Imam Syafi’i : Guru. Pemikiran, Karya, Qoul Jadidid dan Qoul Qhodim
Imam Syafi’i : Guru. Pemikiran, Karya, Qoul Jadidid dan Qoul Qhodim

Aliran-Aliran Islam Dari Klasik Hingga Modern

Posted on

Iqipedia.com. – Muculnya aliran-aliran dalam islam kerap di anggap sudah menjadi prediksi Baginda Agung Nabi Muhammad Saw. Lewat hadisnya Rasulullah menjelaskan bahwa ummatnya akan pecah menjadi tujuh tiga golongan. Rasulullah bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِفْتَرَقَ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً.
Artinya: “Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) golongan atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan.” (HR Tirmidzi).

Pada jaman nabi umat Islam masih bersatu dan utuh. Dalam memahami Al-Qur’an dan hadits, umat Islam tidak pernah menghadapi masalah yang berarti, karena masalah masalah yang berkaitan dengan Al- Qur’an dan hadits, bisa ditanyakan langsung kepada Rasululloh. Pertentangan pertentangan antar suku atau antar kelompok bisa diselesaikan dan didamaikan oleh rasululloh. Kondisi ini berlangsung sampai masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Pada periode kepemimpinan Usman bin Affan, integritas umat Islam mulai terganggu, puncaknya pada masa kekhalifahan Ali bin Abitholib, umat Islam menghadapi perpecahan. Sejak itulah maka lahir berbagai kelompok aliran sebagai mana penjelasan berikut:

Aliran Khowarij

Kelompok ini muncul sebagai reaksi terhadap sikap khalifah Ali yang menyetujui mengakhiri perang dan menyelesaikan sengketa dengan kelompok Muawiyah dengan cara diplomasi politik. Sebelumnya kelompok Khowarij ini menjadi bagian dari pasukan Ali, tetapi karena tidak setuju atas sikap Ali yang menyelesaikan sengketa dengan jalan perundingan dengan Muawiyah, maka kelompok ini keluar dari Ali. Karena keluar dari Ali maka dikatakan Khowarij dari kata khoroja artinya keluar. Tentang perang antara Khalifah Ali dengan Muawiyah sebagai gubernur Damaskus, disebabkan karena kelompok Bani Umayyah pimpinan Muawayah, menuduh khalifah Ali terlibat dalam pembunuhan khalifah sebelumnya yaitu Usman bin Affan. Tuduhan itu sulit dibuktikan, tetapi mereka melihat bahwa Ali dengan kelihaian dan kewibawaannya tidak sungguh sungguh            dalam  mengusut pembunuhan Usman, dan sekarang ia tidak cukup sungguh sungguh pula menemukan dan menghukun para pembunuh itu.

Kelompok Khowarij menilai bahwa penyelesaian sengketa dengan diplomasi politik itu bukan cara Islam. Karena itu semua pihak yang terlibat dalam perundingan politik dinyatakan kafir sebagai mana disebutkan di Q.S. Al-Maidah :44:

“…barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang orang yang kafir.”

Dengan demikian Ali bin Abu Tholib, Muawiyah bin Abu Sofyan, Abu Musa Al-Asy’ari yang mewakili pihak Ali, dan Amru bin As dari kelompok Muawiyah, menurut Khowarij telah menjadi kafir, dalam pandangan Khowarij orang yang berdosa besar seperti berzina dan membunuh sudah keluar dari Islam dan wajib dibunuh,  Ali terbunuh sedangkan Muawiyah selamat.

Aliran Qodqriyyah

Aliran ini diperkenalkan pertama kali oleh Ma’bad Al-Juhani. Isi ajaran ini adalah meyakini bahwa “manusia memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam   menentukan perjalanan hidupnya”. Manusia    memiliki   kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatannya baik maupun buruk. Tindakan penguasa yang menindas rakyat  dan    mengekang pemikiran umat,   sangat   bertentangan      dengan Islam  maka harus  dipertanggung jawabkan  dihadapan  dan dihadapan      Allah     kelak Atas pemikiran Ma’bad Al-Juhani yang keras,    maka    ia    harus    menerima hukuman mati dari khalifah Abdul Malik bin Marwan pada tahun 80 H / 699 M.  Perjuangan   Al-Juhani kemudian dilanjutkan   Ghylan   al- Damsyaqi. Oleh khalifah Hisyam ibn Malik, Ghylan pun akhirnya dihukum mati tahun 105 H / 723 M.

