A. Sejarah Masuknya Tasawuf di Indonesia
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia terkait erat dengan tasawuf. Peranan para sufi dalam dakwah Islam di Indonesia telah menyita secara kumulaatif menegaskan signifikansi peranan tersebut. Bukti paling sederhana dari signifikansi ini adalah kenyataan bahwa hampir semua ulama terkemuka periode awal Islam di Indonesia – Hamzah Fansuri, Syams al-Din al-Sumatrani, Nuruddin al- Raniri, ‘Abd al-Ra’-f al- Sinkili, Muhammad Yusuf aal- Maqassari, dan lain-lain adalah para sufi. Konsekuensinya, tasawuf menjadi salah satu tradisi intelektuaal yang berkembang pesat di Indonesia sejak masa awal. Masih pada penghujung abad ke-16 dan paroh pertama abad ke-17, Hamzah Fansuri (w. sekitar 1590) dan Al-Sumatrani (w. 1630) telah mengembangkan pemikiran tasawuf falsafi berkembang terus dan membentuk tarekat-tarekat yang memungkinkannya berperan lebih mengakar, massal dan terorganisasi.
Pada periode yang paling awal upaya semacam ini terutama ditempuh oleh mereka yang kemudian dikenal sebagai para zuhdah. Serangkaian pemikiran kemudian tumbuh diseputar kecenderungan ini. Yang paling relevan dalam pembahasan saat ini adalah pemunculan tarekat. Tarekat bisa dianut dan diamalkan secara individual, dan inilah yang nampaknya terjadi pada masa-masa awal hingga kira-kira abad ke-5/11. Tetapi dengan bertambahnya jumlah orang yang mengikuti metode (tarekat) tertentu, maka secara perlahaan terjadilah transformasi tarekat dari sekedar metode menjadi organisasi, sepanjang abad ke-6/12 dan sesudahnya. Trimingham menyimpulkan evolusi tarekat hingga menjadi organisasi, dengan membaginya ke dalam tiga tahapan :
Tahapan pertama, ketika tasawuf masih sangat sederhana. Para guru dan murid hidup sebagaimana orang biasa dengan beberapa aturan yang juga sederhana, hingga kemudian munculnya fenomena pemondokan sufi yang disebut dengan khanqah.
Tahapan kedua, adalah ketika pengajaran yang berkesinambungan sudah membentuk ilsilah tariqah”, Ajaran dan metode-metode kolektif yang mulai ditransmisikan secara teratur membentuk tarekat yang terorganisasi dengan tradisi yang mulai membaku. Tahap kedua ini berlangsung sekitar abad ke6/12 hingga penghujung abad ke-8/14.
Tahapan ketiga, sejak abad ke-9/15 adalah ketika tasawuf yang terorganisasi menjadi gerakan massal membentuk aliran-aliran dan sub-sub kelompok (ta’ifah).
Dalam konteks perkembangan tarekat sebagaimana disebut di atas, Islam mengalami penyebaran besar-besaran di Indonesia setelah tarekat mencapai fase ketiga dari perkembangnnya. Akhir abad ke-16 hingga paroh pertama abad ke-17 biasanya dianggap sebagai era yang sangat penting dalam pembentukan tradisi tasawuf di Indonesia. Dua tokoh utama, Hamzah Fans-ri (w + 1590) dan muridnya. Syams al-Din al- Sumatrani (w. 1630) merupakan tokoh dominan era ini. Hamzah Fansuri biasa dianggap sebagai pelopor sastra sufi Melayu, sebab sebelumnya dunia Melayu tidak mengenal karya-karya sufi yang bisa disebut sebagai karya Melayu asli.
Puisi-puisi mistis karya Hamzah Fans-ri indikatif terhadap afiliasinya kepada sebuah tarekat. Tetapi kelihatannya hal ini tidak didukung oleh bukti langsung, sehingga tidak mungkin menghasilkan kesimpulan final.
