Sejarah Neo-Sufisme di Indoensia
Neo-sufisme merupakan pembaruan dalam bidang tasawuf yang menjadi penyempurna ajaran Islam. Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia memaparkan sangat mendalam tentang akar keilmuan Islam ulama-ulama Nusantara yang memiliki ikatan erat dengan jaringan ulama-ulama yang berada di pusat-pusat peradaban Islam di seluruh penjuru dunia, khususnya timur tengah.
Salah satu tokoh yang memiliki peran penting dan merupakan jembatan pengubung ulama haramayn dan Nusantara adalah Ibrāhīm al-Kūrānī (l. 1025/1616 – w. 1101/1690). Ia merupakan murid sekaligus menantu dari mursyid Tarekat Syathariyah di Haramayn yakni Aḥmad al-Qushāshī (w. 1660). Peran Aḥmad al- Qushāshī dalam pemikiran Neo-Sufisme juga tidak kalah pentingnya.
Setelah mendapatkan mandat kemursyidan dari Aḥmad al-Shināwī (w. 1015/1606), ia melakukan reorientasi ajaran Tariqah Shathaariyah yang awalnya cenderung lebih mengedepankan aspek mistis yang bersifat ritual menjadi sebuah tarekat yang mengajarkan perpaduan antara aspek mistis dengan aspek Syari’at.
Berdasarkan hal tersebut maka Al-Kūrānī merupakan penggerak Neo-Sufisme angkatan kedua yang berkembang di Haramayn pada abad ke XVII.
Pemikiran Neo-Sufisme yang dikembangkan oleh Aḥmad al-Qushāshī dan Ibrāhīm Al-Kūrānī berkembang di Nusantara tidak terlepas dari perkembangan kondisi sosio politik pada waktu itu. Abad XVII dapat dikatakan sebagai abad kebangkitan bagi para intelektual pembaharu. Jalur sutra perdagangan laut yang semakin ramai dengan kapal-kapal yang berlayar dari Eropa hingga Asia Timur berpengaruh juga pada arus jama’ah ibadah haji dari seluruh penjuru dunia termasuk kepulauan Nusantara.
Pertemuan antar sesama muslim dari penjuru dunia ternyata tidak hanya sekedar melakukan ibadah haji, akan tetapi mereka pun juga melakukan perjalanan menuntut ilmu (riḥlah ‘ilmiyah) dari beberapa tokoh agama yang ditemuinya di Ḥaramayn. Hal ini menjadikan kota Makkah dan Madinah berkembang menjadi pusat keilmuan yang bersifat heterogen. Karenanya tidak mengherankan jika terjadi persinggungan antara berbagai aliran baik dari disiplin ilmu fiqih maupun tasawuf yang sering kali memunculkan suatu corak pemikiran tertentu yang merupakan perpaduan dari beberapa aliran fiqih atau tasawuf.
Ketokohan Ibrāhīm al-Kūrānī di Madinah memiliki jaringan murid yang tersebar di seluruh penjuru dunia Muslim, seperti Persia, Aljazair, Jazirah Arab, India, Syiria, Asia Tenggara, dsb. Jaringan Al-Kūrānī di Asia Tenggara di bawa oleh muridnya, yang juga merupakan ulama terkemuka asal Aceh, yakni ‘Abd al-Ra’ūf (w. 1690).
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama melaui Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama, merilis diagram sanad keilmuan NU yang megaitkan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari – pendiri NU – dengan Ibrāhīm al- Kūrānī. Adapun sanad tersebut terbagi menjadi dua yakni : (1) Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, murid dari Sayyid Al Bakry Muhammad Syatho, murid dari Sulaiman Al Bujairami, murid dari Ibrāhīm al-Kūrānī; dan (2) Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, murid dari Yusuf bin Ismail Anabhani, murid dari Syaikh Khatib Sambas, murid dari Ahmad As Suja’i, murid dari Abdur Rauf Al Fanshuri, murid dari Ibrāhīm al-Kūrānī.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa kolonialisme yang dilakukan oleh negara-negara Eropa ternyata tidak berpengaruh dalam perkembangan Islam di berbagai penjuru dunia. Sufisme bergerak secara lembut namun terorganisir dalam upaya menyebarkan ajaran Islam.
Di Indonesia sendiri, pengajaran Islam yang bercorak tasawuf merupakan ciri dari metode pendidikan yang ada di pesantren-pesantren. Bahkan pesantren dapat dikatan sebagai penyeimbang dari kekusaan keraton (pemerintah) yang memiliki sakralitas sendiri.
