7 Fungsi dan Manfaat Al-Qur’an Dalam Kehidupan Sehari-hari
7 Fungsi dan Manfaat Al-Qur’an Dalam Kehidupan Sehari-hari

Sejarah Kodifikasi Al-Quran Pada Masa Abu Bakar, Umar, dan Utsman

Posted on
Pendahuluan

Secara historis perjalana pembukuan al-Qur’an memang tidak serumit pembukuan hadits. Namun bukan berarti bahwa proses kodifikasi al-Qur’an tidak menarik untuk ditinjau ulang.dalam bahasa Arab, kodifikasi sering diistilah dengan kata jamaa’ dalam bahasa Arab kata “jamaa” memiliki arti menyusun yang terpisah atau yang tidak beraturan,yaitu mengumpulkan sesuatu dengan semakin dekat yang bagian yang satu dengan yang lain.

Dalam ilmu Al-Qur’an kata jamaa memiliki dua arti yang mana dari makna itu melahirkan pemaknaan yang luas .Yang Pertama jamaa memiliki makna yaitu hafalan semuanya.dan makna yang kedua yaitu catatan Al Qur’an semuanya dalam bentuk tulisan dari ayat dan surat yang masih terpisah-pisah berkumpul menjadi satu. Mushaf Al Qur’an yang ada ditangan kita sekarang ternyata melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurang lebih 1400 tahun yang silam dan memiliki latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui.

Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an

Kodifikasi Al-Quran (jamul Qurān) dalam pembahasan ini dimaksudkan sebagai proses penyampaian, pencatatan dan penulisan Al-Qur’an sampai dihimpunnya catatan-catatan serta tulisan-tulisan tersebut dalam satu mushaf secara lengkap dan tersusun secara tertib.Dalam berbagai literatur, penggunaan istilah jamul Qurān (pengumpulan Al-Quran) lebih sering digunakan dari pada istilah kitābāt Al-Qurān (penulisan Al-Quran)ataupun tadwīn Al-Quran (pembukuan Al-Qur’an).

Para ulama’ yang memakai istilah jam’ul Qurān mengartikannya dengan Al-jamu fī Al-ṣudūr (yaitu proses penghafalan Al-Quran) dan Al jam’u fī Al-suṭūr (yaitu proses pencatatan dan penulisan Al-Quran). Sekalipun terdapat perbedaan penggunaan istilah sebagaimana paparan di atas, dalam prakteknya istilahistilah tersebut mengandung maksud yang sama, yaitu proses penyampaian, pencatatan hingga penghimpunan catatan-catatan tersebut ke dalam satu mushaf.

Kodifikasi Al-Qur’an dibicarakan secara detail dalam kajian ulumul qur’an untuk menunjukkan besarnya perhatian kita pada Al-Qur’an, pencatatan dan kodifikasinya. Besarnya perhatian terhadap Al-Qur’an berikut pencatatan dan kodifikasinya ini, menurut As-Shabuni, melebihi perhatian orang terhadap kitab samawi sebelumnya. Adapun Al-Qur’an diturunkan kepada seorang nabi yang tumbuh dalam kultur masyarakat yang ummi sehingga ia mengerahkan perhatiannya untuk menghafal Al-Qur’an untuk mengingatnya sebagaimana diturunkan kepadanya.

Ia kemudian membacakannya dengan tenang kepada para sahabatnya agar mereka menghafalnya sebagaimana keterangan Surat Al-Jumuah ayat. Dalam kultur masyarakat ummi, Rasulullah mengandalkan daya hafal dan daya ingatnya karena tidak membaca dan menulis.

Demikian kondisi bangsa Arab secara umum ketika Al-Qur’an diturunkan. Bangsa Arab ketika itu menikmati betul kekhasan bangsanya, yaitu mempunyai daya ingat yang baik dan mempunyai kecepatan hafalan atas sesuatu. (As-Shabuni, 2016 M: 50). Bangsa Arab sanggup menghafal ratusan ribu syair. Mereka dapat mengenali secara urut nasab dan keturunan seseorang atau suatu klan di luar kepala. Mereka sanggup memahami sejarah.

Pos Terkait:  Pengertian Mukjizat Al-Qur’an dan Macam-Macam Mukjizat Al-Qur’an

Jarang sekali mereka yang tidak memahami keturunan dan nasab keluarganya atau tidak menghafal syair-syair terbaik karya para sastrawan Arab hebat yang digantung di Ka’bah. Rasulullah SAW memberikan perhatian luar biasa kepada Al-Qur’an. Rasulullah SAW menghidupkan malam dengan membaca Al-Qur’an di dalam ibadah sembahyang, membacanya di luar sembahyang, dan merenungkan maknanya sehingga kedua kakinya memar karena terlalu lama berdiri dalam shalat malam untuk membaca Al-Qur’an sebagaimana keterangan Surat Al-Muzzammil. Tentu tidak heran kalau Rasulullah SAW bergelar sayyidul huffazh. Ia memeliharan Al-Qur;an dalam hatinya dan menjadi rujukan umat Islam di masanya perihal Al-Qur’an. (As-Shabuni, 2016 M: 50). 