Bahkan Bruinessen, seorang otoritas kajian tasawuf di Indonesia, tetap tidak konklusif tentang hal ini. Sementara ia memastikan penyebaran ilmu (ajaran ?) ‘Abd al- Qadir al-Jilani ke Indonesia dan sempat menempatkan Hamzah Fansuri sebagai “orang Indonesia pertama yang kita ketahui secara pasti menganut tarekat Qadiriyah,” Bruinessen juga bertanya : “Apa sebetulnya ‘ilmu Abdul Qadir Jilani’ yang diajarkan di Aceh dan Jawa ? Apakah kita boleh mengidentikkannya dengan tarekat Qadiriyah, ataukah ilmu yang dimaksudkan hanya sejenis ilmu kekebalan? Pertanyaan itu sendiri kelihatannya tidak dijawab dengan pasti, dan dengan demikian menimbulkan keraguaan kita terhadap ungkapannya yang pertama.
Ajaran tasawuf yang paling menonjol dari Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumatrani berporos pada pemikiran wahdatul wujud yang kemudian dielaborasi dalam konsepsi martabat tujuh yang ekspressi finalnya dapat dilihat dalam Kitab al-Harakat karya al-Sumatrani. Dari sudut pemikiran, martabat tujuh agaknya bersumber dari kitab Tuhfat al-Mursalah ila Ruh An-Nabi yang merupakan karya Muhammad Fadhlullah al-Burhanpuri dari India. Al-Burhanpuri sendiri bisa disebut sekedar menyederhanakan ajaran al- insan al-kamil dari sufi ‘Abd al- Karim Al-Jili (w. 1408), yang pada gilirannya adalah merupakan penafsiran atas pemikiran-pemikiran Muhy al-din Ibn ‘Arabi (w. 1240).
Meskipun ajaran martabat tujuh tidak diperkenalkan sebagai tarekat tingkatan-tingkatan tersebut bisa melahirkan kesan yang mirip dengan tahapan-tahapan yang umum terdapat pada tarekat. Hal yang sama juga benar tentang karya Syams al- Din al-Sumatrani yang lain yaitu Tanbih al-Tullab li Ma’rifat Malik al-Wahhab yang antara lain berisi petunjuk pelaksanaan zikir. Di sini diperkenalkan berbagai jenis dan tingkatan zikir dalam format yang tidak jauh berbeda dengan apa yang terdapat dalam tarekat-tarekat.
Sementara Al-Burhanpuri diketahui sebagai penganut tarekat Syattariyah, karya-karya Syams al- Din al-Sumatrani tidak memberi petunjuk apakah ia menganut tarekat ini, atau tarekat yang lainnya. Tetapi menarik untuk dicatat Syattariyah menjadi sangat populer di kalangan orang Indonesia yang kembali dari Arabia, tidak lama setelah wafatnya Syams al-Din al-Sumatrani. Tanpa adanya petunjuk tentang hubungan antara Syams al-Din al-S-maatrani dengan tarekat, maka alur argumentasi ini tidak mungkin diselesaikan, paling tidak untuk sementara. Yang bisa dinyatakan adalah bahwa tarekat Syattariyah menjadi populer, meskipun tidak diketahui pasti hubungannya dengan Syams al-Din al-Sumatrani.
Fenomena lain yang menonjol dalam perbincangan tarekat di Indonesia adalah adanya reaksi negatif terhadap ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani. Reaksi ini dipersonifikasikan oleh Nuruddin al- Raniri (w. 1666) yang menjadi sangat populer terutama karena kontroversinya dengan murid-murid Syamsuddin al-Sumatrani. Nur al- Din al-Raniri menuduh mereka sebagai penganut panteisme yang sesat. Begitupun, analisis terhadap ajaran-ajarannya menunjukkan bahwa Nur al-Din al-Raniri menganut faham wahdat al-wujud dalam versi yang lebih moderat.Ia menganut tarekat Rifa’iyah melalui silsilah dari Gujarat, kampung halamannya.
Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya dengan Nur al- Din al-Raniri, tetapi tarekat ini masih meluas di Aceh hingga abad ke-19. Tidak tertutup kemungkinan (malah kemungkinannya lebih besar) bahwa keberadaan tarekat ini adalah hasil penyebaran pada masa sesudah Nur al-Din al-Raniri. Dari aspek jalur transmisi, hingga Nur al-Din al- Raniri, tarekat masuk ke Indonesia dari Timur Tengah via India. Para era selanjutnya, jalur transmisi yang dominan adalah para ulama Jawi yang ada di Hijaz.
Salah satu hal yang menarik dari fenomena penyebaran tarekat ke Indonesia adalah bahwa kebanyakan penyebar awal yang langsung diinisiasi di Hijaz atau tempat lain tidak hanya menganut satu tarekat, tetapi beberapa tarekat sekaligus, kemudian memilih salah satu tarekat yang terutama disebarluaskan di Indonesia. Lalu, dalam perkembangan selanjutnya kecenderungan yang lebih dominan adalah penganutan satu tarekat secara terbatas. Trend ini tampaknya memberikan sumbangan besar bagi berkurangnya sifat individualisme tarekat sebagai doktrin dan metode, serta terhadap proses transformasi tarekat menjadi organisasi. dan dengan terbentuknya organisasi- organisasi tarekat, maka tasawuf mendapatkan ekspressi bagi dimensi sosialnya, dan mengubahnya menjadi sebuah gerakan berbasis massal.
B. Perkembangan Tasawuf di Indonesia
Wacana tasawuf khususnya tasawuf falsafi di Nusantara dimotori oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, dua tokoh sufi yang datang dari pulau Andalas (Sumatera) pada abad ke 17 M. Sekalipun pada abad ke 15 sebelumnya telah terjadi peristiwa tragis berupa eksekusi mati terhadap Syekh Siti Jenar atas fatwa dari Wali Songo, karena ajarannya dipandang menganut doktrin sufistik yang bersifat bid’ah berupa pengakuan akan kesatuan wujud manusia dengan wujud Tuhan, Zat Yang Maha Mutlak.
Menurut Alwi Shihab, kehadiran Syekh Siti Jenar dengan ajaran dan syahahat-nya yang dipandang sesat, dapat dijadikan sebagai tahap pertama perkembangan tasawuf falsafi di Indonesia. Alwi menamakannya sebagai tahap perkenalan. Pembunuhan terhadap Syekh Siti Jenar agaknya telah meredupkan cahaya perkembangan tasawuf falsafi di Indonesia dalam waktu yang lama, sampai kemudian munculnya Hamzah dan Syamsuddin di Sumatera.
Hamzah Fansuri adalah keturunan Melayu yang dilahirkan di Fansur -nama lain dari Barus-. Para peneliti tidak menemukan bukti yang valid kapan sebenarnya Hamzah lahir. Dia diperkirakan hidup pada akhir abad ke 16 dan awal abad ke 17, yakni pada masa sebelum dan selama pemerintahan Sultan ‘Ala al- Din Ri’ayat Syah (berkuasa 977- 1011H/1589-1602M). Hamzah diperkirakan meninggal sebelum tahun 1016H/1607M. Hamzah memulai pendidikannya di Barus, kota kelahirannya yang pada waktu itu menjadi pusat perdagangan, karena saat itu Aceh berada dalam kemajuan di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Tsani.
Kualitas pendidikan yang cukup baik di Aceh menjadikan Hamzah dapat mempelajari ilmu- ilmu agama seperti ; fiqh, tauhid, akhlak, tasawuf, dan juga ilmu umum seperti ; kesustraan, sejarah dan logika. Selesai mengikuti pendidikan di tanah kelahirannya, Hamzah kemudian melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah, khususnya Persia dan Arab. Sehingga dia dapat menguasai bahasa Arab dan Persia, mungkin juga bahasa Urdu. Dalam hal tasawuf falsafi diperkirakan Hamzah mempelajari dari Iraqi, murid Sadr al-Din al-Qunawi, murid kesayangan Ibnu Arabi.
