muhkam dan mutasyabih
muhkam dan mutasyabih

Muhkam dan Mutasyabih, Pengertian, Ciri-Ciri, Macam-Macamnya

Posted on

Muhkam dan Mutasyabih

LSQT –  Tulisan ini akan mengulas tentang teori ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Sederhananya muhkam adalah ayat yang jelas maksud dan penafsirannya, bahasa lainya muhkam adalah ayat yang di tafsirkan oleh Ahli tafsir. Sedangkan mutasyabih adalah ayat tidak mampu di jelaskan oleh para ahli tafsir karena sulit di pahami maksudnya. Teori ini sudah masuk topik utama dalam ulumul Quran, di mana ketika anda memegang buku ulumul Quran atau studi al-Quran atau kaidah tafsir, pasti anda akan di sajikan teori-teori ini. Teori ini berawal dari ayat al-Quran di bawah ini:

  هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

”Dialah yang menurunkan kitab (al-Quran) kepada engkau, di antaranya tedapat ayat-ayat muhkam, itu adalah pokok-pokok al-Quran. Sebagaian yang lain terdapat ayat-ayat mutasyabih. Orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyimpangan, mereka akan mengikuti ayat-ayat mutasyabih, dengan tujuan menacari fitnah dan ta’wil, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah Swt. Sedangkan orang yang mendalam ilmunya, mereka mengatakan “kami beriman dengannya, semuanya dari sisi Tuhan kami. Tidak akan emgambil pelajaran kecuali orang-orang berakal” (QS. Ali Imran: 7)

Ayat ini menjelaskan bahwa al-Quran terdapat ayat yang muhkam, ayat jelas kandungan hokum dan maksudnya dan mutasyabih, ayat tidak di ketahui tafsirannya dan maksudnya kecuali Allah. Dari sinilah muncul persoalan, bagaimana yang di maksud dengan ayat-ayat muhkam dan mutasyabih? Apa saja yang termasuk ayat-ayat muhkam dan mutasyabih? Bolehkan menta’wil ayat-ayat mutasyabih serta bagaimana metodenya?. Tulisan ini akan mengulasnya dari berbagai persepektif ulama’ dan ahl tafsir.

Pengertian Muhkam dan Mutasyabih

Pada sub bab ini penulis mencoba mengurai definisinya sesuai yang di uraikan para ulama’, namun definisi muhkam dan mutasyabih ini masih minim dari penjelasan yang memahamkan, jika belum memahami maka anda harus melanjutkan kepada sub berikutnya, agar lebih paham.

Muhkam secara bahasa berasal dari kata ihkam yang berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan dan pencegahan. Sedangkan kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal.

Sedangkan secara istilah, munurut Subhi al-Shalih Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya, lafadhnya serta susunan lafadhnya jelas dan mudah di pahami. Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang bersifat mujmal (global), muawwal (perlu di ta’wil), dan musykil (sulit di pahami).

Menurut Imam Syuyuthi dalam kitabnya al-Itqan fi Ulumil Quran,  muhkam adalah ayat yang tidak membutuhkan  bayan (penjelasan) sedangkan mutsyabih adalah ayat yang membutuhkan bayan (penjelasan).

Manna’ Khalil al-Qattan lebih detail menjelaskan tentang  muhkam dan mutasyabih, menurutnya:

  1. Muhkam adalah ayat-ayat yang mudah di pahami maksudnya, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya;
  2. Muhkam adalah ayat yang mengandung satu wajah saja, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung banyak wajah;
  3. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat di ketahui secara langsung tanpa membutuhkan bayan (penjelas), sedangkan mutasyabih adalah ayat yang membutuhkan bayan (penjelas).
Pos Terkait:  Maslahah : Pengertian, Syarat, Macam-Macam, Dharuriyah, Hajiyah, Tahsiniyah

Dari semua definisi di atas dapat di simpulkan, muhkan adalah ayat memiliki arti satu wajah, mudah di pahami maksudnya tanpa bayan (penjelasan) sedangkan ayat mutasyabih adalah ayat yang maknanya mengandung banyak wajah, sulit di pahami serta ayat yang membutuhkan bayan (penjelas).