Sejarah Kodifikasi Al-Pada Masa  Abu bakar 

Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Abū BakarPada masa kekhalifahan AbūBakar, terjadilah kekacauan di kalangan umat Islam.yang ditimbulkan oleh orang-orang murtad di bawah pimpinan Musailamah Al-Każżāb. Hal ini mengakibatkan terjadinya perang Yamāmah yang terjadi pada tahun 12 H. Dalam peperangan tersebut, banyak sahabat penghafal Al-Quran yang meninggal hingga mencapai 70 orang, bahkan dalam satu riwayat disebutkan 500 orang.

Sementara umat Islam yang gugur dalam peperangan tersebut kurang lebih berjumlah 1.200 orang. Tragedi Yamāmah ini menggugah hati Umar bin Khaṭṭāb untuk meminta kepada khalifah Abū Bakar agar Al-Qur’an segera dikumpulkan dan ditulis dalam sebuah mushaf. Umar khawatir Al-Qur’an akan berangsur-angsur hilang bersamaan dengan meninggalnya para penghafalnya.

Sekalipun pada awalnya ragu terhadap gagasan Umar ini, tetapi akhirnya Abū Bakar menerimanya, kemudian memerintahkan Zaīd bin Ṡābit untuk segera mengumpulkan Al-Qur’an dan menulisnya dalam satu mushaf. Setelah Abū Bakar wafat, mushaf terjaga dengan ketat di bawah tanggung jawab,Umar bin Khaṭṭāb, sebagai khalifah kedua. Di masa Umar bin Khaṭṭāb, mushaf itu diperintahkan untuk disalin ke dalam lembaran (ṣaḥīfah).Umar tidak menggandakan lagi ṣaḥīfah itu, karena memang hanya untuk dijadikan naskah orisinil, bukan sebagai bahan hafalan.

Setelah seluruh rangkaian penulisan selesai, naskah tersebut diserahkan kepada Ḥafṣah binti Umar (istri Rasulullah SAW) untuk disimpan.Dengan demikian, dapatdikatakan bahwa Umar bin Khaṭṭāb sebagai penggagas intelektual (Intellektuelle Urheber), sedangkan Abū Bakar merupakan orang yan memerintahkan pengumpulan (dalam kapasitasnya sebagai penguasa) dan menunjuk pelaksana teknis, serta menerima hasil pekerjaan berupa muṣḥaf Al-Qur’an.

Pos Terkait:  TIGA CARA AMPUH MEMPERKUAT UKHUWAH DITENGAH PANDEMI COVID-19

Berdasarkan paparan di atas, minimal terdapat dua motif yang bisa diajukan kaitannya dengan praktek pengumpulan Al-Quran pada masa Abū Bakar. Pertama, motif didasarkan pada kenyataan bahwa Nabi SAW belum mengumpulkan Al-Quran dalam suatu mushaf tunggal hingga wafatnya. Kedua motif yang didasarkan pada kenyataan wafatnya sejumlah penghafal Al-Quran pada pertempuran Yamāmah yang menimbulkan kecemasan Umar bin Khaṭṭāb akan hilangnya bagian-bagian Al-Quran.

Untuk motif pertama, memang dapat dipastikan bahwa Nabi SAW. sama sekali tidak meninggalkan kodeks Al-Quran dalam bentuk lengkap dan resmi yang bisa dijadikan pegangan bagi umat Islam, tetapi untuk motif kedua.terdapat beberapa kritik yang ditujukan kepadanya. Telah jelas bahwa terdapat upaya serius dan sadar di kalangan sahabat Nabi SAW untuk memelihara wahyu dalam bentuk tertulis, seraya tetap berpatokan pada petunjukpetunjuknya tentang komposisi kandungan kitab suci tersebut.

Jadi, wafatnya sejumlah penghafal Al-Qur’an barangkali bukan merupakan alasan utama untuk mencemaskan hilangnya bagian-bagian Al-Qur’an.Di samping itu, kritikan yang lebih tajam dikemukakan oleh para pemikir Barat. Sebagaimana keterangan di atas, bahwa jumlah penghafal yang gugur pada peristiwa Yamāmah sebanyak 70 orang (bahkan menurut riwayat lain 500 orang).

Namun ketika nama-nama para penghafal Al-Qur’an ditelusuri dalam daftar orang-orang yang gugur (seluruhnya berjumlah 1200 orang) ternyata hanyaditemukan sejumlah kecil nama yang mungkin menghafal banyak Al-Quran. bahkan menunjukkan yang gugur ketika itu hampir seluruhnya pengikut baru Islam.