Sekembalinya dari perantauan menuntut ilmu, Hamzah mengajarkan agama di Aceh melalui lembaga pendidikan “Dayah” (pesantren) di Oboh Simpang-Kanan, yang merupakan cabang dari Dayah Simpang-Kiri yang diasuh oleh kakaknya Syekh Ali Fansuri, ayah dari Abdr Rauf al-Sinkli. Hamzah ternyata tidak hanya beraktifitas sebagai guru, namun juga rajin menulis. Tetapi sangat disayangkan karya-karya Hamzah tersebut tidak lagi ditemukan karena telah dimusnahkan oleh ‘lawan-lawannya’ yang menentang paham wujudiyah yang dikembangkan oleh Hamzah.
Pemikiran Hamzah tentang ajaran wujudiyah terdapat dalam karyanya Zinat al-Wahidin, yang terdiri dari tujuh bab. Dalam karyanya tersebut Hamzah menjelaskan bahwa penampakan Tuhan tidak terjadi begitu saja atau secara langsung, tapi melalui tahap tertentu, sehingga keesaan dan kemurnian Tuhan tidak tercampuri dengan makhluk. Ajaran wujudiyah Hamzah ini kemudian dikembangkan oleh muridnya Syamsuddin Sumatrani. Kebanyakan peneliti berpendapat, hubungan mereka adalah guru- murid.
Abdul Azis juga membenarkan pendapat A. Hasymy bahwa hubungan Hamzah dengan Syamsuddin sebagai murid dan khalifah, karena menurutnya telah dijumpai dua karya Syamsuddin yang merupakan ulasan atau syarah terhadap pengajaran Hamzah yaitu : Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
Terdapat banyak informasi tentang potret pribadi syeikh di antaranya : Hikayat Aceh, Adat Aceh, Bustan al-Salathin dan informasi dari pengembara dan peneliti asing. Dari informasi tersebut dijelaskan bahwa Syamsuddin lahir kira-kira 1589 dan wafat 24 Februari 1630 berdasarkan informasi Deny Lombard.
Syaikh banyak melahirkan karya bermutu seperti : Jawhar al-Haqaiq, Risalah Tubayyin Mulahazah, Nur al- Daqaiq, Thariq al-Shalikin, I’raj al- Iman dan karya lainnya. Syamsuddin menguasai beberapa bahasa, tapi karya-karyanya kebanyakan ditulis dalam bahasa Melayu dan Arab.
Pengajaran Syamsuddin tentang Tuhan dengan corak paham wujudiyyah dikenal juga dengan pengajaran tentang “martabat tujuh”, yaitu tentang satu wujud dengan tujuh martabatnya. Pengajarannya tentang ini agaknya sama dengan yang diajarkan al-Burhanpuri, yang diduga kuat sebagai orang pertama yang membagi martabat wujud itu kepada tujuh kategori.
Ketujuh martabat tersebut adalah : martabat ahadiyyah, martabat wahdah, martabat wahidiyyah, martabat alam arwah, martabat alam mitsal, martabat alam ajsam dan martabat alam insan. Paham martabat tujuh inilah yang membedakan antara Syamsuddin Sumatrani dengan gurunya Hamzah Fansuri, yang mana dalam ajaran Hamzah tidak ditemukan pengajaran ini.
Tetapi keduanya sangat menekankan pemahaman tauhid yang murni, bahwa Tuhan tidak boleh disamakan atau dicampurkan dengan unsur alam, dikenal dalam pengajaran Hamzah Fansuri la ta’ayyun. Sedangkan dalam pengajaran Syamsuddin dikenal dengan aniyat Allah, yang merupakan kejelasan dari ajaran al-Burhanpuri untuk tidak mencampur adukkan martabat ketuhanan dengan martabat kemakhlukan.
