Iqipedia.com – Dalam islam, akhlak menjadi sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi pemeluknya, yang menjadikan seseorang mendapatkan kepuasan serta kebahagiaan baik dunia maupun akhirat. Islam merupakan agama yang memerintahkan orang-orang yang mengikuti ajarannya dengan tepat dari Allah Swt dan Rasul-Nya. Islam memberikan salam dan keselamatan yang diberikan oleh Allah kepada umatnya. Keselamatan ini bukan hanya keselatan di muka bumi sata, tetapi keselamatan di akhirat pula. Ahklak merupakan bagian yang tidak akan pernah bisa terpisahkan dari keberadaan manusia dan agama islam. Akhlak yang baik akan menuntuk seseorang dalam menjalani kehidupan yang tenang dan penuh dengan kedamaian.
Seperti halnya, yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Nomor 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1, menyatakan bahwa “Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Akhlak mulia yang diajari Islam adalah petunjuk yang harus dipegang oleh setiap muslim. Akhlak adalah bagian dari umat manusia yang fundamental dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan manusia, bahkan untuk mengenali makhluk dan manusia terletak pada etikanya. Orang yang tidak punya akhlak setara dengan makhluk, manfaatnya orang hanya pandai berkata-kata. Kedaruratan akhlak terjadi dengan alasan bahwa sebagian besar tidak perlu lagi memperhatikan arah agama, yang secara normatif membantu para pengikutnya untuk mencapai sesuatu yang bermanfaat, untuk meninggalkan perbuatan yang maksiat.
Pendidikan Islam yang hakiki adalah meyakini keesaan Tuhan (tauhid). Keyakinan ini menyatakan bahwa tiada Tuhan selain Allah. Seorang individu yang tauhid mutlak Yang Esa dan adil sebagai Pencipta dan sifat-sifat selain Dia sebagai hewan-Nya. Dengan demikian, hubungan manusia dengan Tuhan tidak dapat disamakan dan dipandang sebelah mata. Perincian tauhid seperti itu menunjukkan adanya kewajiban manusia kepada Tuhan sebagai titik pusat penghormatan, penghayatan, dan sebagai mata air utama yang bernilai signifikan. Pengertian tauhid ini dapat digambarkan dengan pesan singkat tayyibah: La ilaha illa Allah, yang mengandung makna bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Dalam Islam, tauhid memiliki posisi yang sangat sentral dan fundamental. Tauhid bukan hanya sumber contoh pemikiran, cara pandang, dan perilaku, tetapi pada saat yang sama merupakan kondisi vital untuk menoleransi dan mengabaikan perbuatan seseorang. Tauhid yang sejati mendorong kejujuran dan jiwa lain, yang mendorong seseorang untuk lebih berguna dalam hal-hal tertentu.
Pengertian Ilmu Akhlak
Jika dilihat dari segi etimologis, akhlak berasal dari bahasa Arab, khususnya isim mashdar dari kata akhlaqa, yukbliqu, ikhlagan yang mengandung makna al-sajiyah (temperatur), ath-thabi’ah (perilaku, tabi’at, pribadi yang mendasar), al – ‘adat (kebiasaan), al-mari’ah (perkembangan besar), dan al-din (agama). Klarifikasi awal kata akhlak ini dipandang kurang tepat, karena isim mashdar dari kata akhlaqa bukanlah akhlaq melainkan ikhlaq. Oleh karena itu, ada penilaian yang mengatakan bahwa secara etimologis kata akhlaq adalah isim jamid atau isim ghair mustaq, khususnya isim yang tidak memiliki akar kata, namun kata tersebut sampai sekarang demikian. Kata kualitas mendalam adalah jamak dari kata khilqun atau khuluqun yang memiliki arti yang sama dengan kata akhlak yang mendalam seperti yang baru-baru ini dirujuk.