Aliran Jabariyah

Jabariyyah merupakan faham keterpaksaan (manusia). Menurut faham Jabariyyah “manusia tidak berdaya dalam menghadapi ketentuan Tuhan dan kehendakNya yang mutlak” (Nurcholish Madjid, 2019 : 14). Menurut faham Jabariyyah perbuatan manusia diciptakan Tuhan dalam diri manusia. Menurut faham ini manusia tidak mempunyai kemauan, kemampuan dan daya untuk mewujudkan perbuatannya, semua sudah diatur oleh Allah swt.

Faham Jabariyyah disukai dan mendapatkan simpati dikalangan penguasa Bani Umayyah karena bisa menjaga kekuasaannya. Kalau faham ini tersebar luas, maka akan menjadikan manusia pasif tidak berdaya. Manusia akan menggantungkan dirinya pada nasib. Faham Jabariyyah dipelopori oleh Al-Ja’d bin Dirham pada abad keVIII M dan Jahm ibn Sofwan yang wafat tahun 131 H.

Pos Terkait:  Siwak, Tata cara, Keutamaan, khasiat siwak serta doanya
Aliran Mu’tazilah

Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama Hijrah di kota Basrah. Mu’tazilah memiliki ajaran dasar yang selalu dipegang teguh yaitu: a) Keesaan (At-tauhid), Keadilan (Al-Adlu), b) Janji dan ancaman (Al-Wa’ du wal wa’ idu), Tempat diantara dua tempat (almanzilatu bainalmanzilatain), d) Memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan(amar ma’uf nahi munkar)  Kelima prinsip tersebut merupakan dasar utama yang harus dipegang oleh setiap orang yang mengaku dirinya sebagai orang Mu’tazilah dan hal ini sudah menjadi kesepakatan mereka. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam soal kecil. Tentang filsafat, Mu’tazilah tidak menjadikan tujuan utama melainkan sebagai alat untuk menolak serangan serangan lawannya. Namun dengan filsafat, mereka memasuki babak baru dalam sejarah mereka, karena filsafat telah menjadikan revolusi pikiran dalam kehidupan mereka. Mereka menjunjung tinggi filosuf-filosuf   Yunani   dan menempatkan hampir setingkat dengan nabi.

Aliran Mu’tazilah sedikit demi sedikit menjadi jauh dari tujuhan yang bersifat agama murni, dan mulai mengesampingkan      persoalan- persoalan kepercayaan dan Ketuhanan. Agama mengatakan bahwa alam semesta ini baru dan diadakan oleh Tuhan, dari “tiada”, sedangkan filsafat mengatakan alam semesta ini qodim yang selalu ada dan tidak mungkin sesuatu terjadi dari “tiada”.    Mu’tazilah berusaha menyatukan dua hal yang berlawanan.

Mu’tazilah berpendapat bahwa gerak gerik ahli surga dan neraka akan berahir dan menjadi ketenangan yang abadi, dimana ia tidak bisa menggerakkan anggota badan dan tidak bisa meninggalkan tempatnya. Alam ketenangan itulah semua kelezatan bagi ahli surga dan terkumpul semua kepedihan ahli neraka. Dengan segala kelezatan dan kepedihan tersebut, Mereka akan tetap tidak bergerak selama-lamanya bagaikan benda mati.

Aliran Asy’ariah

Aliran Asy’ariah didirikan oleh Abu Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, lahir di Basrah tahun 260 H / 873 M dan wafat tahun 324H / 935 M putra dari Abu Musa Al-Asy’ari ( wakil sayyidina Ali ketika terjadi perundingan dengan Muawiyah ). Masa kecil Al-Asy’ari belajar dengan tokoh Mu’tazilah terkenal yaitu Abu Ali al-Jubbai (bapak tirinya) untuk mempelajari ajaran Mu‟tazilah. Aliran Mu’tazilah dianut Al-Asy’ari sampai usia 40 tahun. Menurut satu riwayat ketika menginjak umur 40 tahun, ia mengasingkan diri dari  orang banyak, 15 hari ia mengurungkan diri di rumah sambil merenung. Untuk menyatakan sikapnya bahwa ia keluar dari Mu’tazilah, dia sampaikan di masjid besar Basrah di depan banyak orang. Sebelumnya ia sering berdebat dengan gurunya yaitu Al-Jubbai, dari sini mulai tampak kelemahan ajaran Mu’tazilah. Perdebatan yang sangat menarik, perdebatan itu adalah sebagai berikut:

Asy’ariah: Bagaimana pendapat guru tentang orang mukmin, orang kafir dan anak kecil kalau sudah mati ?