Kedua tokoh dengan ajaran yang saling melengkapi ini bagaimanapun juga telah mengajarkan dan secara sempurna tentang tasawuf falsafi yang kemudian diikuti oleh banyak pengikutnya di Nusantara dan Indonesia.
Tasawuf akhlaki adalah aplikasi tasawuf dalam akhlak mukmin yang terpancar dari bathinnya sehingga berpengaruh kepada seluruh tingkah lakunya. Tasawuf akhlaki menuntut keikhlasan yang murni semata-mata karena Allah. Sikap jiwa dididik agar
memandang segala sesuatunya karena Allah dan akan kembali kepada Allah. Memandang sesuatu karena Allah akan timbul kecintaan yang mendalam kepada-Nya. Cinta kepada Ilahi yang mendalam juga dimanifestasikan dalam cinta kepada makhluk-Nya, baik kepada sesama manusia maupun alam semesta. Atas dasar cinta itulah terjadi komunikasi yang harmonis antara Allah, manusia dan alam semesta. Inilah kawasan tasawuf akhlaki dalam kehidupan Muslim. Tasawuf akhlaki memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan sunah dan menjauhi penyimpangan- penyimpangan yang menuju kepada kesesatan dan kekafiran. Tasawuf tipe ini disebut “Tasawuf Suni” (al- tashawwuf al-Sunni).
Bila tasawuf sunni (akhlaki) memperoleh bentuk yang final di tangan Imam Al-Gazali, maka tasawuf falsafi mencapai ‘puncak’ kesempurnaan dalam pengajaran Ibn Arabi, seorang sufi yang juga datang dari Andalusia. Pengetahuan Ibnu Arabi yang amat kaya dalam bidang keislaman dan lapangan filsafat, membuatnya mampu menghasilkan karya yang demikian banyak, di antaranya al-Futuhad al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam. Boleh dikatakan hampir semua pengajaran, praktek dan ide-ide yang berkembang di kalangan sufi pada masa itu mampu diliput dan kemudian diberinya penjelasan yang amat memadai.
Dibanding dengan tasawuf sunni, tasawuf falsafi lebih kaya dengan ide-ide dan pikiran-pikiran tentang Tuhan dan alam metafisik. Ide-ide yang oleh para sufinya dipandang tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah, termasuk dalam hal ini ungkapan syahadat-nya.
Sementara tasawuf sunni tidak mementingkan ide-ide dan pikiran spekulatif dalam tataran falsafah. Para sufi sunni sudah merasa cukup dengan pemahaman akidah pokok yang diajarkan dalam ilmu tauhid. Persoalan qadim-nya alam, kehidupan akhirat yang bersifat ruhani tidak terdapat dalam kajian tasawuf sunni, karena dipandang tidak benar, menyalahi apa yang diajarkan para mutakallimin.
C. Kontribusi Tasawuf di Indonesia
1. Kontribusi dalam Perjuangan di Indonesia
Ketika tasawuf telah melembaga menjadi organisasi tarekat, akhinya tarekat memiliki pertambahan jumlah penganut yang sangat cepat, meskipun ini hampir selalu berarti penganut awam. Bagi tarekat sebagai sebuah organisasi pertambahan ini tentulah merupakan hal yang positif dalam artian semakin membesarnya organisasi. Untuk kasus Indonesia, meskipun sebagai sebuah lembaga dan metode tarekat sudah mulai menyebar sejak abad ke- 16, tarekat sebagai organisasi baru mulai kelihatan pada penghujung abad ke-18 dan menjadi fenomena pada abad berikutnya.
Dengan menjadi organisasi, maka tarekat memiliki jaringan yang bisa sangat luas, sesuai dengan tingkat penyebaran tarekat dimaksud. Sebagai sebuah organisasi tarekat juga mengembangkan kecenderungan untuk secara sengaja mengirim perwakilan (khalifah, badal) ke daerah-daerah tertentu.
