Iqipedia.com – Intoleransi dalam beragama di Indonesia masih kerap terjadi, mereka yang intoleran menganggap orang yang tidak seagama sebagai orang tidak boleh di berlakukan dengan baik bahkan ada sebagian yang menganggap orang yang tidak seagama sebagai musuh Islam yang harus di perangi. Hal ini menjadi salah satu problem besar dalam pembangunan bangsa yang unggul dan maju sebagaimana cita-cita Islam dalam firman Allah Swt. Antum al-A’launa (kalian harus menjadi umat yang unggul). Bagaimana hal ini tidak menajadi problem besar, kalau bangsa lain sudah jauh lebih maju sedangan kita masih ribut soal intoleran dalam keagamaan.
Oleh karena itu maka perlu di sikapi dengan serius agar dapat terselesaikan atau setidaknya dapat di minimalisir serta agar orang awam tidak ikut-ikutan paham intoleran ini. Uraian di bawah ini akan menjelaskan pandangan al-Quran dalam membangun kerukunan antar umat beragama. sebagaimana penjelasan berikut ini:
A. Berlaku Adil dan Baik Antar Umat Beragama
Alquran memerintahkan kepada semua pengikutnya untuk tetap berbuat baik dan adil kepada sesama umat beragama dengan catatan ia tidak memerangi dan mengusir umat muslim. Seagaimana Allah Swt. berfirman:
لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”
Ayat ini secara tegas tidak melarang berbuat baik dan adil kepada umat yang berbeda agama selama ia tidak memerangi dan mengusir umat Islam. Dalam konteks perbedaan agama di Indonesia maka sudah barang tentu bahwa non muslim bukanlah musuh dari umat Islam apalagi mengusir umat Islam dari Indonesia. Mereka adalah saudara setanah air serta sama-sama memiliki sejarah penindasan dan perjuangan kemerdekaan dari penjajah oleh karena itu maka ia berhak untuk di berlakukan adil dan baik oleh umat Islam sebagaiman uraian al-Quran di atas, begitu juga sebaliknya umat islam juga berhak di berlakukan baik dan adil oleh non muslim. Dengan demikian maka keharmonisan antar umat beragama akan terlaksana dengan baik.
Ayat di atas di kaji lebih dalam memiliki penafsiran sebagai berikut: Pertama, kata al-Bir menggunakan “al” jinsiyah, ini berarti menunjukan makna ‘am (umum), tidak tertentu kepada kebaikan-kebaikan tertentu; Kedua, dalam teori mantik kata tersebut merupakan lafadh jinis, yaitu seuatu lafadh yang memiliki afrod-afrod (kata bawahan); ketiga, al-Thobari menafsikan kata al-Bir (berbuat baik) dengan berbuat baik, mengikat tali persaudaraan, berbuat adil kepada semua agama yang tidak memerangi dan tidak mengusir orang mu’min. Sedangkan pada ayat berikut melarang berbuat kepada non muslim yang memerangi dan mengusir, menurut al-Thabari ia adalah kafir musyrik makkah; Keempat ayat di atas di ungkapkan dengan menggunakan fi’il mudari’ yang memiliki makna masa sekarang dan masa akan datang, dengan demikian maka berbuat baik dan adil dapat dilakukan mulai sekarang hingga masa-masa berikutnya; kelima, ayat ini di akhiri dengan innallaha yuhibbu al-Muqsithin (sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil), hal ini memberi isyarat bahwa Allah menyukai orang-orang yang adil walaupun kepada orang yang berbeda agama.