Al-Jubbai: Orang mukmin mendapatkan tingkatan tertinggi masuk surga, orang kafir masuk neraka, anak kecil tergolong orang yang selamat.

Asy’ariah: Kalau anak kecil ingin mencapai tingkatan tertinggi, bisakah?

Al-Jubbai: Tidak bisa, karena akan dikatakan kepada anak kecil “ Orang mukmin mendapatkan tingkatan tertinggi karena ia menjalankan ketaatan, sedangkan kau tidak”.

Asy’ariah: Anak kecil akan menjawab “ Itu bukan salahku, kalau sekiranyaTuhan menghidupkan aku sampai besar, tentu aku akan menjalankan ketaatan seperti orang mu‟min tersebut”.

Al-Jubbai: Tuhan akan berkata :” Aku lebih tau tentang engkau. Kalau kau hidup sampai dewasa tentu akan mendurhagaiKu dan Aku akan menyiksamu, maka Aku matikan kau sebelum dewasa”.

Asy’ariah: Kalau orang kafir berkata :Ya Tuhan, Engkau mengetahui bahwa aku akan tumbuh dewasa menjadi kafir, mengapa tidak Engkau matikan aku ketika masih kecil saja? Kemudian Al-Jubbai diam tidak bisa menjawab.

Sebagai orang yang punya pengalaman banyak dalam menyebarkan aliran Mu’tazilah, maka sulit baginya untuk menjauhkan diri penggunaan akal. Akan tetapi dia juga menentang terhadap sikap yang mendewa-dewakan dan melebih- lebihkan akal pikiran sebagaimana Mu’tazilah.

Hampir semua pendapat Asy’ari merupakan jalan tengah dari kelompok-kelompok yang bertentangan, seperti pendapatnya tentang kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia. Menurut Asy’ari kekuasaan Tuhan adalah mutlak, Tuhan bebas berbuat dan berkehendak. Maka tidak ada satupun yang terjadi pada manusia yang diluar kehendak Tuhan dan kekuasaan mutlak-Nya. Sedangkan terhadap perbuatannya, manusia juga punya andil menentukannya. Inilah jalan tengah antara Qodariyah dan Jabariyah yang diajarkan Asy’ari.

Pos Terkait:  Pengertian Riba, Macam-Macam Riba, Dalil, Hukum dan Sejarahnya

Tentang dosa besar yang dilakukan manusia, menurut Asy’ari, Tuhan adalah kuasa dan berkehandak mutlak, sehingga menjadi hak mutlak-Nya untuk mengampuni atau tidaknya dosa para hambaNya yang beriman, maka menurut Asy’ari  pelaku dosa besar bagi orang yang beriman tidaklah kekal di neraka, yang kekal di neraka adalah orang kafir dan musyrik. Dan berkaitan dengan pengampunan Tuhan, maka terserah Dia, apakah dosa besarnya diampuni langsung masuk surga, ataukah disiksa lebih dahulu di neraka, kemudian diampuni dan dimasukkan ke surga, hal ini mutlak urursan Tuhan.

Aliran Salafi

Aliran Salafi banyak diikuti orang-orang Hanabilah pada abad ke 4 H yang mengikuti pendapat Imam Ahmad bin Hambal yang cenderung mempertahankan ulama salaf, maka aliran ini dinamakan aliran Salafi. Pada abad ke 7 H aliran ini menjadi kuat dengan munculnya Ibnu Taimiah di Siria ( 661 – 728 H ). Pada abad ke 12 H, aliran Salafi dikembangkan di Saudi Arabia oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang pendapatnya dikenal dengan sebutan Wahabi.

Pemikiran Salafi hanya percaya pada aqidah-aqidah dan dalil-dalil yang ditunjukkan oleh nas, karena nas tersebut adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad. Aliran Salafi tidak percaya kepada logika rasional.

Jadi jalan untuk mengetahui aqidah-aqidah dan hukum-hukum Islam serta segala sesuatu yang berkaiatan dengan itu, tidak lain sumbernya dari Al-Qur’an dan Hadts nabi sebagai penjelas. Ketetapan ini harus diterima tidak boleh ditolak. Akal pikiran tidak mempunyai kekuatan untuk menta’wilkan Al- Qur’an atau menafsirkan atau menguraikannya, kecuali dalam batas-batas yang diijinkan dan Hadits menguatkannya. Kekuatan pikiran hanya membenarkan dan tunduk kepada nas. Jadi fungsi pikiran hanya menjadi saksi pembenar, bukan menjadi hakim yang mengadili dan menolaknya (A. Hanafi. 2003 : 142).

