan, “setiap sesuatu ada perhiasannya dan perhiasan ibadah adalah takut.Tanda takut adalah membatasi keinginan.”
Dengan demikian, khauf adalah kondisi spiritual di mana seorang sufi takut jika Allah tidak meliriknya sehingga mendekat pada-Nya.
Shauq
Menurut al-Qusyairi, syawuq adalah kegoncangan hati untuk menemui yang dicintai. Kerinduan tergantung dalamnya cinta. Dalam lubuk jiwa seorang sufi, rasa ini selalu ada karena ia selalu rindu untuk segera bertemu dengan Tuhan. Syawuq dapat mengantarkan seseorang untuk rajin dalam beribadah kepada Allah Swt. Karena pada saat ibadah seseorang behadapan dengan Tuhannya, seakan-seakan ia melihatnya. Pada saat itu seseorang akan merasakan kenikmatan yang tak terhingga, karena baginya Allah adalah Dzat yang Maha Indah yang tidak dapat di bandingkan keindahan hal-hal selain-Nya.
Unsi
Uns yaitu keadaan spiritual seorang sufi yang merasa intim atau akrab dengan Tuhannya, karena telah merasakan kedekatan denganNya.‘Uns ini di dapat saat qalbu dipenuhi rasa cinta, kelembutan, keindahan, belas kasih, dan ampunan dari Allah. ‘
Uns (bersuka cita) dengan Allah bagi seorang hamba adalah tingkatan paripurna kesuciannya dan kejernihan dzikirnya, sehingga dia merasa cemas, takut dan gelisah dengan segala sesuatu yang melupakannya untuk mengingat Allah.
Maka pada saat itulah ia sangat bersuka cita dengan Allah SWT. Seseorang yang berada pada kondisi spiritual ‘Uns akan merasakan kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan, serta sukacita yang meluap-luap.
Kondisi spiritual seperti ini dialami oleh seorang sufi ketika merasakan kedekatan dengan Allah. Yang mana, hati dan perasaannya diliputi oleh cinta, kelembutan, keindahan, serta kasih sayang yang luar biasa, sehingga sangat sulit untuk dilukiskan.
Dengan demikian ‘Uns adalah kondisi spiritual yang mana seorang sufi merasakan kesukacitaan hati atau kebahagiaan hati karena bisa akrab dengan Tuhannya.
Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta bersih
ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dania dapat berkomunikasi langsung dengan Allah.
Thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan; Pertama, ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba berzikir, mereka merasa tenang karena buah dari berzikir adalah terkabulnya doa-doa. Kedua, ketenangan bagi orang-orang khusus. Mereka di tingkat ini merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan ini dapat di peroleh karena mengetahui rahasia-rahasia Allah sehingga ia tidak ada lagi rasa gelisah dan keraguan terhadap Allah Swt.
Mushahadah
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminologi, tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya
(Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya dan seseorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah, sehingga tersingkap tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dalam situasi seperti itu, seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, di mana seorang sufi seakan-akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta kasih
Yaqin
Secara terminologi yakin adalah yaitu sebuah kepercayaan (Aqidah) yang kuat dan tidak
mudah goyah dengan kebenaran dan pengetahuan yang dimilikinya, karena kesaksiannya dengan segenap jiwanya dan dirasakan oleh seluruh ekspresi tubuhnya, serta disaksikan oleh segenap eksistensinya. Adapun definisi lain dari yakin yaitu selamat dari keraguan dan syubhat, serta penguasaan atas pengetahuan yang akurat, tepat, dan benar, tanpa mengandung keraguan sama sekali.
Sedangkan menurut al-Junaid “yakin merupakan kemantapan ilmu yang tidak dapat
diubah dan tidak pula diganti serta tidak berubah apa yang ada di dalam hati”. Yakin membuat seorang sufi selalu siap mengemban beban dan mengahadapi bahaya serta mendorongnya untuk maju terus ke depan. Jika yakin tidak disertai ilmu, maka dia membawanya kepada kehancuran, sedangkan ilmu menyuruhnya untuk mundur ke
belakang, dan jika ilmu tidak disertai yakin, maka pelakunya tidak mau bergerak dan tidak mau berusaha dan pasif.
Para sufi biasanya membagi yakin dalam tiga bagian: pertama, Ilm al-yaqin: yaitu pencapaian iman dan ketundukan terkuat yang berhubungan dengan hal-hal yang ingin dicapai dengan memperhatikan dalil-dalil dan petunjuk yang jelas dan benar. Kedua, ‘Ain al-yaqin: yaitu pencapaian makrifat melampaui batasan definisi yang dilakukan oleh ruh melalui penyingkapan,musyahadah, persepsi dan k esadaran. Ketiga, Haqq al-yaqin: yaitu anugerah yang berupa bersamaan (ma’iyyah) yang mengandung banyak rahasia, tanpa tirai dan penghalang, yang melampaui imajinasi manusia serta tanpa kammiyyah ataupun kaifiyyah. Sebagian sufi menafsirkan yang satu ini sebagai fana’ sang hamba pada seluruh jati diri, ego, diri, dan kebersamaannya kepada Allah al-Haqq.
Itulah sekilas penjelasan tentaang Kajian Tasawuf Ahwal
Semoga bermanfaat
https://abd.muqit.iqipedia.com/materi-kuliah-akhlak-tasawuf/