Sedangkan konteks historis ayat ini yaitu: (1) dari Abdullah Ibn Zubair menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Asma’ binti Abi Bakr yang mendatangi ibunya yang bernama Qatilah binti Abd al-‘azi>z –non muslim– untuk memberi hadiah namun ia menolak serta tidak memberi izin masuk. Dari kasus tersebut turunlah ayat ini lalu Nabi Muhammad saw. memerintahkan ibunya untuk mengizinkan masuk, memuliakan, dan diperlakukan baik; (2) di katakan bahwa ayat ini di turunkan dalam permaslahan Khaza’ah kaum Hilal bin ‘uairim, Khuzaimah dan Bani Mudlaj yang melakukan rekonsiliasi kepada Nabi Muhammad saw. sebelum tahun hudaibah dan mereka menyatakan untuk tidak memerangi, tidak mengusir, dan tidak membantu seseorang untuk mengusir Nabi Muhammad saw.; (3) dikatakan ayat ini diturunkan dalam konteks kaum Bani Hasyim yang di keluarkan secara paksa pada perang badar.
Dari konteks historis tersebut dapat memberi kepahaman bahwa perbedaan agama jangan sampai merusak hubungan dan berbuat baik dan adil dengan keluarga serta tidak mau menerima rekonsiliasi dan bantuan dari orang yang berbeda agama. Dari konteks historis ini memang ayat ini bermakna sempit, yaitu hanya berbicara tentang hadiah, rekonsilisasi dan bantuan namun makna kata al-Bir tidak sesempit yang demikaian. Menurut al-Thobari kata al-Bir (berbuat baik) memiliki makna berbuat baik, mengikat tali persaudaraan, dan berbuat adil kepada semua agama yang tidak memerangi dan tidak mengusir orang mu’min.
Memberlakukan adil dan baik kepada orang yang berbeda agama juga di lakukan oleh sahabat Nabi Muhammad saw. dalam sejarah di sebutkan bahwa para sahabat Rasulullah saw. yang menerapkan hukum secara adil, baik kepada kawan maupun lawan, miskin atau kaya, atau antara muslim dengan non muslim. Dalam hal in, Rasulullah bersabda:
“Tidak ada kelebihan bagi orang arab atas orang non arab, dan tidak ada kelebihan bagi non Arab atas orang Arab, dan tidak ada kelebihan bagi warna merah atas warna hitam kecuali dengan takwa” (HR. Imam Ahmad).
Hal yang demikian juga di lakukan oleh Abu Bakar. Hal ini disampakan dalam khutbah pelatikannya:
“Orang yang kuat diantara kalian adalah lemah sehingga aku mengambil hak darinya, dan orang yang lemah dari kalian adalah kuat, sehingga aku memberikan hak baginya”.
Begitu juga Sayyidina Umar ketika mengangkat Abu Musa al-Asy’ari sebagai hakim, ia berpesan:
“Samakan antara manusia di hadapanmu, di majlismu, dan hukummu, sehingga orang lemah tidak putus asa dari keadilanmu, dan orang mulia tidak mengharap kecuranganmu”
Sejarah juga mencatat bahwa ketika terjadi perselisihan hukum antara seorang khalifah Ali bin Abi Thalib dengan seorang yahudi, hakim memberikan kemenangan kepada orang yahudi, karena Ali bin Abi Thalib tidak mampu menghadirkan saksi atas klaimnya.
Dari uraian di atas maka kirannya ayat ini sangat signifikan sekali untuk di landasan bagi umat Islam sebagai umat mayoritas dalam membangun keharmonisan antar umat beragama, dalam hal sosial Allah tidak memandang latarbelakng agamanya, mereka non muslim tetap harus di perlakukan adil dan baik layaknya umat Islam.