Aliran Wahabi

Nama Wahabi diambil dari nama pendirinya yaitu Muhammad bin Abdul Wahab tahun 1115 – 1201 H bertepatan 1703 – 1787 M. Nama ini diberikan oleh lawan-lawannya. Mereka menyebut kelompoknya dengan sebutan “ golongan Muwahhidin”. Wahabi menganggap kelompoknya adalah Ahlussunnah yang mengikuti madzhab Imam Ahmad bin Hambal yang ditafsirkan oleh Ibnu Taimiah.

Pemikiran Wahabi yang paling mencolok adalah bidang Tauhid dan bidang ibadah yaitu: a) Penyembahan kepada selain Tuhan adalah salah, dan siapa yang berbuat demikian maka ia dibunuh, b) Orang mencari ampunan Tuhan dengan mengunjungi makam orang-orang soleh, termasuk golongan orang-orang musyrikin, c) Termasuk perbutan musyrik memberikan pengantar kata dalam sholat terhadap nama nabi-nabi atau wali atau malaikat (seperti sayyidina Muhammad), d) Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan atas Al-Qur’an dan Sunnah atau ilmu yang bersumber kepada akal pikiran semata, e) Termasuk kufur juga mengingkari Qodar dalam semua perbuatan dan penafsiran Quran dengan jalan ta’wil, f) Dilarang memakai buah tasbih dan dalam mengucapkan nama Tuhan dan doa-doa  cukup dengan menghitung kerata jari, g) Sumber syariat Islam dalam halal dan haram hanya Al-Quran semata-mata dan sumber lain sesudahnya ialah sunnah Rasul. Perkataan ulama mutakallimin dan fuqoha tentang halal dan haram tidak menjadi pegangan selama tidak didasarkan ataas kedua sumber tersebut, h) Pintu ijtihad tetap terbuka dan siapapun boleh melakukan ijtihad asal sudah memenuhi syarat-syaratnya.

Hal-hal yang dianggap bid’ah harus diberantas adalah : wanita mengiring jenazah, mengadakan halaqah dzikir, bahkan mereka merampas buku-buku yng berisikan tawasul seperti dailul khoirot, merokok, minum kopi, memakai pakaian sutra bagi pria, bergambar (foto), memakai cincin emas bagi pria dan sebagainya.

Ahmadiyah

Ahmadiyah adalah sebuah aliran keagamaan yang berasal dari Qadian, India (sekarang wilayah Pakistan) didirikan pada 1889  oleh adalah Mirza Ghulam Ahmad. Dia lahir pada 15 Februari 1835 di tengah – tengah golongan Syi’ah Isma’iliyah.

Ahmadiyah adalah nama gerakan Islam yang resmi didirikan pada 1900. Pada awalnya gerakan Islam yang sejak tahun 1889 ini belum mempunyai nama. Kemudian, untuk memenuhi permintaan pemerintahan Inggris yang akan melakukan kegiatan sensus, termasuk mendata organisasi, Mirza Ghulam Ahmad seorang yang telah mengaku bahwa dirinya adalah seorang Mujaddid (Pembaru) mengeluarkan edaran yang intinya menamai gerakan  Islam ini dengan nama Ahmadiyah.

Kerajaan Inggris yang menjajah India pada waktu itu mendukung dan melindungi Ahmadiyah, karena salah satu ajaranya sangat disukai mereka, yaitu jihad dalam Islam bukan dengan senjata tetapi dengan lisan saja.

Pos Terkait:  Sifat-Sifat Allah: Sifat Wajib, Sifat Muhal dan Sifat Jaiz Allah

Nama Ahmadiyah tidak dimbil dari nama Mirza Ghulam Ahmad, melaikan diambil dari nama Rasulullah  yaitu Ahmad  yang disebutkan dalam  Al-Quran surat Ash Shaff ayat 6.

Pemberian nama Ahmadiyah ini dimaksudkan agar para pengikut gerakan ini menghayati perjuangan Nabi Muhammad dalam membela dan menyiarkan Islam secara jamali, yakni keindahan, keelokan dan kehalusan budi kerti dan secara jalali, yakni keagungan dan kebesaran pribadi Nabi  Muhammad.