Contoh ayat yang muhkam yaitu seperti ayat yang menjelaskan tentang perkara yang halal dan yang haram, misalnya:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275)

Ayat ini termasuk ayat-ayat yang bersifat muhkam, dalam arti, ayat ini secara jelas menjelaskan bahwa jual-beli adalah perkara yang di halalkan oleh Allah dan  riba adalah perkara yang di haramkan Allah Swt. Halalnnya jual-beli dan haramnya riba yang di jelaskan ayat ini tanpa butuh penjelasan ayat lain, tanpa butuh penafsiran dari ulama’ dan juga tidak membutuhkan ta’wil. Kejelasan hukum halalnya jual-beli dan haramnya riba inilah yang di sebut muhkam.

Contoh ayat mutasyabih yaitu seperti  ayat yang menjelaskan tentang sifatnya Allah Swt., misalnya:

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

“Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (Allah)” (QS. Al-Qashas: 88)

Ayat ini menjelaskan segala sesuatu akan binasa kecuali wajah Allah. Kata wajhuhu yang berarti wajah Allah dalam ayat di atas tidak ada kejelasan maknanya,  jika wajhuhu dimaknai secara tekstual, wajah Allah maka akan bertentangan dengan ayat lain (Laysa kamitslihi syayun) dan sifat wajib Allah mukhalafatuhu lil hawadits (Allah berbeda dengan makhluk). Dari sini  ulama’ berbeda pendapat: 1) ulama’ asy’aryah menafsirkan makna wajhuhu dengan dzat Allah; 2) ulama’ salaf memilih untuk diam, dan menyerahkan maksud dari ayat tersebut kepada Allah. Karena ketidak jelasannya makna wajhuhu maka di sebut ayat mutasyabih.

Ciri-Ciri Muhkam dan Mutasyabih

Ayat-ayat muhkam dan mutasyabih yang di dasarkan kepada surah Ali Imran ayat ke tujuh ini menimbulkan kesulitan untuk menentukkan ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih. Dari sini pula muncul perbedaan ulama’ dalam menentukan ayat-ayat muham dan ayat-ayat mutasyabih. Berikut ini penulis ulas penjelasan ulama’ tersebut:

  1. Muhkam adalah ayat yang di ketahui maksudnya walaupun dengan ta’wil. Mutasyabih adalah ayat yang hanya Allah mengetahui maksudnya seperti hari terjadinya hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf muqatto’ah dalam permulaan surah-surah al-Quran.
  2. Muhkam adalah ayat yang tidak membutuhkan ta’wil sedangakan mutasyabih adalah ayat yang membutuhkan ta’wil.
  3. Menurut Mawardi, muhkam adalah ayat yang dapat di pahami maknanya dengan akal sedangkan mutasyabih adalah kebalikannya, misalnya seprti bilangan shalat dan penentuan puasa bulan ramadhan.
  4. Muhkam adalah ayat yang dapat di paham dengan sendirinya tanpa bantuan penjelasan ayat lain, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang membutuhkan penjelasan ayat lain.
  5. Muhkam adalah ayat yang lafadhnya tidak di ulang-ulang, sedangkan mutasyabih kebalikannya.
  6. Muhkam adalah ayat-ayat yang menjelaskan kewajiban (fardu), ancaman dann janji. Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat qishash (kisah-kisah) dan amtsalul Quran.
  7. Dari Abi Hatim dari Ali bin Abi Talhah dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas mengatakan ayat-ayat muhkam adalah: 1) ayat-ayat yang  menaskh ayat-ayat lain; 2) ayat-ayat yang  menjelaskan halal dan haram; 3) ayat-ayat tentang had (hukuman); 4) ayat-ayat yang mengandung kewajiban-kewajiban; 5) ayat-ayat yang menjelaskan perkara yang diimani dan diamalkan. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang di naskh, ayat yang menjelaskan masa dahulu, masa kemudian dan perkara yang di imani dan di amalkan.
  8. M. Hasbi As-Shiddieqi bahwa al Quran semuanya muhkamah, jika dimaksudkan dengan kemuhkamannya, dilihat dari komposisi lafadnya dan nilai estetika urutannya yang sungguh sangat sempurna. Ia juga mengatakan bahwa seluruh al-Quran mutasyabih, jika dikehendaki kemutasyabihannya yaitu keserupaan ayat-ayatnya atau perbandingan ayat-ayatnya baik dari aspek balaghohnya maupun i’jaznya.
Pos Terkait:  Prinsip-Prinsip Metodologi Tafsir Kontekstual
Macam-Macam Muhkam dan Mutasyabih

Yusuf al-Qaradawi menjelaskan bahwa persoalan ayat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu: 1) muhkam secara mutlak; 2) mutasyabih secara mutlak; 3) muhkam dalam satu segi dan mutasyabih dari segi yang lain.