Sementara Schwally menyebutkan bahwa dari pemeriksaannya terhadap daftar nama-nama penghafal Al-Qur’an yang gugur, ia hanya menemukan dua orang yang bisa dikatakan memiliki pengetahuan Al-Qur’an yang meyakinkan, yaitu Abdullāh bin Ḥafsh ibn Gānim dan Sālim bin Ma’qil. Dengan demikian, pengaitan motif pengumpulan Al Qur’an pada masa Abū Bakar dengan gugurnya sejumlah besar penghafal Al-Qur’an dalam pertempuran Yamāmah sangat sulit dipertahankan

Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an Pada Masa Utsmān bin Affān 

Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan yang dicatat oleh umat Islam.Informasi ini bisa ditemukan dalam kitab hadith dan buku-buku yang memuat tentang sejarah Al-Qur’an atau buku- buku Ulumul Qur’an.Pada tahun 30 H Huzaifah bin al-Yaman dan Sa’id bin al-Ash pulang ke Madinah dari Azerbeijan. Dalam perjalan menuju Madinah Huzaifah mengatakan, “Dalam beberapa perjalanan yang aku lakukan, aku melihat ada masalah besar yang tengah menimpa umat Islam.

Bila hal ini tidak ditanggapi, maka akan terjadi perselisihan di kalangan umat Islam tentang al-Qur’an. Sa’id bin Ash bertanya, “Apa masalahnya?” Aku melihat penduduk Himsh mengklaim bahwa qira’atnya lebih bagus dari qira’at yang lain. Mereka mempelajari Qira’at dari al- Miqdad.

Pos Terkait:  Tiga Golongan Manusia di Akhirat dalam Surah Al-Waqi'ah

Demikian juga penduduk Damaskus juga melihat bahwa qira’at mereka lebih bagus dari yang lainnya. penduduk Kufah yang belajar qira’at dari Abu Musa dan menamai Mushaf Abu Musa dengan Lubab al-Qulub juga mengklaim qira’at mereka lebih bagus. Setelah mereka berdua sampai di Kufah, mereka menyampaikan kepada penduduk Kufah tentang kekhawatirannya.

Mayoritas para sahabat dan para tabi’in menyetujui pendapat Huzaifah tersebut, Namun kalangan pengikut qira’at Ibnu Mas’ud mempertanyakan kepada Huzaifah’ qira’at mana yang kiranya anda inkari dari qira’at kami? Mendengar jawaban dari pengikut Ibnu Mas’ud ini, Huzaifah merasa marah sambil mengatakan “ Kalian adalah penduduk yang nomaden, oleh sebab itu diamlah! Sungguh kalianlah yang salah. Demi Allah, bila aku masih hidup, maka aku akan melaporkan hal ini kepada amirul mukminin dan aku akan meminta kepada beliau untuk menyelesaikan masalah ini.

Dengan rasa kekhawatirannya yang tinggi , Huzaifah ketika sampai ke Madinah melaporkan tentang apa yang diamatinya dan diperhatikannya selama perjalananya dari Azerbeijan kepada khalifah Usaman bin Affan. Ini sebagai sinyal bahwa dia sebagai salah seorang dari kalangan pimpinan umat Islam pada waktu itu memiliki tanggung jawab moral yang sangat besar terhadap Al-Qur’an dan juga kesatuan umat.

Baca juga: Membangun Kerukunan Antar Umat Beragama

Kesimpulan

Berdasarkan semua penjelasan di atas, ternyata sejarah kodifikasi Al-Qur’an tidak sesederhana yang diasumsikan umumnya umat Islam. Sebab dalam proses itu, ada problem transmisi dari tradisi lisan ke tradisi tulis. Secara umum, ada perbedaan esensial antara penulisan Al-Qur’an yang dilakukan pada masa Nabi SAW dengan penulisan Al-Quran yang dilakukan pada masa Abu Bakar, ataupun Umar bin Khaṭṭāb.dari tiap nabi tersebut masing masing sangatlah berbeda dan masing masing mempunyai cara tersendiri.dari sini diharapakan mahasiswa untuk bisa mengetahui lebih mendalam mengenai kodifikasi Al Qur’an pada masa masa khilafah.

Penulis: Rafli Nuridha

Refrensi:

  1.  Effendi Rustam  dan  Tuwah Muhammad, Kodifikasi Al Qur’an.
  2. Kurniawan, Alhafish, ilmu Al Quran.
  3. Munawir, Ilmu Al Qur’an dan tafsir,  Vol. 3 ,No.2 Juli-Desember 2018.
  4.  sholikhah lavinatus,mardiati dan  rosyidah Linda .Ilmu Al Qur’an tafsir dan pemikiran Islam.vol.1,No.2, September 2020.