Adapun pengertian secara terminologi yang dikemukakan oleh para ulama akhlak antara lain sebagai berikut:
- Ilmu akhlak merupakan ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara terpuji dan yang tercela, serta tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin.
- Ilmu akhlak merupakan ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian mengenai tentang baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka.
Ilmu akhlak membahas sifat-sifat manusia yang buruk dan baik. Apakah sifat-sifat itu tetap atau mungkin dapat diubah dan bagaimana tata cara pergaulan yang baik dan benar . Ilmu akhlak memberikan jalan dan membuka pintu hati kepada orang yang berbudi pekerti baik dan hidup berjasa dalam kehidupan bermasyarakat. Berbuat dan beramal untuk mencapai kebahagiaan dunia maupun akhirat.
Perbuatan atau tingkah laku manusia dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut:
- Perbuatan yang disengaja (iradiyah), yaitu perbuatan yang dikerjakan oleh seseorang yang didorong oleh buah pikiran, usaha, dan kemauannya sendiri, seperti menulis surat, memberi sedekah, berpidato, memarahi orang lain, memfitnah, dan lain sebagainya.
- Perbuatan yang tidak disengaja (tidak iradiyah), yaitu perbuatan yang terjadi secara reflek, yang mana tidak timbul dari pikiran dan kesengajaan. Umpamanya memejamkan mata dan membuka mata setiap hari. Begitu juga usus manusia yang bekerja secara otomatis dalam mencerna makanan, paru-paru yang mengatur pernafasan, jantung kembang kempis mengatur perputaran darah dalam tubuh manusia. Hal-hal ini terjadi tanpa pemikiran dan ikhtiar, ia berjalan dengan sendirinya.
Ilmu akhlak membahas mengenai amal perbuatan yang disengaja (iradiyah) saja. Tindak tanduk yang digolongkan kepada perbuatan baik atau buruk, terpuji atau tercela, dan berpahala atau berdosa. Hal-hal yang terjadi secara reflek (tidak iradiyah) seperti tersebut di atas tidaklah masuk dalam pembahasan seputar ilmu akhlak.
Menurut al-Ghazali yang dikutip Oemar Bakry:
“Akhlak ialah sifat yang melekat dalam jiwa sesorang yang menjadikan ia dengan mudah bertindak tanpa banyak pertimbangan lagi”. Atau boleh juga dikatakan sudah menjadi kebiasaan. Orang yang pemurah sudah biasa memberi, ia memberi tanpa banyak pertimbangan lagi, seolah-olah tangannya sudah terbuka lebar. untuk itu. Begitu juga orang kikir, seolah-olah tangannya sudah terpaku dalam kantongnya, tidak mau keluar untuk mengulurkan bantuan kepada fakir miskin. Begitu juga orang pemarah, selalu saja marah tanpa ada alasan.”
Sementara menyinggung makna akhlak atau ilmu akhlak, cenderung disimpulkan bahwa subjek ilmu akhlak adalah kegiatan manusia dari perspektif baik dan buruk. Pada akhirnya, objek kajian ilmu akhlak dihubungkan dengan penilaian aktivitas atau perilaku manusia yang sadar. Untuk memprotes penyelidikan ilmu akhlak, Ahmad Amin menjelaskan bahwa perhatian utama yang mendesak dari ilmu akhlak adalah semua aktivitas yang muncul dari individu-individu yang melakukannya dengan sengaja, dan dia tahu kapan harus melakukan apa yang dia lakukan.
Ilmu akhlak berperan sebagai dorongan yang memberikan kesempatan kepada individu untuk memiliki celah guna untuk memperbaiki cara berperilakunya, meskipun hal itu tidak menjamin bahwa individu yang mempelajarinya akan menjadi seorang individu orang baik. Mungkin studi tentang kualitas etis tidak memastikan bahwa individu yang berkonsentrasi padanya akan memiliki akhlak yang hebat, namun pada dasarnya studi tentang kualitas mendalam memberikan informasi tentang hebat dan buruk. Ilmu akhlak juga menunjukkan kepada orang-orang yang berkonsentrasi padanya tidak hanya menyadari apa yang baik dan apa yang buruk, tetapi juga menunjukkan apa akibat dari kebaikan dan keburukan bagi orang-orang yang menjalankan atau meninggalkannya.