Perkembangan Neo-Sufisme di Indonesia di era Kontemporer
Berdasarkan uraian sebelumnya, sejak awal gerakan sufisme bersifat supralokal, dengan masing-masing guru menarik siswa baik dari wilayah yang dekat maupun jauh, dan mengakui, pada saat yang sama, menghubungkan suatu guru dengan guru lain, hingga rantai otoritas spiritual ini sampai kepada sumber dari otoritas spiritual yakni Nabi Muhammad saw.
Pada era pra-modern, tarekat sufi sudah menyebar luas melintasi batas negara tradisional melalui ikatan informal tersebut. Jejaring para murid mereka membentang tempat dari wilayah asal tarekat, tanah suci, dan wilayah lain di dunia Muslim tempat para peziarah dan pelajar datang ke kota-kota suci hingga ahirnya kembali ke tanah air mereka masing-masing.
Tatanan ini menghasilkan terjalinnya jaringan ulama yang memiliki spesiaisasi pada bidang ilmu pengetahuan yang beragam.
Dalam pembahasan di atas telah disinggung bahwa ulama-ulama yang tergabung dalam organisasi Nahdlatul Ulama mengklaim bahwa memiliki sanad keilmuwan yang oleh Azyumardi Azra masuk ke dalam ulama-ulama perintis Neo-Sufisme.
Berbeda dengan NU yang memelihara sanad keilmuwan Islam khsusunya tasawuf hingga mendirikan Jatman (Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyah), para ulama Muhammadiyah menggunakan wacana Neo- Sufisme untuk membangkitkan kembali nilai-nilai spritualitas dari gerakan modernisasi Islam yang menjadi karakteristik persyarikatan Muhammadiyah.
Pada awal didirikannya organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan sangat terpengaruh sekali pada gerakan pembaharuan Islam yang digerakkan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Jika kita merujuk pada karakteristik Neo-Sufisme yang diajukan oleh Fazlur Rahman dan Azyumardi Azra, maka kedua tokoh tersebut layak disebut sebagai tokoh Neo-Sufisme.
Adapun karakteristik Neo-Sufisme yang diajukan oleh Rahman adalah puritan dan aktivis, sedangkan menurut Azra, Neo- Sufisme memiliki karakteristik, yakni kajian hadits, syari’at, aktivisme, organisasi tarekat dan kesinambungan serta perubahan.
Sebagai pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan adalah guru yang bekerja keras mengembalikan dimensi spiritual syari’ah, dengan strategi pemurnian ajaran Islam, yang bergerak secara kolektif dan terorganisir melalui Persyarikatan Muhamadiyah.
Meskipun beberapa dekade pasca wafatnya Kyai Dahlan, muncul pemahaman untuk melakukan penghapusan dan penolakan segala unsur dan peristilahan yang berbau sufisme karena dianggap mengandung unsur takhayul, bid’ah dan khurafat, namun pada tahun 1995 muncul upaya untuk melakukan gagasan sufistikasi syari’ah dalam pemikiran Muhammadiyah.
Gagasan ini semakin menguat ketika Muhammadiyah mengemukakan program “dakwah kultural Muhammadiyah” yang meletakan kepentingan untuk memperluas dakwah di lingkungan masyrakat bawah yang cenderung tradisional.
Berdasarkan hal ini maka, Sufisme, Sufistikasi syari’ah, spiritualisasi hukum Islam dan Neo-Sufisme menjadi alternatif dalam merevitalisasi spririt pemikiran kemuhamadiyahan Kyai Dahlan.
Meskipun para tokoh Muhammadiyah tidak secara terang-terangan mengafiliasikan dirinya pada salah satu tarekat, namun beberapa pemikiran dari tokoh-tokoh Muhammadiyah memiliki semangat Neo- Sufisme.
Hamka merupakan tokoh Muhammadiyah yang mencoba untuk menintegrasikan pemikiran modern Islam dengan pemikiran tasawuf dalam upaya untuk memberikan nilai-nilai spritual dalam pelaksanaan syari’at. Tasawuf Modern. Melalui buku tersebut, Hamka (1908-1981) mendoborak pemikiran para pembaharu Islam yang cenderung untuk menolak tasawuf.
Hamka menyatakan menegaskan bahwa modernisme Islam tidak bertentangan dengan tasawuf, bahkan keduanya dapat berjalan beriringan. Selain Hamka, beberapa tokoh Muhammadiyah yang lain, juga memiliki pemikiran yang mengarah pada Neo-Sufisme. Amien Rais menyumbang konsep “Tauhid Sosial”, Kuntowijoyo dengan konsep “Ilmu Sosial Profetik”, Moeslim Abdurrahman dengan “Islam Transformatif” dan Abdul Munir Mulkhan dengan “Sufistisasi Syariah”.