Di sisi lain, dengan semakin banyaknya penganut awam dalam tarekat (dan ini adalah konsekwensi logis dari pertumbuhannya sebagai organsiasi), maka tumbuh pulalah kecenderungan ‘kepengikutan’ total kepada para pemimpin tarekat. Dan ini, meskipun mungkin sering dianggap sebagai kemandegan pengembangan konseptual, tetapi justru mendukung kemudahan mobilisasi massal pada saat yang dibutuhkan.
Tarekat dalam artian organisasi seperti inilah yang kemudian ‘berperan’ aktif dalam berbagai peristiwa sejarah Indonesia, khususnya dalam protes-protes menentang penjajah. Kita bisa mencatat peranan yang dimainkan oleh para pengikut tarekat Sammaniyah dalam menentang usaha pendudukan kota Palembang oleh kekuatan Belanda pada 1819, atau perlawanan di Kalimantan Selatan pada 1860-an. Dalam pemberontakan Banten (1888) yang sangat terkenal, terdapat indikasi kuat keterlibatan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, khususnya dalam penyediaan jaringan mobilisasi massa.
Tarekat yang sama juga berperan dalam pertentangan Muslim-Hindu di Lombok pada tahun 1891. Ketika Belanda memberlakukan pajak baru atas komoditi tembakau di Sumatera Barat, masyarakat juga bangkit melawan, dan dalam perlawanan ini terlibat intens tarekat Syattariyah. Di Sumatera Utara khususnya Langkat juga didapati informasi bahwa Tuan Guru Syeikh Abdul Wahab Rokan pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah dituduh Belanda membanntu rakyat Aceh melawan penjajah Belanda.
2. Kontribusi dalam Pembentukan akhlak Masyarakat
Tarikat menurut Abdullah Ujong Rimba adalah cara atau kaifiyat mengerjakan sesuatu amalan untuk mencapai satu tujuan. Cara atau kaifiyat dimaksud adalah cara sebagaimana yang telah diformulasikan dan ditata sedemikian rupa oleh sufi-sufi besar dan guru- guru tarikat sendiri yang sudah demikian banyak jumlahnya. Namun, semua kelompok tarikat yang berkembang tersebut mengamalkan tiga ajaran dasar yang sama sebagaimana disinggung di atas yaitu takhallī, taḥallī dan tajallī .
Salah satu tarikat terbesar yang berkembang hingga sekarang adalah Tarikat Naqsyabandiyah. Salah satu Pusat Pengembangannya terdapat di desa Babussalam Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Aliran tarikat ini menurut Rimba tergolong tarikat sufiyah yang cara mengerjakan amal ibadahnya tanpa begitu terikat dengan Alqur’an dan Alḥadiṡ, tetapi menurut ajaran yaug diformulasi oleh guru sufi atau guru tarikat yang mengajarkannya.
Sebagai pembentukan dari tasawuf akhlaki dan ‘amali, maka pengamalan ajaran tarikat ini menggunakan pendekatan akhlak dan amalan tertentu yaitu zikir dan doa. Pengamalan ajaran tersebut bertujuan untuk mencapai hakikat atau kasyaf sehingga semakin dekat dengan Allah. Pelaksanaan amalannya sendiri harus di bawah binbingan dan kontrol seorang guru atau mursyid. Oleh karena dibimbing dan dipimpin oleh guru mursyid untuk menempuh jalan dalam mencapai hakikat, maka tarikat ini dinamakan juga dengan tarikat suluk. peribadi yang saleh dan berakhlak mulia. Perbuatan yang demikian itu dilakukan dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri dan bukan karena paksaan. Sehingga hasil perubahan akhlaknya lebih permanen karena dikerjakan oleh orang yang sadar apalagi dewasa.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu A’lam bisshowab.
Terimakasih.
Baca juga: Hakikat, Pengertian, Macam-Macam dan Contohnya