Kaidah Fiqih Kelima
” اَلعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ “
“Al-‘Adat Muhakkamah”
Artinya: “Adat dapat di jadikan hukum”
Dasar Kaidah Al-‘Adat Muhakkamah
Kaidah ini bersumber dari sabda Nabi SAW :
مَارَآهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
“Apapun yang menurut kaum Muslimin pada umumnya baik, maka baik pula bagi Allah.”
Penjelasan Adat dan Urf
‘Urf adalah kata bahasa arab yang terjemahnya dalam bahasa kita, kurang lebih sama dengan adat, kebiasaan. Jadi ‘urf ini adalah kata lain daripada adat. Adapun masalah-masalah yang masuk dalam kaidah ini cukup banyak, seperti : lamanya masa haidl, masa nifas, apa dan sampai nilai berapakah jual beli yang boleh dilakukan tanpa ijab qabul, dan sebagainya.
Kapankah sesuatu itu dapat disebut adat
Pada dasarnya, suatu perkara dapat dianggap sebagai adat, ialah apabila perkara itu telah terjadi berulang kali, meskipun begitu, berapa kalikah perkara itu berulang, sehingga bisa disebut adat, adalah tergantung kepada masalahnya :
- Ada yang terjadi baru sekali saja sudah dianggap sebagai adat, seperti : seorang anak yang walaupun hanya sekali saja ngompol (kencing pada waktu tidur), ia sudah dapat disebut berpengadatan suka ngompol.
- Ada yang harus berulang tiga kali baru bisa dianggap sebagai adat, seperti, : perkiraan masa haidl dan masa suci.
- Ada yang baru bisa disebut sebagai adat setelah melalui pengulangan lebih dari tiga kali agar lebih mantap tentang kebenarannya, seperti : anjing pemburu, supaya anjing itu benar-benar memiliki keahlian (adat) dalam memburu binatang buruan, haruslah dilakukan latihan dan percobaan berulang kali.
- Ada yang tidak bisa ditetapkan sebagai adat, meskipun telah terjadi berulang-ulang, seperti : seorang perempuan yang setiap kali melahirkan tidak mengeluarkan darah (tidak nifas). Lalu suatu ketika, sehabis melahirkan untuk kesekian kalinya ia mengeluarkan darah, darah itu dihitung sebagai darah nifas dan tidak boleh ditetapkan bahwa darah itu bukan nifas, walaupun sering terjadi tidak nifas.
Penjelasan Kaidah Al-‘Adat Muhakkamah
Kaidah pokok yang kelima ini, juga bisa diperinci, antara lain :
- “Adat tidak dapat dianggap sebagai adat yang bisa dijadikan ketetapan, jika adat itu tidak muththorid, artinya adat itu tidak tetap/pasti.”
Misalnya : disuatu negara berlaku mata uang dollar yang bermacam-macam : ada dollar Amerika, ada dollar Hongkong, ada dollar Malaysia. Dalam hal ini, kata “dollar” tidak boleh diucapkan begitu saja (tanpa embel-embel), tetapi harus dengan qoyyid (Amerika, Hongkong, atau Malaysia).
- “Adat yang jelas (‘urf jaliy) itu manakala bertentangan dengan syara’, maka hukumnya ditafsil :
- “Jika syara’ itu tidak ada hubungannya dengan hukum, maka adatlah yang dimenangkan.”
Misalnya : ada orang yang bersumpah : “demi Allah saya tidak akan makan daging.” Lalu suatu ketika, orang itu makan ikan laut. Menurut hukum, orang itu tidak dianggap melanggar sumpah, sebab menurut adat, ikan laut itu tidak termasuk daging, meskipun Al-Quran menyebutkan bahwa ikan laut itu tergolong daging. ( لَحْمًا طَرِيًّا )
- “Jika syara’ itu berhubungan dengan hukum maka syara’ harus didahulukan.”
Misalnya : ada orang bersumpah tidak akan sholat. Kemudian orang itu berdo’a, menurut hukum, ia dianggap tidak melanggar sumpah, sebab yang disebut sholat menurut syara’ adalah suatu ibadah yang dimulai dengan takbir yang diakhiri dengan salam, walaupun menurut adat arab, sholat itu berarti pula do’a.”