Ilmu akhlak menjadi pendorong dalam menilai dirinya sendiri serta menjadi pendorong bagi sesorang yang ingin memperbaiki diri dengan senantiasa melakukan hal-hal kebaikan. Seperti matahari pada siang hari, yang mana ilmu akhlak dapat terlihat jelas, baik maupun buruknya sehingga mudah untuk seseorang dalam memilah dan memilih baik ataupun buruknya, begitu juga seperti bulan dan bintang pada waktu malam. Saat ini mempelajari ilmu akhlak menjadi hal terpenting dan sangat utama, agar masyarakat dapat mengetahui arah timur, barat, utara, dan selatan dengan tujuan agar masyarakat tidek tersesat dalam melakukan perjalanannya.
Menurut Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali (w. 505 H) dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menyatakan bahwa, akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang dapat menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang serta mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Oleh karena itu, ilmu akhlak merupakan ilmu yang objek pembahasanya mengenai tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang baik maupun buruk. Ciri-ciri perbuatan akhlak, antara lain:
- Perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.
- Perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa adanya pemikiran.
- Perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang timbul dari dalam diri seseorang tanpa adanya paksaan ataupun tekanan yang berasal dari luar, bukan karena main-main ataupun karena sandiwara.
- Perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang dilakukan secara ikhlas karena Allah Ta’ala, bukan karena hanya untuk ingin dipuji oleh orang-orang.
Dalam konteks syari’at, akhlak merupakan manifestasi dari ibadah. Dengan menyadari bahwa akhlak itu sangat penting, maka akan mengetahui betapa besar manfaat hidup yang sesungguhnya serta mengetahui tujuan hidup yang sesungguhnya. Al-Qur’an tidak hanya sekedar untuk dibaca maupun dihafal, namun yang lebih penting merupakan meresapi seluruh isi maupun kandungan yang ada di dalamnya. Tidak akan bisa hidup sesuai dengan akhlak yang mulia jika tidak memahami pesan dalam Al-Qur’an dengan sumber-sumber ajarannya, minimal bisa mengerti maksud dan tujuan dijadikannya sebagai Al-Qur’ gunu untuk petunjuk maupun pedoman bagi hidup manusia.
Adapun manfaat dalam mempelajari ilmu akhlak secara detail dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Memberikan pedoman yang jelas bagi manusia guna untuk bertindak baik dan benar
- Memimbing jiwa manusia pada jalan yang benar penuh dengan kebaikan dan kemuliaan
- Memberi petunjuk mengenai hak dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan aturan serta norma yang berlaku
- Membentuk jiwa manusia menjadi mukmin yang sejati
- Memberi kemudahan dalam memahami dengan ilmu-ilmu yang lainnya.
- Menemukan makna serta tujuan kehidupan dan kebahagiaan yang sesungguhnya.
- Meningkatkan keimanan serta ketakwaan
- Menjauhkan diri dari tindakan yang buruk dan akhlak yang tercela.
- Menjadikan manusia menjadi manusia yang beruntung
- Mendapatkan pahala yang tanpa batas
- Membukakan jalan menuju surga
Setiap ilmu yang dipelajari pastinya mempunyai tujuannya masing-masing, tetapi tujuan mempelajari ilmu akhlak ini sangat berbeda dengan mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya. Tujuan mempelajari ilmu akhlak adalah untuk mrningkatkan keimanan serta ketakwaan, untuk menuntuk pada hal-hal kebaikan, serta memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan mengatur tatacara hidup bertetangga yang sebagaimana mestinya, mengatur adab serta pergaulan sesama individu, masyarakat bangsa dan negara.