Jika diperhatikan konsep-konsep tersebut merupakan upaya aplikatif dalam upaya menjadikan pengamalan Syari’at Islam tidak hanya sekedar ritual semata, tetapi juga memiliki nilai-nilai spritual yang mendasar yang bersumber dari keimanan yang tinggi kepada ajaran Islam.
Berbeda dengan tokoh-tokoh di atas, Masyitoh Chusnan secara terang- terangan menggunakan isilah Tasawuf Muhammadiyah dalam menggambarkan keteladanan dalam kehidupan AR. Fakhrudin, ketua umum Muhammadiyah tahun 1971 — 1990. Buku Taswauf Muammadyah Menyelami Spritual Leadership AR. Fakhruidn yang berasal dari desertasinya yang dipertahankan di depan penguji UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini merupakan identifikasi baru dalam perkembagan pemikiran Muhammadiyah. Menurut Chusnan, gagasan tasawuf Muhammadiyah ini merupakan kritik terhadap gerakan Muhammadiyah yang mengedepankan rasionalitas dan modernitas sehingga dirasakan dalam praktek beragama agak kering bahkan sangat kering. Dengan konsep tasawuf Muhammadiyah, diharapkan para kader Muhammadiyah tidak hanya membaca kitab-kitab yang bercorak tajdid dan ijtihad tetpi juga mengkaji kitab-kitab yang mengajarkan konsep- konsep tasawuf terutama tasawuf akhlaqi.
Selain menjadi wacana para tokoh-tokoh Islam terkemuka di Indonesia, konsep Neo-Sufisme juga menjadi tema menarik yang tersebar melalui jejaring teknolgi informasi. Di era kontemporer saat ini, di mana teknologi informasi telah semakin canggih penyebaran dan pengajaran pemikiran tasawuf tidak hanya terbatas pada halaqah-halaqah yang diselenggarakan oleh tarekat-tarekat tertentu secara tradisional. Kajian tasawuf kini bersifat lebih terbuka dan dapat diikuti oleh berbagai elemen masyarakat, tidak hanya mereka yang telah berbai’at pada salah satu tarekat saja. Fenomena ini menunjukan bahwa manusia modern masih memiliki kecenderungan akan hal spiritual, terutama yang diajarkan oleh tasawuf.
Kecenderungan manusia modern akan spiritual bukanlah merupakan bawa manusia modern sudah meninggalkan rasionya dan beralih kepada hal-hal yang tahayul. Spiritualisme dan rasio bukanlah sesuatu yang dapat dipertentangkan. Hal ini karena prinsip dari spritualitas bersumber dari rasionalitas yang korelasinya adalah upaya untuk meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan. Ibn Sina berpendapat bahwa jika sesorang mengucapkan atau berhubungan dengan sesuatu tanpa rasio, maka ia seperti seseorang yang mengeluarkan dirinya dari sisi kemanusiaan.
Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah bahwsanya salah satu ciri dari manusia modern terutama yang tinggal di perkotaan adalah manusia memiliki nalar kebebasan yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat tradisional. Meskipun kebutuhan akan pembinaan spiritual sebagai salah satu alteranatif terapi mental sangat tinggi di kalangan masyrakat urban akan tetapi mereka tidak dapat begitu saja diikat dalam suatu tarekat yang memiliki aturan dan formalitas tertentu dalam mempelajaran ajaran-ajaran spiritual dalam tasawuf. Mengikuti alur bahwasanya spritualitas akan tetap didapatkan meski tanpa tarekat yang dianggap oleh masyarakat urban sebagai sikap tradisional yang disfungsional, Hamka lalu memberikan pernyataan yakni “tasawuf tanpa tarekat”. Jika Hamka masih menggunakan istilah tasawuf dalam ajarannya tentang spiritualisme Islam, maka para cendikiawan Mulim lainnya di India dan Timur Tengah telah melangkah lebih jauh dari Hamka. Mereka yang didorong oleh semangat Salafi berusaha untuk membersikan keimanan dari berbagai macam bid’ah. Meski demikian terdapat indikator yang dapat dipergunakan sebagai anlisa bahwa kelompok Salafi pun sebenarnya masih mempraktekan bentuk tasawuf tertentu yakni tazkiya al-nufus (penyucian diri) dan dzikir (mengingat Tuhan) dengan menggunakan kata-kata yang diambil dari dalam al-Qur’an.