- “Adat itu apabila bertentangan dengan arti menurut pengertian bahasa, para ulama’ berbeda pendapat :
- Qadli Husain berpendapat : pengertian bahasalah yang harus dimenangkan.
- Imam Baghowiy mengatakan, bahwa pengertian adatlah yang dimenangkan.
Misalnya : seseorang bersumpah tidak akan makan telur. Menurut pengertian bahasa : telur itu adalah bakal anak dari binatang-binatang tertentu, seperti : burung, ayam, ikan, ular dan sebagainya. Sedangkan menurut adat sehari-hari yang dimaksud telur adalah terbatas kepada telur ayam, telur itik, dan telur angsa. Maka kalau orang yang bersumpah itu seumpama makan telur ikan, maka menurut pendapat pertama ia melanggar sumpah, tetapi menurut pendapat kedua ia tidak melanggar sumpah.
- Imam Rofi’iy berpendapat : jika pengertian bahasa itu sudah umum, maka pengertian bahasalah yang harus dipakai.
- Pendapat yang lain mengatakan : kalau adat itu tidak pernah digunakan dalam bahasa, maka pengertian bahasalah yang dimenangkan.
- “Apabila ‘Urf ‘Am (adat umum) bertentangan dengan ‘Urf Khash (adat khusus), maka ‘Urf Khash yang didahulukan kecuali bila ‘Urf Khash itu amat terbatas.”
‘Urf ‘Am yaitu pengertian istilah yang terpakai dalam kalangan luas.
‘Urf Khash yaitu pengertian istilah yang berlaku dalam kalangan yang lebih kecil.
Misalnya : kata “Dabbah “ ( دابَّة )
Arti bahasanya ialah “semua hewan yang berjalan dan merangkak.”
Arti ‘Urf ‘Am : “hewan berkaki empat”
Arti ‘Urf Khash Baghdad : “kuda”
- Adat kebiasaan itu apakah berlaku sebagai syarat atau tidak ? dalam hal ini ulama’ berselisih pendapat. Pendapat yang pertama mengatakan tidak sedangkan pendapat yang kedua mengatakan ya sebagai syarat.
Misalnya : disuatu daerah, sudah menjadi adat bahwa membayar hutang itu harus beserta bunganya, maka kalau kita berpegang pada pendapat pertama, bunga itu tidak haram, sebab adat itu dianggap tidak sebagai syarat. Tetapi kalau kita berpegang pada pendapat kedua, bunga itu haram, sebab adat itu dianggap sebagai syarat.
- “ ‘Urf yang dianggap sah ialah ‘Urf yang bersamaan dengan ucapan atau yang agak mendahului, sedangkan yang terjadi sesudah ucapan, tidak berlaku.”
Misalnya : sepuluh tahun yang lalu, seseorang mewakafkan sebidang tanah kepada pengasuh suatu lembaga pendidikan, yaitu pak Rudi. Sekarang pendidikan tersebut mempunyai pengasuh lagi, yakni pak Doni. Maka menurut kaidah ini, wakaf tetap jatuh kepada pengasuh yang ada pada waktu wakaf itu diucapkan, yaitu pak Rudi. Sedangkan pak Doni tidak mempunyai hak apapun atas tanah tersebut.
- “Hal-hal yang tidak ada ketentuannya, baik dalam syara’ maupun dalam lughot/bahasa, maka harus dikembalikan kepada ‘Urf.”
Misalnya : حِرْزُ المِثْلِ (tempat penyimpanan) dalam bab pencurian. Baik syara’ maupun lughot tidak ada menyebutkan tentang batasan “Hirzul Mitsli” ini. Karena itu, apa dan bagaimana hirzul mitsli itu harus dikembalikan dan dicari menurut pengertian ‘Urf. Seumpama tempat penyimpanan emas tentu berbeda dengan tempat penyimpanan mobil, dan seterusnya. Ini hanya bisa diketahui dari adat kebiasaan yang berlaku.
Baca juga:
Refrensi Kaidah Al-‘Adat Muhakkamah:
- Faroidul Bahiyah
- Fawaidul Janiyah