Pengertian Ilmu Tauhid
Secara etimologis, tauhid berasal dari kata wahhada dengan memanfaatkan al-syiddah yang artinya menjadi satu (ja’alahu wahidan). Dalam Mu’jam Makayis allughah, tauhid disamakan dengan al-Wawu wa al-Ha’u wa al-Dalu yang awalnya menyinggung makna al-infird yang mengandung makna kesatuan. Dari segi susunan kata, tauhid menyiratkan keesaan Allah, sebagai substansi utama dalam Rubûbiyyah-Nya, Uluhiyyah-Nya, setiap puji-pujian-Nya, dan nama-nama-Nya. Fakhruddn ar-Râzî mengartikan sebagai karya untuk membuktikan diri dengan menetapkan bahwa tiada Tuhan selain Allah. Artinya, bahwa Allah itu Esa, namun mengakui keesaan-Nya pada informasi yang luas.
Menurut Hasbi Ash-Shiddiqi, ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas tentang cara-cara memutuskan aqidah yang tegas dengan memanfaatkan naqli, dan aqli. Sementara itu, menurut Hasan Hanafi, kajian tauhid adalah ilmu yang menempatkan tauhid sebagai keyakinan utama atau keyakinan fundamental. Dari sini muncul keyakinan dari keyakinan yang berbeda melalui derivasi. Informasi ini dirayakan oleh Muhammad Abduh dalam Risalah Tauhidnya. Ilmu ini juga biasa disebut ilmu tauhid wa al-shifah (Hassan Hanafi, Islamologi I, 2).
Baca juga: Urgensi Edukasi Ilmu Tauhid Dalam Keluarga
Arti penting tauhid adalah beriman kepada keberadaan Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, baik substansi, sifat, maupun perbuatan-Nya. Dialah orang yang mengutus rasul-rasul-Nya untuk mengarahkan umat manusia ke jalan kebaikan, kemudian meminta pertanggungjawaban di alam agung dan mengganjarnya atas apa yang telah dilakukannya di dunia ini, baik positif maupun negatif. Akibatnya membenarkan gagasan bahwa orang-orang Arab Quraisy di masa Jahiliyah memiliki keyakinan karena mereka beriman kepada Allah namun tidak menyerahkan kecintaan mereka dan tidak percaya pada Muhammad sebagai Rasul Allah.
Dikenal sebagai kajian tauhid karena topik pembicaraan berpusat pada Keesaan Allah SWT, karena tauhid menempatkan saham pada Tuhan yang tak tertandingi dan menerima bahwa tidak ada yang bersekutu dengan-Nya. Tauhid adalah solidaritas Allah dengan hampir tanpa ketidakpastian dan ini adalah salah satu komposisi kenabian kunci untuk diteruskan kepada orang-orang. Dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Hadist, peneliti membagi paham tauhid menjadi dua, yaitu tauhid Uluhiyah dan tauhid Rububiyah.Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah sebagai Ilah yang berhak untuk disembah, karena itu tauhid uluhiyah ini sangat erat kaitannya dengan konsep Tauhid ibadah, yaitu beribadah hanya kepada Allah. Tauhid Rububiyah adalah mengesakan Allah sebagai murabbi (pemelihara, penguasa dan pemberi rejeki) yang memiliki keistimewaan untuk dimintai pertolongan (lihat Bisri Affandi, Dirasah Islamiyah I, 23). Itulah sebabnya pembicaraan tentang diri-Nya dikenal sebagai kajian tauhid, lebih tepatnya Keesaan Allah SWT.