Tragedi di dalam internal Ahmadiyah terjadi sejak pemimpin mereka Mirza Ghulam Ahmad meninggal pada 26 Mei 1908 di kota Lahore dan kemudian dimakamkan di kota Qadian. Di nisan makamnya atas persetujuan masyarakat Ahmadiyah ditulis “Janab Mirza Ghulam Ahmad Sahid Qadiani: Pemilik Qadian. Al Masih Yang Dijanjikan, Mujaddid abad keempat belas. Tanggal wafatnya : 26 Mei 1908 “. Namun kemudian tulisan Mujaddid abad keempat belas ada yang menghilangkanya. Hal ini diakui oleh harian Rabwah Al-Fadl di Pakistan pada 15 September 1936.

Setelah Hazrat Maulana Al Haj Hakim Nuruddin wafat yang merupakan ulama terkenal pada masa itu dan juga penerus dakwah Mirza Ghulam Ahmad, Tanggal 14 Maret 1914 terpilihlah Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad sebagai pengganti. Kemudian dia mengeluarkan pernyataan :

  1. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi.
  2. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah yang diramalkan dalam Al-Qur’an surat Ash Shaff ayat 6.
  3. Semua orang Islam yang tidak berbaiat kepada beliau adalah keluar dari Islam.

Sebelumnya Hazrat Maulana Al Haj Hakim Nuruddin juga pernah memberikan pernyataan bahwa pendiri Ahmadiyah adalah Nabi dalam arti yang hakiki, dan barang siapa yang tidak mengakui dia sebagai nabi dianggap keluar dari Islam.

Ahmadiyah kemudian pecah menjadi dua golongan, yaitu Ahmadiyah Qadian yang berpusat Rabwah Pakistan di bawah pimpinan Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad, putera Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Satunya lagi berpusat di Lahore, Pakistan di bawah pimpinan Maulana Muhammad Ali, sekretaris almarhum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Kedua kelompok Ahmadiyah tersebut, masing-masing mempunyai cabangnya di Indonesia. Ahmadiyah Qadian bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Ahmadiyah Lahore bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Lahore merupakan ibukota Punjab dan kota kedua terbesar di Pakistan. Kota ini merupakan salah satu negara bagian terpenting Kesultanan Mughal dan dikenal sebagai Taman Mughal. Penduduk Lahore sangat padat, menjadikannya kota kelima paling banyak penduduknya di Asia Selatan.

Perpecahan terjadi karena golongan Ahmadiyah Qadian menganggap bahwa Hazrat Mirza ghulam Ahmad adalah Nabi, sedangkan Ahmadiyah Lahore menganggapnya hanya seorang Mujaddid. Pernyataan yang menggemparkan ini menyebabkan hampir semua umat Islam terusik dan tidak menyetujui. Dengan adanya pernyataan itu, Maulana Muhammad Ali yang menjabat sebagai sekretaris dari Ahmadiyah tidak menyetujui dan berpindah ke Lahore. Kemudian kelompok yang menyetujui pernyataan Hazrat Bashiruddin Mahmud Ahmad disebut kelompok Qadiani yang pemimpinya disebut Khalifathul, sedangkan yang tidak menyetujui disebut kelompok Lahore yang pemimpinya disebut Amir (pemimpin).

Gerakan Ahmadiyah Lahore menganut aliran Ahlul Sunah wal jama’ah dan berpegang teguh pada Qur’an dan Hadist serta rukun iman dan Islam yang sudah baku dan berkayakinan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir. Gerakan Ahmadiyah Lahore tidak mempunyai kitab suci selain Al-Qur’an karena Al-Qur’an sudah sempurna dan lengkap, tidak mengenal teori Nasikh – mansukh.  Siapapun yang mengucapkan dua kalimat sahadat adalah muslim dan tidak boleh disebut kafir.

Menurut pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, misi Ahmadiyah adalah untuk menghidupkan Islam dan menegakkan syari’ah Islam. Tujuan didirikanya adalah untuk memperbaiki moral Islam dan nilai-nilai spiritual. Ahmadiyah bukanlah agama baru namun merupakan bagian dari Islam. Gerakan Ahmadiyah juga mendorong dialog antar agama serta berusaha untuk memperbaiki kesalah pahaman mengenai Islam dan dunia Barat. Gerakan ini menganjurkan perdamaian, toleransi, kasih dan saling pengertian di antara pengikut agama yang berbeda, serta menolak kekerasan dan teror dalam bentuk apapun untuk alasan apapun.

Demikian penjelasan Aliran-Aliran  dalam Islam. Semoga bermanfaat.

Baca juga: Qadha’ dan Qodar

Penulis: Abd. Muqit