B. Membangun Persahabatan Non Muslim
Pada masa awal Islam pada saat umat Islam sedikit dan lemah sejarah mencatat bahwa memang umat nasrani sangat peduli terhadap umat Islam, ketika Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya di usir dari mekkah mereka umat nasrani menerima umat Islam di habasyah serta mereka melindungi Nabi Saw. beserta para sahabat dari kedhaliman kafir musyrik mekkah. Al-Quran membenarkan persahabatan umat Islam dengan umat nasrani ini dalam suarah al-Maidah, sebagaimana firman Allah Swt.:
وَلَتَجِدَنَّ أَقۡرَبَهُم مَّوَدَّة لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّا نَصَٰرَىٰۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّ مِنۡهُمۡ قِسِّيسِينَ وَرُهۡبَانا وَأَنَّهُمۡ لَا يَسۡتَكۡبِرُونَ
“Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri”
Kemesraan persahabatan antara umat Islam dan nasrani juga di lukiskan oleh al-Quran dalam surah al-Rum, di mana pada saat kekalahan kerajaan romawi yang beragama nasrani kalah dari Persia umat Islam sedih oleh karena Allah Swt. menurunkan ayat ini sebagai penjelasan bahwa mereka kelak akan mengalahkan persia dalam jangka waktu yang dekat, oleh sebab penjelasan al-Quran tersebut umat Islam bergembira. Allah Swt. berfirman:
الٓمٓ غُلِبَتِ ٱلرُّومُ فِيٓ أَدۡنَى ٱلۡأَرۡضِ وَهُم مِّنۢ بَعۡدِ غَلَبِهِمۡ سَيَغۡلِبُونَ فِي بِضۡعِ سِنِينَۗ لِلَّهِ ٱلۡأَمۡرُ مِن قَبۡلُ وَمِنۢ بَعۡدُۚ وَيَوۡمَئِذ يَفۡرَحُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ بِنَصۡرِ ٱللَّهِۚ يَنصُرُ مَن يَشَآءُۖ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلرَّحِيمُ
“Alif Laam Miim, Telah dikalahkan bangsa Rumawi di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menan, dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, Karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Maha Perkasa lagi Penyayang”
Dari uraian sejarah dan penjelasan al-Quran di atas dapat di simpulkan bahwa perbedaan agama tidak menjadi gab dalam membangun persahabatan antar sesama umat mereka malah saling bahu membahu dalam memberi pertolongan dan perlindungan bahkan dalam surah al-Maidah di jelaskan bahwa umat nasrani melimiki sifat mawaddah (kasih sayang) terhap umat Islam. Dalam penafsiran al-Maraghi, mawaddah di artikan sebagai kasih sayang atau cinta yang di lakukan tidak hanya liwat lisan namun juga dibuktikan dengan perbuatan. Begitu juga dengan sikap umat Islam terhadap umat nasrani mereka sedih atas kekalahan umat nasrani dari Persia yang pada akhirnya Allah Swt. menurunkan QS. al-Rur ayat 1-6 yang menjelaskan bahwa umat nasrani akan menang kembali dalam waktu dekat, pada saat setelah turunnya ayat tersebut umat Islam akhirnya bergembira.
C. Tidak Memaksakan Agama Tertentu Kepada Orang Lain
Dalam beragama Allah melarang memaksa seseorang untuk memeluk salah satu agama tertentu. Hal ini di berfirmankan Allah swt. dalam surah al-Baqarah:
لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus”
Larangan memaksakan agama dalam ayat di atas memakai la> linafyi al-Jinsi, yaitu larangan dalam semua bentuk paksaan untuk memasukan seseorang dalam agama Islam, baik berupa perkataan atau tindakan seperti memukul dan memenjara. Sementara kata al-Di>n memakai al ma’rifat li’ahd al-Dzihni, yaitu sesuatu yang di sudah ketahui dalam hati. Dalam hal ini yang di maksud al-Di>n adalah agama Islam. Namun bila AL tersebut di artikan al jinsiyah maka al-Di>n bermakna semua agama, dengan demikian maka larangan memaksakan agama tidak hanya berlaku untuk islam tetapi untuk agama selain Islam.
Menurut Dhahak, larangan memaksakan agama ini hanya di tujukan kepada selain jazirah arab dengan syarat membayar pajak. Untuk jazirah arab, Nabi Muhammad tetap diperintahkan untuk memeranginya sampai mereka mengucapkan la> ila>ha illalla>h. Alasan kenapa orang arab harus di paksa masuk Islam menurut Qatadah karena orang arab tidak mempunyai agama berbeda dengan yahudi, nasrani dan majuzi karena mereka mempunyai agama maka tidak dipaksa masuk Islam ketika mereka memberikan pajak (jizyah).