Obyek pembicaraan Ilmu Tauhid pada dasarnya adalah tiga hal, lebih spesifik: tentang Tuhan (Tuhan), tentang nubuah (kenabian) dan tentang sam’iyat, yaitu sesuatu yang didengar dari Al-Qur’an dan hadits nabi. seperti berita tentang alam luar yang besar, surga dan kutukan. , utusan surgawi, dll. Pembicaraan tentang Tuhan berhubungan dengan para pengikut-Nya dan af al-Nya (perbuatan-Nya). Apakah sifat dan perbuatan Tuhan itu suatu zat atau sesuatu bukan zat melainkan tidak dapat dipisahkan dari zat. Hal ini memicu diskusi panjang di kalangan peneliti seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah. Tentang kenabian, seseorang yang mendapat wahyu ilahi adalah seorang nabi atau misionaris. Nabi atau misionaris adalah orang adat yang dipilih oleh Tuhan untuk mendapatkan wahyu dari-Nya, seorang nabi mendapat kabar dari Tuhan tanpa melalui perantara orang lain. Perbedaan kemampuan antara para nabi dan saksi adalah bahwa nabi menyarankan hubungan nabi dengan Allah swt dengan alasan bahwa ia mendapat kabar dari-Nya. Sementara para misionaris juga mendapat wahyu ilahi yang harus diteruskan kepada orang-orang. Misionaris menyiratkan hubungannya dengan orang-orang tentang kewajibannya untuk menyampaikan pesan Allah SWT (al-Syikh Ahmad Dasuki, Hasyiah al-Dasuki ala ummu al-Barahin, 175).
Tentang sam’iyat mengenai masalah ketuhanan dan kenabiann, layak untuk ditelaah melalui metodologi yang berkepala dingin, mental, sosial, serta melalui perdebatan berbasis teks (naqli). Berita-berita (sam’iyat) dari Tuhan dan para nabi, misalnya alam semesta, surga, dan siksaan juga merupakan bahan kajian Ilmu Tauhid yang sangat penting sesuai dengan tata cara hidup manusia di muka bumi yang sangat penting untuk mengakui keadilan. yang belum diakui di planet ini, yang penting ada satu hari lagi untuk mencapai keadilan Tuhan.
Tujuan mempelajari ilmu tauhid adalah tentang Allah melalui nikmat-Nya, serta para utusan-Nya agar dijauhkan dari pemahaman taqlid yang dapat mendorong pemahaman yang salah. Gunakan itu untuk kesejahteraan hidup di dunia ini dan di akhirat yang besar. Dalam membangun kajian tauhid, terdapat dua sumber pokok, yaitu sumber ideal dan sumber otentik. Sumber yang ideal merupakan al-Qur’an dan hadits. Sumber-sumber yang dapat diverifikasi adalah penyempurnaan renungan yang berkaitan dengan kemungkinan Ilmu Tauhid, baik pertimbangan lahiriah bagi umat Islam maupun pertimbangan lahiriah yang masuk ke dalam keluarga Muslim, yang memungkinkan mereka untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan dari luar Islam, seperti renungan dari Yunani dan Persia.
Salah satu kajian pokok mendasar Tauhid adalah masalah ketuhanan yang sangat penting dalam Islam. Dalam ranah nalar, persoalan alam surga juga menjadi objek kajian utama, hanya saja teknik yang digunakan para ahli logika dalam memaknai kehadiran Tuhan adalah strategi yang benar-benar berkepala dingin, sedangkan para peneliti kalam menggunakan strategi naqli. mengingat pertentangan Al-Qur’an dan hadits Nabi). Namun, tidak menutup kemungkinan adanya perdebatan aqli (strategi yang masuk akal). Menurut Hasbi Ash-Shiddiqi dalam kajian Tauhid, ada tiga strategi pendekatan, khususnya teknik naqli, aqli dan wijdani (perasaan halus).
Orang yang bertauhid kepada Allah swt akan senantiasa mendapatkan banyak keutamaan, antara lain:
- Tauhid akan menghapuskan dosa-dosa.
- Orang yang bertauhid kepada Allah swt. akan mendapatkan petunjuk maupun pedoman yang sempurna, dan kelak di akhirat akan mendapatkan keamanan.