Adapun mutasyabih menurut al-Ragib dikategorikan menjadi tiga, yaitu:

  1. Mutasyabih dari segi lafadhnya. Dalam hal ini mutasyabih lafal dibagi menjadi dua yaitu, pertama lafal yang merujuk pada lafal yang jauh atau istirak. Kedua, lafal yang merujuk pada jumlah kalam murakab (majemuk).
  2. Mutasyabihdari segi makna. Mutasyabih ini terkait dengan sifat-sifat Allah, sifat-sifat hari kiamat dan berbagai sifat yang tidak tergambarkan oleh indera kita.
  3. Mutasyabih dari segi lafadh dan makna.  Kategori ini dapat dibagi menjadi lima yaitu: pertama, segi kamiyah seperti ayat ‘am dan khas; kedua, dari segi kaifiyah seperti wajib dan sunah; ketiga, dari segi zaman seperti nasikh dan mansukh; keempat dari segi tempat seperti perkara yang berhubungan dengan ibadah jahiliyah dan yang telah ada di Arab; kelima, dari segi syarat yaitu sesuatu yang menjadikan perbuatan itu baik atau cacat.
Pendapat Ulama’ Tentang Menta’wil ayat-ayat Mutasyabih

Permasalahan ayat-ayat mutasyabih tidak berhenti dalam menetukan ayat-ayat mutasyabih, permasalahan terus berlanjut dalam menta’wil ayat-ayat mutasyabih. Dalam hal ini terbagi menjadi dua golongan:

Pertama, ulama’ yang memperbolehkan menta’wi ayat-ayat mutasyabih. Pendapat ini di keluarkan oleh Mujahid dari Ibnu Abbas. Pendapat di dasarkan pada ayat:

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ

Menurutnya yang memiliki kapasitas untuk menta’wil tidak hanya Allah, tetapi juga ulama’ yang memiliki ilmu yang mendalam. Karena dalam pandangan golongan ini wawu pada ar-Rasikhun, adalah wawu ‘atof, bukan wawu isti’naf seperti yang di ungkapkan pendapat kedua. Pendapat ini juga di utarakan oleh Abi Hatim dari Dahak, menurutnya orang yang ilmunya mendalam mengetahui ta’wilnya, kalau orang yang ilmunya mendalam tidak mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyabih maka mereka tidak akan mengetahui ayat naskh mansukh, halal haram, dan ayat muhkam mutasyabih. Lalu Imam Nawawi juga mengambil pendapat ini, menurutnya pendapat ini adalah pendapat yang paling shahih, karena tidak mungkin Allah memberi khitab kepada hambanya jika tidak ada dari makhluknya yang mampu mengetahuinya.

Kedua ulama’ yang tidak memperbolehkan menta’wil ayat mutasyabih. Menurut Ibnu Hajib pendapat ini adalah pendapat kebanyakan para sahabat yang di ikuti oleh kebanyakan tabi’in dan ulma’-ulama’ berikutnya khususnya ulama’ ahli sunnah. Menurutnya penadapat ini adalah riwayat Ibn Abbas yang paling shahih. Pendapat ini juga di dasarkan kepada ayat:

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا

Menurut golongan ini ayat ini waqaf pada إِلَّا اللَّهُ, sehingga memiliki arti: yang mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyabih hanyalah Allah dan orang yang mendalam ilmunya akan berkata kami beriman semua itu dari sisi Tuhan kami. Selain itu golongan ini mengemukakan beberapa dalil untuk mendukung legitimasi pendapatnya, misalnya hadis Sayyidah ‘Aisyah RA.