Martin Slama dalam tulisannya melihat bahwa tren masyarakat Muslim Indoensia kini telah menjadikan agama sebagai sumber motivasi yang tidak hanya mewujudkan kesalehan spritual tetapi juga dalam mewujudan peningkatan produktivitas ekonomi. Munculnya lembaga ekonomi yang menggunakan label syari’ah seperti lembaga perbankkan misalnya, menjadikan nilai tersendiri tidak hanya dalam upaya peningkatan keimanan terhadap agama, namun juga dalam peningkatan ekonomi.
Slama juga memberikan perhatian terhadap para mubaligh yang muncul diberbagai media massa Indoensia, terutama stasiun TV swasta. Para mubaligh tersebut dikarenakan popularitasnya menjadi ortodoksi baru bagi masyarakat Muslim Indoensia. Pada ahirnya para mubaligh populer tersebut juga mendapatkan kentungan secara finansial dari hasil kegiatannya berkhutbah di mana-mana. Semakin populer seorang ustadz maka akan semakin tinggi tarif yang diberikan ketika dia berkhutbah.
Apa yang dibahas oleh Slama senada dengan Daromir Rudnyckyj yang menjelaskan bahwa terdapat alternatif ekonomi ketika agama berjumpa dengan pasar (kapitalisme, neoliberalisme). Dalam kajiannya, Rudnyckyj menganalisa bahwa konsep bahwa kerja adalah ibadah dipakai untuk memobilisasi kesadaran bekerja pada masyrakat urban. Ia mengaitkannya kajiannya ini dengan diskusi besar mengenai management of knowledge yang dianggap oleh Nigel Thrift sebagai kapitalisme akhir. Menurut Thrift di penghujung Abad 20 dan awal abad 21 yang muncul adalah Soft Capitalism dengan ditandai dengan munculnya teori-teori mangement Barat dan munculnya Self-Helf Guru atau motivator.
Meskipun Slama menggunakan konsep kapital Bourdieu (yakni ekonomi, budaya, sosial dan simbolik) untuk melihat masyarakat Muslim yang ada di Indonesia naum ia tidak sepenuhnya dengan Bourdieu yang memiliki kecenderungan pada Neo-Marxisme. Slama tidak setuju jika tiga kapital yakni budaya, sosial dan simbolik pada ahirnya bermuara pada pencapaian kapital ekonomi. Hal ini karena para ustadz profesional yang menjadi self-help guru tersebut tidak semata-mata mencari keuntungan finansial namun juga karena didorong oleh kewajiban dakwah yang merupakan kewajiban normatif-religius yang diyakini oleh setiap Muslim. Dengan demikian Slama tidak melihat bahwa Agama sebagai komoditas an sich, akan tetapi agama masih memiliki perannya sebagai ajaran yang memiliki pengaruh kuat dalam kehidupan manusia, khsusunya dalam masyarakat Muslim di Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas maka, tren tasawuf kini memiliki kecenderungan yang positif bagi kehidupan masyarakat modern. Kajian- kajian taswuf yang diselenggarakan pada masyarakat urban di kota-kota besar merupakan materi utama dalam upaya memotivasi generasi milenial untuk memiliki semangat positif dalam menjalankan aktivitas dan kinerjanya. Hal tersebut dikarenakan teknik penyampaian yang disampaikan dengan pendekatan tasawuf jauh lebih halus dan dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat modern.
Dalam dunia modern yang semakin gersang akan nilai-nilai spiritualitas, manusia kembali melirik sumber-sumber keilmuan atau pun komunitas-komunitas yang menyuguhkan solusi alternatif dari kegersangan jiwa yang dirasakan oleh mayoritas manusia modern. Fenomena ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan paradigma baru dalam modern dari sisi materialistik menunju spiritualistik. Mereka kembali menggali makna dan nilai-nilai seperti cinta dan kebahagiaan, dari perspektif selain kepemilikan akan materi.
Fenomena tersebut juga menolak anggapan yang menyatakan bahwa semakin modern suatu masyarakat atau sesorang maka akan semakin rendah tingkat religiusitasnya. Akan tetapi ketergantungan manusia modern akan spiritual, bukan berarti mereka melepaskan sepenuhnya ciri kemodernannya. Selah satu ciri manusia modern adalah mampu mengolah akalnya untuk melakukan kritik. Dengan kemampuan untuk mengkritik manusia modern akan mampu untuk menggali berbagai ilmu pengetahuan dan membebaskan diri dari wewenang tradisi dan prasangka-prasangka yang menyesatkan karena tidak sejalan dengan rasionalitas. Berdasarkan hal ini maka kiritk dan rasionalitas bagi manusia modern akan selalu melekat dan tidak akan pernah dapat dihapuskan.
Mungkin anda menyukai ini:
Sejarah Tasawuf dari Masa pembentuakan dan Perkembangannya
Aliran Tasawuf Falsafi dan Aliran Tasawuf Sunni