- Orang yang bertauhid kepada Allah swt. akan dihilangkan kesulitan serta kesedihannya baik di dunia maupun di akhirat kelak.
- Orang yang bertauhid dalam hatinya akan dijadikan sebagai rasa cinta kepada iman dan menghiasi hatinya, serta dijadikan di dalam hatinya benci kepada kekafiran, kefasikan maupun kedurhakaan.
- Orang yang bertauhid kepada Allah swt. dijamin akan masuk surga.
- Orang yang bertauhid akan senantiasa diberikan kemenangan, pertolongan, kejayaan dan kemuliaan oleh Allah swt.
- Orang yang bertauhid akan diberi kehidupan yang baik oleh Allah swt.
- Tauhid akan mencegah seorang muslim kekal dalam neraka.
- Jika orang yang bertauhid kepada Allah swt. dengan perasaan yang ikhlas, maka amal yang sedikit itu senantiasa akan menjadi banyak.
- Orang yang bertauhid akan selalu merasa aman kapanpun dan dimanapun seseorang berada.
- Tauhid merupakan penentu diterima atau tidaknya amal kita.
- Orang yang bertauhid kepada Allah akan diringankan dari perbuatan yang tidak disukai dan dari penyakit yang dideritanya
- Tauhid akan memerdekakan seseorang hamba dari peghambaan kepada makhluk-Nya, agar menghamba hanya kepada Allah swt. saja yang menciptakan semua makhluk dan alam semesta.
- Orang yang bertauhid kepada Allah swt. akan dimudahkan dalam melaksanakan semua amal-amal kebaikan dan meninggalkan kemungkaran, serta dapat menghibur seseorang dari musibah yang sedang dialaminya.
Hubungan Antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid
IImu Tauhid adalah ilmu yang mempelajari ushuluddin (ilmu dasar-dasar agama), yang menyangkut akidah dan keyakinan. Sementara dalam keyakinan, keyakinan tidak cukup untuk disimpan dalam hati, namun harus dibawa ke dunia dalam kegiatan yang tulus dan sebagai perbuatan besar atau perilaku yang tepat. Ilmu tauhid adalah ilmu yang mengkaji tentang bagaimana cara mempersatukan Tuhan. Keterkaitan antara kajian kualitas yang mendalam dan kajian tauhid harus dapat dilihat melalui empat pembahasan sebagai berikut:
Pertama
Dilihat dari objek pembicaraan, sebagaimana digambarkan di atas, kajian tauhid berbicara tentang persoalan Tuhan baik yang menyangkut zat, sifat, maupun aktivitas-Nya. Keyakinan yang begitu kuat kepada Tuhan akan menjadi alasan untuk mengkoordinasikan aktivitas manusia, sehingga aktivitas manusia akan dikoordinasikan secara eksklusif dalam pandangan Allah SWT. Oleh karena itu, informasi tentang tauhid akan memandu aktivitas manusia untuk bersungguh-sungguh. Kesungguhan ini adalah salah satu orang yang terhormat. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Bayyinah ayat 5:
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلوة ويؤتوا الزكاة وذلك دين القيمة
Artinya “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah ayat 5)
Kedua
Dilihat dari segi fungsinya, kajian tauhid mengharapkan agar individu yang bertauhid tidak hanya perlu mengingat-ingat asas kepercayaan dengan dalil-dalilnya, tetapi terutama, individu-individu yang bertauhid berkedok sebagai subjek yang jujur dalam andalannya. Jika kita menerima bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang mulia, lebih baik bagi orang-orang yang bertauhid untuk mencerminkan sifat-sifat tersebut. Allah SWT, misalnya, adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, (Maha Penyayang dan Maha Penyayang), sehingga manusia harus meniru sifat-sifat ini dengan menumbuhkan mentalitas simpati di planet ini. Demikian pula dalam hal Allah SWT memiliki Asmaul Husna sebagaimana terkandung dalam Asmaul Husna yang ada 99, maka Asmaul Husna harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari secara teratur. Sejalan dengan itu, keyakinan kepada Allah akan mempengaruhi perkembangan pribadi yang mulia.