Pos Terkait:  Pengertian Dilalah, Macam-Macamnya: Dilalah Muthabaqah, Tadhamun, Iqtidha, Isyarah, Ima’

عن عائشة قالت تلا رسول الله هَذِهِ الْآيَةَ: {هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ} إلى قوله: {أُولُوا الأَلْبَابِ} قالت: قال: رسول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرْهُمْ.

“Diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah Ra, Raslullah membaca ayat ini, هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ, Lalu ‘Aisyah berkata, Rasulullah Saw bersabda, ketika engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih, mereka itulah yang disinyalir Allah.  Maka waspadalah terhadap mereka” (HR. Bukhari Muslim).

Mengenai ayat mutasyabih yang menerangkan sifat-sifat Allah terdapat dua pendapat dalam permasalahan ini, yaitu:

Pertama, tidak diperbolehkan menta’wil ayat-ayat mutasyabih.  Pendapat ini di keluarkan oleh kelompok salaf.  Dalam pandangan mereka, ayat-ayat mutasyabih tidak di ta’wil, ayat-ayat ini harus  diterima dan dipercayai begitu saja secara apriori, serta menyerahkan saja maksud kandungan ayat tersebut kepada Allah. Salah satu contohnya Imam Malik, ketika Imam malik ditanya oleh seseorang mengenai lafadh استوى dalam ayat استوى على العرش. Kemudian Imam Malik menjawab: “persoalan bahwa Allah jelas, tapi mengenai bagaimana caranya tidak diketahui, dan pertanyaan mengenai hal tersebut merupakan bid’ah. Saya mengira kamu seorang yang jahat, usir dia dari majlisku”. Menurut Baidan, bahwa pendapat Imam Malik pada hakikatnya melanjutkan tradisi pemikirian  yang dianut oleh para sahabat dan tabi’in.

Kedua, memperbolehkan menta’wil ayat-ayat mutasyabih. Kelompok ini di sebut ulama’ khalaf.  Pendapat yang memperbolehkan ta’wil ini terbagi menjadi dua, yaitu:

  1. Memperbolehkan menta’wil ayat-ayat mutasyabih sesuai dengan sifat-sifat Allah yang di terima tampa di ketahui maksudnya, pendapat ini di kemukakan oleh Abu Hasan al-A’syari.
  2. Memperbolehkan menta’wil ayat-ayat mutasyabih dengan makna  atau sifat-sifat Allah yang di keyahui oleh manusia. Pendapat ini di kemukakan oleh Imam al-Haramain.

Dalam permasalahan ayat mutsyabih dalam fawatih  as-Suwar, (ayat-ayat pembuka surat, misalnya يس طه  الم ),  ulama’ berbeda pendapat dalam menyikapinya, sebagai berikut:

  • Zamaksyari dalam tafsirnya al-Qasysyaf menjelaskan, bahwa huruf-huruf itu maknanya ada tiga yaitu merupakan nama surat, sumpah Allah dan agar menarik perhatian orang yang mendengarkannya.
  • Al-Quwaibi mengatakan bahwasanya kalimat itu merupakan tanbih bagi Nabi. Maksudnya ketika Nabi dalam kondisi sibuk, Allah mengutus Jibril untuk memberikan perhatian terhadap apa yang disampaikan kepadanya.
  • Rasyid Ridha membantah pendapat al-Quwaibi, menurutnya Nabi senantiasa dalam keadaan sadar dan senantiasa menanti kedatangan wahyu.
  • Ulama Salaf berpandangan bahwa fawatih as-Suwar atau huruf al muqotto’ah telah tersusun sejak zaman azali.
  • Imam Suyuti mengutip pendapat Ibnu Abbas. Ibnu Abbas mengatakan berikut:
الم Di tafsirkan انا الله اعلم

Kami Allah lebih mengetahui

المص Di tafsirkan انا الله اعلم وافصل

Kami Allah lebih mengetahui dan memisah

الر Di tafsirkan انا الله ارى

Kami Allah lebih melihat

Demikian penjelasan muhkam mutasyabih, semoga dapat bermanfaat. Terimakasih.

Baca juga: Corak Tafsir Al-Quran Dari Klasik Hingga Kontemporer

Penulis: Abd. Muqit, Artikel Jurnal Klik disini.