Namun pendapat Dhahak dan Qotadah ini di bantah oleh al-Thabari. Ia mengatakan bahwa ayat ini berlaku umum, maksudnya siapa saja tidak boleh di paksa masuk Islam. Lebih lanjut al-Thabari menjelaskan, bahwa ayat ini diturunkan untuk konteks ahl al-kitab (yahudi nasrani), majuzi, dan agama-agama lain yang telah memberikan jizyah. Ia berargumen bahwa pendapatnya ini dikuatkan oleh fakta sejarah yang menjelaskan bahwa umat islam dan Nabi Muhammad saw. pada waktu awal kenabian Nabi saw. memaksa seseorang untuk masuk islam, kalau menolak maka ia akan dibunuh. Namun ketika pada periode selanjutnya Nabi saw. tidak memaksa seseorang untuk masuk agama islam dengan syarat ia mau menerima hukum islam dan membayar jizyah.
Sementara dari sudut pandang konteks historis, larangan ini di tujukan kepada semua orang sebagaimana riwayat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini di turunkan berkenaan seseorang dari suku Bani Salim bin Auf yang bernama al-Husaini memaksa kedua putranya yang masih beragana kristen untuk masuk islam, dan penjelasan dari kitab tafsir al-Thobari yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan sahabat anshor yang memiliki putra beragama yahudi atau nasrani maka ketika islam datang ia hendak memaksa putranya untuk masuk islam. Sementara Ibn Waqi menjelaskan ayat ini diturunkan berkenaan dengan sahabat anshor menyusui bani quraidhah, lalu sahabat tersebut ingin memakasa untuk masuk islam anak yang disusui.
Dari penjelasan al-Thobari tentang kisah nabi Muhammad saw. sebagai kepala pemerintahan dan sebagai nabi tidak memaksakan agama kepada seseorang, dapat di pahami bahwa pemerintah atau negara dan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan juga tidak boleh memaksakan agama tertentu kepada warganya serta tidak boleh pula membuat undang-undang atau peraturan yang dapat mendiskriminasi agama tertentu. Sedangkan dari konteks hirtoris dapat di simpulkan bahwa larangan memaksakan agama itu juga berlaku terhadap orang yang mempunyai hubungan kerabat atau orang terdekat seperti orang tua dan orang yang menyesui. Sebagaimana yang sudah di lakukan oleh Sayyidina> Umar Ibn Khatha>b, sebagai kholifah dan sayyid, ia tidak memaksakan agama islam kepada hambanya yang bernama Asbaq.
Dari penjelasan di atas tampaknya sudah sangat jelas bahwa larangan ini bersifat menyeluruh, tidak memandang siapa yang memaksa seperti pemerintah, pimpinan oramas, orang tua dan orang-orang terdekat, serta tidak memandang pula siapa yang di paksa, seperti anak, kerabat atau warga negara. Islam datang dengan menjelaskan tentang kebenaran serta di lengkapi dengan hujjah (argumen) dan bukti sebagaimana penjelasan berikut ini.
Alquran melarang ummatnya memaksakan agama Islam kepada seseorang, itu karena orang yang mau memeluk agama Islam tidak melakukannya dengan keterpaksaan tetapi karena pilihan sendiri kerena mengerti tentang kebenaran Islam. Sebagaimana di jelaskan dalam ayat:
قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّ
“Sunguh telah jelas mana agama petunjuk dari kesesatan”
Menurut al-Razi kejelasan kebenaran Islam sudah dijelaskan dengan dalil ayat Alquran dan dalil ‘aqli. Setelah dalil Alquran itu sampai kepada manusia, biarlah manusia masuk agama islam dengan pilihan dan kemauan sendiri sebagaimana pendapat Zamakhsyari. Oleh karena itu Ibnu ‘Asyur menjelaskan, potongan ayat ini adalah alasan kenapa umat islam di larang untuk memaksakan agama Islam kepada orang lain.