Ketiga
Dilihat dari erat kaitannya antara iman dengan amal saleh. Dapat diuraikan bahwa suatu keimanan dalam ilmu tauhid sangat erat dengan perbuatan baik dalam ilmu akhlak, yang di mana ilmu tauhid sebagai landasannya, sedangkan ilmu akhlak memberikan penjabaran dan pengalaman tentang ilmu tauhid. Tauhid tanpa akhlak mulia tidak akan ada artinya, dan sebaliknya pula, akhlak mulia tanpa tauhid tidak akan kokoh.
Dapat diartikan bahwa suatu keimanan dalam tauhid itu sangat erat kaitannya dengan perbuatan baik dalam ilmu akhlak, yangg di mana ilmu tauhid itu sebagai landasannya, sedangkan ilmu akhlak memberikan penjabaran dan pengetahuan mengenai ilmu tauhid. Tauhid tanpa akhlak mulia tidak akan ada artinya, begitupun sebaliknya, akhlak mulia tanpa tauhid tidak akan kokoh.
Keempat
Hubungan antara tauhid dengan akhlak digambarkan dalam hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Abu Hurairah,
أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا
Artinya “Orang mukmin yang sempurna imannya ialah yang budi pekerti/akhlaknya.” (HR. Tirmidzi)
Akhlakul karimah merupakan mata rantai dari iman. Sebagai contoh, misalnya perasaan malu (berbuat kejahatan) merupakan salah satu daripada akhlakul mahmudah. Nabi Muhammad SAW dalam salah satu haditsnya menyatakan bahwa,
الحياء من الإيمـان
Artinya “Malu itu bagian dari iman.” (HR. Bukhari).
Hubungan antara tauhid dengan akhlak diibaratkan seperti hukum pantulan cahaya, yang mana hukum tersebut menyatakan bahwa besar kecilnya sinar akan setara dengan sinar pantul, yang sama halnya dengan ilmu tauhid. Semakin kuat tauhid seseorang akan semakin baik pula akhlaknya begitupun sebaliknya, semakin lemahnya tauhid seseorang maka akan semakin buruk juga akhlaknya. Oleh karena itu, para nabi dan ulama tersebut misalnya Fakhruddin ar-Razi secara konsisten mengingatkan bahwa sangat penting membangun kepercayaan diri dengan selalu menelaah kalimat “La illaha illa Allah”. Orang yang selalu melafadkan kalimat tauhid itu senantiasa membangun kepercayaan dirinya untuk menjalin hubungan yang nyaman dengan Tuhan. Kedekatan hubungan dengan Tuhan harus dicapai dengan cara mensucikan hati, jika hatinya bersih maka perbuatan-perbuatan baik akan terus mengalir kepada dirinya, begitupun sebaliknya. Dengan demikian jika tidak memperbaiki akhlaknya, maka kebiasaan moral senantiasa akan hilang, banyaknya mperbuatan maksiat, kenakalan remaja yang sulit dikendalikan dan yang sangat memprihatinkan lagi yaitu mereka telah menjadikan nafsu itu sebagai aktivitas mereka sehari-hari. Itulah sekilas gambaran degradasi moral serta rusaknya akhlak yang muncul pada akhir-akhir ini.
PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu akhlak berperan sebagai dorongan yang memberikan kesempatan kepada individu untuk memiliki celah untuk memperbaiki cara berperilakunya. Ilmu akhlak menjadi pendorong dalam menilai dirinya sendiri serta menjadi pendorong bagi sesorang yang ingin memperbaiki diri dengan senantiasa melakukan hal-hal kebaikan. Mempelajari ilmu akhlak menjadi hal terpenting dan sangat utama, agar masyarakat dapat mengetahui arah timur, barat, utara, dan selatan dengan tujuan agar masyarakat tidak tersesat dalam melakukan perjalanannya. Perbuatan atau tingkah laku manusia dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang disengaja (iradiyah) dan perbuatan yang tidak disengaja (tidak iradiyah).