D. Tidak Mencaci Orang Yang Berbeda Agama
Selanjutnya dalam membangun keharmoisan antar umat beragama, Alquran melarang saling mencaci antar penganut agama. Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa Islam hanya boleh dijelaskan kebenaran dan kesempurnaannya ajaranya dengan konprehenship dan logika bukan dengan mencaci maki. Allah Swt. berfirman:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Jagnlah kalian menghina orang-orang yang berdoa kepada selain Allah. Mereka akan menghina Allah tanpa ilmu sebagai permusuhan. Begitulah Aku (Allah) menghiasi setiap umat dengan perbuatan mereka. Kaemudian kepada tuhan mereka merka dikembalikan lalu mereka di beritahu apa yang mereka perbuat”
Ayat ini secara tegas melarang umat Islam untuk mencaci non muslim dalam lanjutan ayat di atas di jelaskan akibat mencaci agama non muslim dia akan mencaci kembali kepada Allah Swt. Contoh sederhana, pergulatan politik PILKADA DKI 2016. Di mana pada saat itu politikus membawa isu agama dalam kancah politik yang pada akhirnya dapat mengalahkan lawan politiknya yang non muslim namun pada saat ini ketika DKI di pimpin oleh pemimpin muslim serta mengalami berbagai problem lawan politiknya juga mengait-mengaitkan agama dalam ketidak berhasilan gubenur dalam memimpin DKI. Hal dapat menjadi contoh konkrit dalam memcaci agama selain Islam yang mengakibatkan memcaci balik umat Islam ketika menemukan celah.
E. Tidak Mengganggu Agama Orang Lain Serta Larangan Sinkritesme
Dalam permaslahan peribadatan Alquran melarang sinkritesme, mencampur aduk peribadatan antar agama. Manusia di persilahkan melaksanakan peribadatan masing-masing agama mereka, itu adalah hak individu masing-masing manusia. Hal ini di ungkapkan dalam surah al-Kafirun:
قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡكَٰفِرُونَ لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ, وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ, وَلَآ أَنَا۠ عَابِد مَّا عَبَدتُّمۡ, وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”
Konteks historis aya ini yaitu merespon kafir Quraish yang mengajak Rasulullah saw. untuk menyembah tuhan mereka selama setahun dan mereka juga akan menyembah Tuhan Muhammad saw. selama setahun, dengan demikan Allah Swt. menurunkan surah tersebut.
Dari penafsiran dengan pendekatan bahasa, suarah al-Kafirun memiliki penafsiran sebagai berikut: Pertama, dari teori taukid, tujuan diulang-ulangnya larangan menyembah sesembahan orang kafir itu memiliki makna bahwa larangan itu sangat di tekankan sebagaimana penjelasan Ibn Jarir. Kedua, larangan yang di ungkapkan dengan memakai la linafyi al-Jinsi, itu memilki arti mengakomodir semua larangan mencampur aduk agama dalam bentuk apapun, termasuk juga menyerupai ibadah orang kafir. Ketiga, larang di ungkapkan dengan fi’il mudhari’ itu memiliki arti bahwa larangan itu berlaku mulai sekarang hingga yang akan datang, sebagaimana pendapat Imam Bukhari.
Sedangkan menurut Abu al-Abbas dan Ibnu Taimiyah maksud dari (aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah) adalah tidak melakukan perbuatan itu. Sedangkan kata (dan aku tidak pernah menyembah apa yang kamu sembah), maksudnya adalah tidak menerima perbuatan tersebut secara keseluruhan. Jadi, maksudnya adalah tidak melakukan perbuatan itu dan tidak ada kemungkinan untuk melakukan hal itu.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa dalam membangun kerukunan antar umat beragama Al-Quran menganjurkan untuk saling berbuat baik antar sesama umat serta memberlakukan adil mereka, menjalin persahabatan, menghormati agama orang lain, tidak merendahkan agama lain, serta menjalankan ajaran agama dan agama masing-masing serta tidak mengganggunya.