Arti penting tauhid adalah beriman kepada keberadaan Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, baik substansi, sifat, maupun perbuatan-Nya. Dialah orang yang mengutus rasul-rasul-Nya untuk mengarahkan umat manusia ke jalan kebaikan, kemudian meminta pertanggungjawaban di alam agung dan mengganjarnya atas apa yang telah dilakukannya di dunia ini, baik positif maupun negatif. Tujuan mempelajari ilmu tauhid adalah tentang Allah melalui nikmat-Nya, serta para utusan-Nya agar dijauhkan dari pemahaman taqlid yang dapat mendorong pemahaman yang salah. Tujuan mempelajari ilmu tauhid adalah tentang Allah melalui nikmat-Nya, serta para utusan-Nya agar dijauhkan dari pemahaman taqlid yang dapat mendorong pemahaman yang salah.
Hubungan antara tauhid dengan akhlak diibaratkan dengan hukum pantulan cahaya, yang mana hukum tersebut menyatakan bahwa besar kecilnya sinar akan setara dengan sinar pantul, yang sama halnya dengan ilmu tauhid. Semakin kuat tauhid seseorang akan semakin baik pula akhlaknya begitupun sebaliknya, semakin lemahnya tauhid seseorang maka akan semakin buruk juga akhlaknya. Kedekatan hubungan dengan Tuhan harus dicapai dengan cara mensucikan hati, jika hatinya bersih maka perbuatan-perbuatan baik akan terus mengalir kepada dirinya, begitupun sebaliknya.
Penulis: Umy Khalifatul Hamidah
Referensi:
- Ad-Din, Ishom. 1998. Dalilal-FalihinLi at-thuruqi Riyad as-Sholihin. Kairo: Dar al-Hadits.
- Arroisi, Jarman. 2013. Integrasi Tauhid dan Akhlak Dalam Pandangan Fakhruddin Ar-Razi. Jurnal TSAQAFAH 9(2).
- Bahaf, Muhamad Afif. 2015. Akhlak Tasawuf. Serang: Penerbit A-Empat.
- Darmalaksana, Wahyudin. 2020. Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka dan Studi Lapangan. UIN Sunan Gunung Djati Bandung: Pre-print Digital Library.
- Mahmud, Latief dan Karimullah. 2018. Ilmu Tauhid. Pamekasan: Duta Media Publishing.
- Mas’ud, Ali. 2012. Akhlak Tasawuf. Sidoarjo: Pustaka Jaya.
- Nazar, Bakry. 1994. Tuntunan Praktis Metodologi Penelitian. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
- Ramdhan, Muhammad. 2021. Metode Penelitian. Surabaya: Cipta Media Nusantara.
- Saifullah. 2019. Fiqh Islam. Banda Aceh: Ar-Raisy Press.
- Saputra, Miswar dkk. 2012. Teori Studi Keislaman. Pidie: Yayasan penerbit Muhammad Zaini.
- Saputra, Thoyib Sah dan Wahyudin. 2014. Pendidikan Agama Islam: Akidah akhlak. Semarang: PT Karya Toha Putra.
- Suryana. 2010. Metode Penelitian: Model Praktis Penelitian Kuantitatid dan Kulaitatif. Universitas Pendidikan Indonesia.
- Suyuti, Muh Hikamudin. 2019. Buku Ajar Mata Kuliah Ilmu Akhlak Tasawuf. Klaten: Penerbit Lakeisha.
- Yudiyanto, Mohamad. 2021. Revitalisasi Peran Ekstrakurikuler Keagamaan di Sekolah. Sukabumi: Farha Pustaka.